Jumat, 18 Maret 2011

Belajar Menjadi Dewasa

ini adalah esai yang kutulis akhir 2007. Esai ini waktu itu kutulis dalam rangka mengikuti lomba menulis esai tentang pengalaman menuls, tetapi tidak menang. Dulu judulnya adalah "Menulis Untuk Berbagi", sekarang judulnya aku ganti jadi, "Belajar Dewasa" :D

Belajar Dewasa

Waktu itu kami masih menempati rumah yang lama. Di kampung kami listrik belum ada. Dan bapak saya masih petani tulen.
Pada malam-malam gelap hening, ketiga kakak saya seperti biasa memenuhi permintaan bapak. Mencari posisi yang paling setrategis. Dua yang paling besar memilih memijat kaki sementara kakak perempuan yang usianya paling dekat dengan saya memilih lengan bapak. Setelah mereka mendapat jatah mengurut, memijat, atau sekedar memukul-mukul dengan kepalan tangan kecil mereka, mengalirlah cerita, dongeng dari bapak yang semasa mudanya pernah menjadi pemain dermuluk (teater khas melayu).
Saya waktu itu memang lebih sering bersikap seperti ketiduran. Supaya dimaklumi ketidak ikut sertaan saya di ‘forum’ itu. Selain karena tenaga saya yang masih sangat lemah, sebenarnya ada satu lagi sebab yang membuat saya tak berani ikut serta. Setiap bapak menceritakan dongengnya dan tiba pada konflik cerita, dimana tokoh protogonis selalu dianiaya, saya selalu tak dapat menahan jatuhnya air dari pelupuk mata. Pada hal di keluarga kami dilarang cengeng (kesimpulan saya saat itu terbentuk karena setiap ada perkelahian di antara kami, yang menangis atau yang membuat menangis sama-sama harus bertanggung jawab). Saya akan malu sekali kalau sampai kakak-kakak atau bapak mengetahui itu. Oleh sebab itu setiap melihat gelagak bapak akan mendongeng saya memilih menjauh atau bersikap seolah telah pulas tertidur. Barulah saat cerita telah dimulai dengan seksama saya mendengarkan dari balik kamar, tentu dengan linangan air di mata!
Pada saat itu, mendengarkan orang-orang bercerita adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Cerita tentang apa saja. Cerita tentang raja dan keluarganya, tentang hutan belantara dan bangsa jin yang menghuninya, atau tentang anak durhaka yang ditimpa azab tak terkira. Bahkan cerita tentang angin, hujan, sawah, kebun, pohon-pohon, dan para tetangga bagi saya sama menariknya! Tetapi bapak tak membolehkan anggota keluarganya ikut bergerombol di pelataran rumah tetangga, “Bergunjing, menghabiskan pahala.” Katanya.
Tahun-tahun berikutnya bapak bukan petani tulen lagi. Dia mulai berdagang. Rumah lama pun di robohkan. Walau listrik belum masuk, tetapi cahaya lampu straungking yang dipantulkan jendela-jendela kaca membuat rumah terang benderang. Sesekali kami tetap memijat bapak, namun dia terlalu kelelahan. Tak ada cerita lagi. Ibu memang sesekali mendongeng, tetapi tidak seseru bapak. Bapak bercerita dengan suara yang diubah-ubah. Bapak juga kadang bersyair.
Namun, kesepian itu segera berganti. Bapak memang tak lagi mendongeng, tetapi ada buku, televisi dan radio. Bapak juga sering membeli buku. Diantara buku-buku itu ada cerita bergambar. Akan tetapi di usia saya saat itu, melihat gambar-gambar itu tak mampu membuat saya tersentuh. Cerita-cerita di radio sebenarnya juga seru, tetapi jalinan cerita selalu terputus, itu terkadang membuat saya kesal setengah mati.
Akhirnya saya pun bisa membaca. Saat itu saya kelas tiga SD. Kata pertama yang tidak saya eja adalah kata “bibi”. Entah judulnya apa, yang saya ingat buku cerita yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah itu banyak terdapat kata “bibi”.
Kemampuan membaca yang saya miliki ternyata membuat saya kembali menemukan momen-momen yang sama seperti saat mendengar bapak mendongeng. Namun, saya tak perlu malu saat mata berkaca-kaca karena buku yang saya baca dapat digunakan untuk menutupi wajah.
Awalnya dalam buku-buku itu, saya menemukan banyak pelajaran dan ketenangan. Suatu kejahatan pasti akan mendapat balasan. Kebenaran pasti akan terungkap. Tokoh-tokoh jahat akan menyadari kesalahan, meminta maaf, bertobat dan menjadi orang baik lagi. Sedangkan tokoh-tokoh yang teraniaya pasti akan mendapat keadailan dan bahagia selamanya di akhir cerita.
Namun, semakin bertambahnya usia, meningkatnya pendidikan, dan beraneka ragamnya buku yang saya baca, membuat saya menemukan hal-hal yang baru dan berbeda. Mau atau tiadk mau, siap atau tidak siap saya harus menghadapi bahwa tidak selamanya keadilan ditemukan di akhir cerita. Ada banyak kelicikan, penghianatan, penindasan, ketamakan, dan penderitaan yang tak berkesudahan sampai cerita dalam buku-buku itu ditamatkan. Dan yang lebih mengerikan, semua itu bukan hanya ada dalam buku-buku yang saya baca! Semuanya ada dalam realitas; kadang melintas di hadapan, atau melalui pergunjingan tetangga, pemberitaan di radio dan televise.
Menghadapi semua itu, saya merasa seperti burung kecil yang harus keluar sarang, belajar terbang. Berusaha mengenali udara, angin, yang menjatuhkan, menghempaskan, tetapi harus dikendalikan agar dapat di manfaatkan untuk melesat, mengepakkan sayap, dan terbang.
Menuliskan perumpamaan burung kecil yang sedang belajar terbang di atas mengingatkan saya pada persahabatan antara Doraemon dan Nobita dalam komik Jepang. Nobita yang merasa bodoh, lemah, malas, dan selalu tertindas, memiliki Doraemon. Doraemon dengan kantong ajaibnya selalu siap membantu dan menyelesaikan masalah, tetapi sekaligus membuat Nobita bergantung dan tak pernah mampu bersikap dewasa. Untunglah, manusia dengan kemampuan seperti Doraemon tidak pernah ada!
Saya, mungkin juga kita semua, selain memiliki keluarga tempat berlindung yang telah kita akrabi sejak lahir, juga memiliki teman, sahabat, guru, dosen dan masyarakat di sekitar. Dari interaksi dengan mereka, ada banyak pelajaran yang dapat diresapi. Dikasihi membuat kita belajar menyayangi, dilukai membuat kita belajar mengobati, disakiti membuat kita belajar memaafkan, dibenci membuat kita belajar bertahan, dan bahkan sebuah penghianatan mungkin membuat kita mampu belajar memahami makna sebuah kepercayaan dan ketulusan. Ya! Ada tawa, ada tangisan, ada kemarahan, dan ada ketidakadilan! Semua itu harus kita lalui untuk mencapai tingkat kedewasaan, bukan?
Di luar lingkungan keluarga, sekolah, kampus, dan masyarakat sekitar kita, ada dunia yang lebih luas membentang, bergejolak dan saling berkaitan. Ada hegemoni sistem yang mencengkram setiap sendi kehidupan. Ada revolusi yang mungkin hanya terjadi sehari, tetapi perlu waktu puluhan tahun untuk dimatangkan. Ada ideologi yang harus digenggam, dicengkram dengan gigi geraham untuk dipertahankan dan diperjuangkan.
Kehidupan memang begitu berwarna. Dalam interaksinya, manusia memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, dan kadang tak terduga. Belum lagi alam semesta ini yang entah di mana batas luasnya? Ya! Manusia dan alam semesta adalah realitas yang begitu tak terjangkau kerumitan dan keluasannya Terutama di hadapan manusia seperti kita yang memiliki kemampuan serba terbatas. Oleh karena itulah mungkin mengapa tulisan menjadi sangat memiliki peran dalam kehidupan.
Tulisan, terutama yang telah berbentuk buku bagi saya bukan sekedar deret angka-angka, bukan sekedar jalinan kata-kata, atau lembaran kertas yang dijilid. Tulisan, terutama yang telah berbentuk buku bagi saya adalah peta kehidupan! Peta kehidupan yang menceritakan pengalaman kehidupan atau tentang kerangka ilmu pengetahuan!
Aktivitas menulis bagi saya adalah usaha untuk membuka diri. Bahkan sering kali untuk mengaca diri. Menulis didorong keinginan untuk berbagi. Berbagi tentang hal-hal mengharukan, menyakitkan, dan membahagiakan yang pernah didengar, disaksikan atau dialami sendiri. Menulis bagi saya juga didorong keinginan untuk membagi beberapa hal yang telah saya pelajari.
Banjarmasin, November-Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar