Senin, 15 November 2010

Rumah Di Atas Bukit

 

Rumah Di Atas Bukit

Beberapa tahun yang lalu, saya ke Palangkaraya bersama paman dan keempat sepupu. Kami sempatkan mampir di satu-satunya mall di kota itu. Saya lupa nama mallnya, namun ada toko buku di dalamnya, dan di atas salah satu rak buku saya menemukan beberapa judul buku yang menarik. Buku-buku yang tidak pernah saya lihat di Gramedia atau Kharisma di Banjarmasin.
Buku-buku tersebut sepertinya menceritakan kisah nyata perjalanan sebuah keluarga yang membuka lahan pertanian di Amerika Selatan. Judul buku-buku tersebut antara lain: Rumah Kecil Di Padang Besar, Rumah Kecil Di Padang Rumput, Dalam Perjalanan Pulang, dll. Sebenarnya saya tertarik membeli beberapa buku itu, tapi karena keuangan saya terbatas, saya membeli satu buku saja berjudul “Perjalanan Pulang”, buku yang paling tipis dan paling murah diantara yang lainnya.
Dan benar saja, walau pun gaya dan alur penceritaan atau pemplotan dalam buku itu biasa saja, tetapi bahasa dan deskripsi yang di gunakan pengarang membuat saya benar-benar menikmati membaca di setiap detil penceritaannya.
Saat membaca buku itu saya membayangkan (saya lupa nama tokoh anak kecil dalam cerita itu, buku itu bersama beberapa novel remaja terjemahan yang saya koleksi ikut terbakar pada peristiwa kebakaran rumah kontrakan kami di samping sekolah dulu.) tokoh kecil itu menyertai perjalanan kedua orang tuanya mencari kehidupan di Selatan Benua Amerika. Menyaksikan padang rumput,kereta tempat menginap ia dan keluarganya, merasakan kesedihan saat uang orang tuanya yang akan digunakan membeli lahan pertanian hilang dan dia menjadi yang tertuduh, berusaha merasakan apa yang dialami sebuah keluarga yang sedang berjuang meraih harapan.
Namun, dari semuanya bagian terakhirlah yang benar-benar berkesan. Bagian dimana diceritakan saat keluarga itu menempati pondok kecil mereka. Pondok yang terbuat dari kayu dan terletak di pinggir hutan. Pondok yang kemudian di sekitarnya di bangun beberapa kandang hewan ternak dan di bawah lerengnya mengalir anak sungai kecil. Entahlah.., saat itu saya membayangkan pastilah tenang dan indah tinggal di tempat seperti itu. Hemmm.
Dan beberapa tahun setelah membaca buku itu, setelah buku itu hangus terbakar, dan setelah beberapa bulan tinggal dirumah yang tak memiliki jendela dan beratap seng (berada di dalam rumah itu antara pukul 12-16 Wita seperti sedang didalam sauna, panas banget) yang air untuk MCK kadang ada kadang tidak, takdir itu pun tiba.
Sebuah rumah dinas yang diperuntukkan untuk guru-guru SMPN 4 Aranio di bangun tepat di belakang gedung SD. Sebuah rumah kayu yang nyaman. Dan di pilih sebagai tempat tinggal guru-guru perempuan.
Pada pagi hari dari jendela kamar yang menghadap ke sebelah kiri rumah, kami penghuninya dapat memandang Gunung Pahyangan yang kadang-kadang diselimuti kabut. Sementara dari bagian belakang rumah, dari jendela dapur sambil memasak kami dapat memandang matahari yang baru terbit membias di atas pucuk-pucuk pepohonan yang menutupi lereng bukit. Dan dari jendela-jendela di ruang tengah kami dapat mengedarkan pandangan ke samping kanan, ke arah lereng bukit terbuka yang pada musim tanam tumbuh subur rumpun-rumpun padi di atasnya.
Saat siang hari setelah lelah mengajar, jendela-jendela dapat di buka dan angin masuk dengan leluasa. Membaca buku atau tidur siang setelah sholat Zuhur adalah dua pilihan yang sama-sama menyenangkan.
Dan tatkala matahari mulai meredup, setelah sholat ashar kami dapat memilih alat pertanian yang ingin kami gunakan. Ada cangkul untuk menggemburkan tanah, arit untuk memotong rumput-rumput yang mulai meninggi, atau parang pendek untuk memotong kayu yang akan dijadikan pagar tanaman tertentu agar aman dari serangan babi liar.
Di sekeliling rumah ada lahan yang cukup luas untuk kami bisa bercocok tanam di atasnya. Bagian samping kiri rumah telah penuh dengan tanaman sayur yang kami tanam sebelum libur Ramadhan kemarin. Ada terung yang telah beberapa kali kami panen, kangkung berwarna putih, pare, dan bunga kenikir yang daunnya kami jadikan sayur. Sementara dibagian depan rumah tampak rimbun, labu kuning yang saya tanam bulan Agustus lalu tumbuh subur. Sayangnya, kami hanya bisa memanen pucuknya, putik-putik buahnya selalu berakhir busuk. Minggu kemarin ada 2 putik yang terlihat tidak akan busuk itu karena beberapa guru yang lain memberikan semacam tongkat penyanggah sehingga buahnya tidak terkena lembabnya tanah. Di samping kanan rumah, tanah yang beberapa waktu lalu kami cangkul telah di semai beberapa bibit di atasnya. Sementara agak kebelakang rumah beberapa batang pisang di tanam dalam kandang-kandang papan.
Minggu lalu, saya dan ibu Arbainah membuat kandang dari papan bekas bangunan SD dan bambu-bambu tua bekas pagar yang tidak terpakai. Kandang atau lebih tepatnya lagi pagar berguna untuk melindungi bibit pohon pisang yang masih kecil dan beberapa rumpun singkong yang kami tanam. Babi hutan pada malam hari banyak berkeliaran di samping rumah. Beberapa kali kami melihatnya datang berkelompok membongkar pohon singkong yang kami tanam.
Sementara saya dan ibu arbainah memaku kandang pisang, ibu fitri mengumpulkan daun-daun kering dan membakarnya. Setelah pembuatan kandang selesai ibu arbainah mencangkul beberapa lubang untuk menanam singkong. Sementara saya mengumpulkan beberapa kayu panjang yang kemudian saya jadikan tempat merambat tanaman labu saya. Semoga saja dengan dirambatkan pada tunggul kayu buahnya yang menggantung di udara akan berada pada suhu yang kering sehingga tidak busuk.
Tidak jauh dari kami bekerja, sekitar 50 M ke dalam hutan di belakang rumah terdengar perkelahian antara beberapa hirangan (sejenis monyet yang mirip orang utan tetapi memiliki ekor dan berbulu hitam). Ibu Arbainah sempat melompat ketakutan, tetapi setelah dijelaskan Ibu Ifit kalau itu suara perkelahian antara hirangan jantan yang sedang berebut pengaruh dia menjadi tenang. Pada sore tertentu segerombolan hirangan memang sering datang. Mereka memakan pucuk-pucuk dan buah pohon randu yang masih muda. Kadang-kadang mereka juga memunguti buah pohon karet yang berada di samping rumah. Saat memperbaiki selang air dari sumur di lereng bukit dekat aliran sungai, kami pernah melihat bayi hirangan sedang digendong induknya. Bayi hirangan itu bulunya berwarna kuning keemasan, dari jauh seperti bekantan.
Selain hirangan yang suaranya sempat mengagetkan Ibu Arbainah, segerombolan lebah yang lewat kira-kira 10 M di atas kami juga sempat membuat kami kaget. Jumlahnya ribuan. Kemungkinan besar lebah-lebah itu sedang mencari tempat tinggal baru.
Sebelum kami jadikan lahan pertanian tanah di samping rumah ditumbuhi alang-alang yang kerap di kunjungi burung-burung kecil yang memangsa belalang. Sekarang burung-burung itu jarang terlihat, hanya beberapa ekor burung murai yang terlihat pada pagi hari. Dan beberapa ekor tupai yang kerap melintas menuju pohon randu di samping bangunan SD. Tupai-tupai itu seperti hirangan juga menyukai pucuk dan buah pohon randu.
Mendekati adzan Magrib kami menyudahi kegiatan berkebun. Listrik dari mesin desa mendekati pukul 6 telah dinyalakan. Salah seorang diantara kami menghidupkan mesin air dan memegangi selang air untuk mengisi ember-ember di dapur dan di kamar mandi. Setelah mengalami beberapa waktu kesulitan mendapatkan air, tinggal di rumah yang berlimpah air seperti ini membuat kami merasa kayaaa sekali.
Sebenarnya, bukan hanya di sekitar rumah yang dikunjungi hewan-hewan. Di dalam rumah juga kerap dikunjungi beberapa jenis hewan. Tokek yang bersuara nyaring malah menjadikan rumah kami sebagai sarangnya. Sedangkan semut hitam besar atau disebut salimbada yang gigitannya terasa membakar beberapa kali mengadakan ekspansi mendadak ke lantai rumah.
Seekor tokek sebesar lengan anak SD berdiam di samping meja bersembunyi di balik tumpukan buku. Hampir tiap jeda beberapa jam tokek itu meneriakan suaranya. Suaranya biasanya kami jadikan gurauan di antara kami. Suara tokek itu biasanya berulang sampai 5 kali. Setelah bunyi pertama atau kedua, kami cepat-cepat meneriakan nama salah satu di antara kami, misalnya Ibu Ifit meneriakan, “Ibu Rismi…!” selanjutnya disahut oleh tokek itu dengan teriakan, “Tokek!”. Jadi kalo disambung menjadi, “Ibu Rismi…, tokek!” Tetapi pernah juga saat Ibu Arbaina meneriakan, “Kita akan menggoreng….!” Baru pada hitungan ke tiga, tokek itu terdiam, tak bersuara lagi. Padahal kalau dilanjutkan menjadi, “Kita akan menggoreng…, tokek!”Entahlah apakah tokek itu mengerti makna gurauan kami.
Bila keberadaan tokek di dalam rumah kadang-kadang kami jadikan bahan gurauan tidak demikian salimbada. Pernah suatu malam saat kami sedang berkumpul dan bersama menyelesaikan game Lian2kan dari netbook saya, tiba-tiba saat menengok keruangan tengah, kami dikagetkan dengan ribuan semut hitam itu. Sekoloni salimbada memenuhi lantai dapur dan ruang tengah, mereka bermunculan dari celah lantai papan. Gerakannya yang cepat dan membabi buta seolah mustahil untuk dihentikan. Salah seoreng diantara kami sebenarnya berniat mengambil garam di dapur, tetapi semut-semut itu terlalu banyak untuk dilewati. Padahal, satu gigitan saja dari semut itu sama sakitnya digigit seekor lebah, lebih sakit dari ditusuk jarum suntik. Hampr satu jam malam itu kami lalui dengan suasana menegangkan, rencana kami untuk kabur lewat jendela kami batalkan. Karena tiba-tiba semut itu menjadi tenang dan berangsur meninggalkan lantai rumah. Saat ibu-ibu yang lain mengusir semut-semut itu dengan sapu atau lembaran buku, saya sibuk menyetel murotal Quran surat An Naba, karena mengingat cerita nabi Sulaiman yang berpapasan dengan semut. Siapa tahu mendengar ayat itu mereka jadi pergi, pikir saya. Di kemudian hari saya baru sadar kalau cerita tentang semut betina (ratu semut) yang ada di dalam al Quran bukan di An Naba, tapi ada di surah An Naml. Pengalaman beberapa kali mendapat mimpi buruk di rumah itu membuat saya terbiasa menghidupkan murotal Quran dari selepas Isya sampai mendekati adzan Subuh. Dan tentu saja surah pavorit yang saya setel adalah Al Jin, Yaasiin dan Ar Rahman.