Senin, 07 Mei 2018


Cukup lama tidak memposting tulisan di blog ini. Kedepannya mudah-mudahan bisa aktif lagi memposting tulisan disini, aamiin.

Selasa, 10 November 2015

Nafis sudah berumur 3 tahunan
dan suka memfoto dirinya sendiri di laptop.

Sultan Sulaiman Al Qanuni

Sultan Suleiman Al Qanuni
(Oleh: Rismiyana)*

    “Pelajarilah sejarah! Karena suatu kaum yang melupakan sejarahnya, adalah seperti anak pungut yang tidak mengetahui nasabnya. Atau seperti orang yang hilang ingatan, sehingga tidak ingat masa lalunya.” Demikian sebuah pepatah mengatakan.
    Sejarah umat Islam setidaknya dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw. sampai saat ini. Lamanya sekitar 1400 tahun lebih. Ada masa dimana Islam mulai tumbuh, berkembang, hingga beberapa kali mencapai puncak kebesarannya. Sayangnya, dalam kurikulum pelajaran sejarah, di negeri yang mayoritas muslim ini hampir-hampir tidak mengajarkan hal itu. Dari SD, SMP, hingga SMU kita diajari tentang masa prasejarah dengan fosil-fosilnya. Kita belajar tentang sejarah dan peninggalan  imperium Romawi, Byzantium, Mesir Kuno, Abad Pertengahan, Revolusi Prancis, dampak dari Perang Dunia I dan II, Perjuangan Kemerdekaan RI, hingga masa reformasi.
    Kemudian muncul pertanyaan, “Adakah sejarah yang ditorehkan  oleh kaum muslim? Apa dampak di utusnya Rasulullah Saw pada sejarah dunia? Bagaimana kondisi umat Islam saat dunia mengalami Abad Pertengahan? Sedang apa atau berada dimana umat Islam saat meletus Perang Dunia I dan II?”
    Kita hanya dikenalkan pada sejarah awal kemunculan Islam. Kita hanya belajar beberapa kisah tentang Rasulullah Saw, empat Khulafaurrasyidin, beberapa sahabat, urutan nama-nama imperium dalam dunia Islam yang diselipkan dalam pelajaran Agama Islam (yang hanya 2 jam perminggu) tanpa mengaitkannya dengan keberadaan umat Islam sebagai bagian dari sejarah dunia. Tanpa tahu betapa cemerlang dan superiornya nenek moyang mereka dengan agama yang mereka warisi di kencah sejarah dunia!
    Maka tidak heran bila saat ini kita menyebut kata syariat, Daulah Islam, Khilafah, umat Islam sendiri akan berkomentar, “Ingin kembali ke zaman batu? Ini bukan tanah Arab!”
   
Sinetron King Suleiman
    Baru-baru ini stasiun ANTV menanyangkan sinetron King Suleiman. King Suleiman diambil dari film seri yang diproduseri oleh Meral Okay kelahiran 1953, Ankara Turki. Dalam sinetron ini ditampilkan sosok Sultan Sulaiman al-Qonuni. Sayangnya, dalam sinetron ini Sultan Sulaiman al-Qanuni ditampilkan sebagai tokoh yang hanya disibukkan perhatiannya pada istana dan wanita, yang menghabiskan malam-malam dengan khomr dan harim. Sosoknya ditampilkan sebagai seorang laki-laki yang hanya memikirkan syahwat dan kenikmatan dunia.
    Di Turki tempat asalnya, setidaknya ada 70-75 ribu keluhan yang menanggapi penayangan sinetron ini. Hal ini dikarenakan sosok Sultan Sulaiman yang menjadi tokoh utama dalam film ditampilkan tidak sesuai dengan sosok yang ada dalam sejarah. Bahkan sangat bertolak belakang. Raghib as-Sirjani menyatakan 99% sumber sejarah yang dijadikan rujukan dari sinetron ini adalah sejarah-sejarah yang ditulis oleh orang-orang Barat dan para orientalis. Sementara sumber sejarah dari Turki, Arab, dan rujukan utama lainnya dari Umat Islam ditinggalkan. Apalagi penulis sekenario film tersebut adalah seorang artis dan produser film yang sama sekali tidak dikenal sebagai orang yang menekuni sejarah, baik sejarah Islam secara umum maupun sejarah kekhilafahan  Utsmani. Ini lah yang menyababkan munculnya kontraversi besar baik dari sisi agama, politik, dan sosial yang mengakibatkan pelarangan sinetron ini di Turki. 
    Sebenarnya, dalam sebuah film, produser dan sutradara memang menjadi orang yang menentukan jalan cerita. Kejadian, peristiwa yang dialami tokoh, sifat atau karakter tokoh ditentukan sesuka hati oleh mereka. 
    Namun, menjadi masalah ketika tokoh yang diangkat oleh film atau sinetron adalah tokoh yang nyata, faktanya ada dalam sejarah. Maka film atau sinetron tidak bisa sesukanya menampilkan seorang tokoh dan membuat adegan-adegan yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Apalagi bila tokoh dalam film tersebut adalah tokoh yang terkenal dalam sejarah. Karena akan memberi informasi yang membentuk asumsi yang keliru terhadap tokoh tersebut.
    Adalah wajar bila penanyangan sinetrong King Suleiman oleh ANTV di tanah air mendapat kritik dari umat Islam yang paham sejarah. Mereka mengetahui kesalahan dalam sinetron ini. Mereka antara lain dari KMJ (Korps Muballigh Jakarta) yang mendatangi kantor ANTV untuk menyampaikan protes dan minta penayangan sinetron King Suleiman segera dihentikan. Protes dan desakan disampaikan karena film tersebut banyak mendistorsi Kekhilafahan Islam sekaligus menjelek-jelekkan nama besar Sultan Sulaiman Al Qanuni. Sultan yang agung itu digambarkan sebagai sosok yang cabul, angkuh, dan jauh dari nilai-nilai Islami. Penayangan film ini dikhawatirkan akan membuat penonton, khususnya umat Islam yang mayoritas di negeri ini memiliki persepsi keliru tentang Islam dan Kekhalifahan Islam.


Siapa Sebenarnya Sultan Sulaiman al-Qonuni?
     Berbicara tentang Sultan Sulaiman al-Qanuni tidak bisa lepas dari membicarakan kekhilafahan Utsmani. Hal ini karena Sultan Sulaiman al-Qanuni adalah salah satu sultan yang berkuasa selama empat puluh tahun lebih dalam imperium ini. Karena, bila ingin menilai seperti apa seorang pemimpin tengoklah bagaimana kondisi rakyat dan wilayah yang ia pimpin.
    Kondisi kekhilafahan Ustmani yang mengalami puncak kejayaan saat diperintah oleh Sulaiman al-Qanuni tergambar dalam buku The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000 karya Paul Kennedy, “Empirium Utsmani, dia lebih dari sekedar mesin militer, dia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dari yang dimiliki Empirium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500 dunia, Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota diantaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki mesjid-mesjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu berada di depan.”
    Senada dengan itu, An Nadwi dalam bukunya Madza Khasira Al-'Alam bi Inhithath Al-Muslimin menyatakan bahwa Kaum Muslimin Turki Utsmani memiliki kelebihan dibanding bangsa lain pada saat itu. Sebagai bangsa nomadik dengan pola hidup sederhana, mereka memiliki moralitas yang tidak terkotori sehingga dengan gampang berjuang. Selain itu mereka juga memiliki persenjataan yang kuat  sehingga mampu menguasai Afrika, Mesir, Arab Saudi, Iran, Asia Tengah, dan Sebagian Eropa hingga ke Wina.
    Pada masa kejayaannya kaum muslim Turki mampu menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya, Al Quran sebagai undang-undang, Rasul sebagai panutan, jihad sebagai jalan hidup, dan mati syahid sebagai puncak cita-cita. Dampaknya adalah keadilan merata dimana-mana, kebebasan berbicara memperoleh tempatnya, kritik yang konstruktif mendapat ruang yang lebar, dan ilmu pengetahuan pun menyeba r dimana-mana.
    Di bawah pemerintahan Sulaiman al-Qonuni bermunculan mujahid-mujahid legendaris yang mendunia dalam sejarah Islam. Mereka antara lain, Hasan Agha Al-Thusyi dari Aljazair yang berhasil mengalahkan Pangeran Charles V dari Spanyol,  Khairuddin Barbarosa pemimpin armada laut pasukan Utsmani 'penguasa' perairan Mediterania, Saleh Rayis  dan Qalj Ali.
    Dari gambaran tentang kondisi Kekhilafahan Utsmani yang menerapkan syariat Islam, mujahid-mujahid di masa pemerintahannya, dan aktifitas futuhat/penaklukan yang berlangsung hingga wafatnya, muncul pertanyaan rasionalkah sosok Sultan Sulaiman al-Qonuni yang ditampilkan dalam sinetron King Sulaiman? Apalagi secara pribadi beliau pernah menulis tangan kitab Al Quran sampai selesai yang sampai saat ini salinannya masih tersimpan di Masjid Agung Sulaiman. Sungguh, menampilkan Sultan Sulaiman al-Qonuni sebagai tokoh  buruk yang tidak memiliki perhatian besar dalam urusan pemerintahan dan hanya tertuju pada istana dan wanita, yang menghabiskan malam-malam dengan khomr dan harim adalah fitnah jahat dan kotor. Bahkan walau dalam film atau sinetron sekalipun.
    Untuk itu sudah sepantasnya pihak ANTV menghentikan penayangan sinetron King Suleiman. Tetap menayangkan sinetron ini sama halnya dengan sengaja mendistorsi Kekhilafahan Islam sekaligus menjelek-jelekkan nama besar Sultan Sulaiman al-Qanuni dan membuat penonton, khususnya umat Islam, memiliki persepsi keliru tentang Islam dan sejarah Kekhalifahan Islam.

Jumat, 14 September 2012

my son

Ramadhan,  tahun kemarin berdoa supaya Allah memberi keberkahan Ramadhan sebagai awal mengandung seorang putra, tapi harapan tersebut  berlalu....ternyata Allah menjawab doa tersebut dengan kelahiran seorang putra pada Ramadhan berikutnya. Bertepatan tanggal 27 Ramadhan 1333 H atau 15 Agustus 2012 lahir putra pertamaku.... semoga apa yang dicita-citakan padanya sedari awal terwujud. Amin

Nafis umur 2 hari

Sabtu, 12 Mei 2012

Tentang Buku, Seorang Teman, dan Dekonstruksi

Lama banget gak bikin tulisan..., tapi si silmi kemarin ngasih file tulisanku bahari kala, yang dimuat di Radar Banjarmasin Minggu, 25 Desember 2005 atas nama Rain Fajar. kuposting disini saja sebagai kenang-kenangan....



Tentang Buku, Seorang Teman dan Dekonstruksi
oleh:  Rain Fajar
Tiga kali sudah tulisan saya dimuat pada Radar Banjarmasin rubrik Cakrawala. Tiga kali pula tulisan saya mendapat tanggapan. Dari tanggapan tersebut, saya menemukan kelemahan-kelemahan dalam tulisan saya. Saya belajar banyak.
                Kali ini tulisan saya tidak akan mengkritik siapa-siapa (setidaknya ini niat awal saya). Di sini saya hanya ingin berbagi cerita tentang kecintaan saya pada buku dan seorang teman yang kehadirannya memberi pengaruh besar dalam hidup saya.
                Dari dulu saya mencintai buku, tentunya buku: Sastra. Sejak SD hingga SMU rasanya tidak ada buku-buku sastra di perpustakaan sekolah yang tersembunyi dari pengawasan saya. Semuanya saya baca (agak hiperbol neh!).
                Walau begitu tergila-gila dengan buku-buku sastra, buku teks pemikiran saya malah sebaliknya. Apalagi tentang politik, ideologi! Dulu, saya tidak suka konflik, istilah-istilah pelik, riuh manusia, problematika umat. Saya suka terpaan angin, guyuran hujan, sinar matahari, pepohonan rindang, ikan-ikan di kolam, semua yang tanpa konflik.
                Sampai suatu ketika, semester satu, janji yang saya buat pada seseorang di perpustakaan universitas, mendamparkan saya sejenak ke kamar persegi kost-an teman ’sekelas’ saya. Rak-rak yang penuh buku adalah awal cinta pertama saya pada kamar persegi itu.
                Untuk selanjutnya, setiap dosen terlambat masuk atau tidak masuk sama sekali, saya selalu mengunjungi kamar persegi itu. Membaca buku-buku sastra: fiksi islami yang sayangnya jumlahnya hanya sepersepuluh dari keseluruhan buku-buku itu. Selebihnya buku–buku teks pemikiran Islam; tentang: akidah, syariah, politik dan ideologi Islam, sirah, hakekat berfikir, dll.
                Teman saya itu (yang empunya kamar) selanjutnya menjadi teman diskusi saya. Kalau saya begitu mencintai buku sastra dan anti terhadap buku-buku teks pemikiran, dia malah sebaliknya.
                Dua tahun awal pertemanan kami selalu ada beberapa buku teks baru menjadi penghuni kamar persegi itu. Dengan mata berbinar-binar, teman saya itu selalu menceritakan pemikiran-pemikiran dalam buku baru itu (sikap dan ekspresi yang sama  persis saat saya sedang memegang buku sastra). Sikap dan ekspresi wajahnya lama-kelamaan seperti menghipnotis saya. Saya pun kemudian menggandrungi buku-buku semacam itu.      
                Agar terasa ’adil’ dan diskusi kami bisa menjangkau banyak aspek, saya pun merekomendasikan buku-buku sastra (yang saya pinjam dari teman lain) untuk dia baca. Bukan fiksi islami, tapi buku karya pengarang wanita yang sedang ’hangat’ dibicarakan karena kevulgarannya. Sayangnya, dia terlalu kaget membaca karya-karya semacam itu. Setelah pusing, mual, ia pun muntah. Ia lalu mengeluarkan komentarnya, bahwa penerbitan buku-buku semacam itu lebih pas disebut sebagai era kebangkitan ’sastra bau’.
                Sesungguhnyalah, selain sebagai teman, dia sekaligus guru dan adik bagi saya.
                Sebagai teman, dia adalah orang yang mengerti saya, seseorang yang mampu merobohkan benteng angkuh yang sejak lama saya bangun di sekeliling saya (jadi ingat lagu Padi: Angkuh). Ketika mengetahui saya suka lagu-lagu Scorpion, tanpa memberi tahu terlebih dahulu dia menyengaja membeli MP3-nya, menginstal lagu-lagu itu (padahal dia suka lagu nasyid). Sehingga setiap kali saya mengunjungi kamar perseginya, untuk membaca buku, lagu-lagu itu ia perdengarkan untuk saya. Begitu pula ketika saya masih suka menenangkan diri dengan When The Blind Man Cry-nya Deep Purple, dia memperdengarkannya untuk saya. Ia selalu bersedia bersama-sama saya mengerjakan tugas (yang kadang terlambat dikumpul), menemani makan di kantin, bahkan kadang-kadang saya ‘paksa’ bolos ketika perkuliahan yang membosankan. Dia bersedia mendengarkan cerita-cerita saya, tentang buku-buku yang saya suka, tentang lagu-lagu favorit dan amper tua saya, tentang keputusasaan saya, tentang semangat saya. Dia ada.
                Sebagai guru, dia adalah tempat bertanya berbagai hal; keimanan, kebenaran, dll. Pertimbangan-pertimbangannya, kerasionalannya membuat saya kagum. Pernah suatu ketika setelah membaca cerpen tentang seekor ayam sakit-sakitan yang dikeroyok sampai mati oleh ayam-ayam lain yang sehat, tapi sedang kehausan. Cerpen itu agak lama membekas. Saya ceritakan isi cerpen itu lalu saya bertanya padanya, “Seandainya cerpen itu ada realitasnya, adakah keadilan Tuhan bagi ayam itu. Kalau ada dalam wujud apa?” Mendengar pertanyaan saya itu,dia hanya tersenyum dan berkata bahwa ada banyak hal yang dapat dipikirkan dan memang harus untuk dipikirkan, yaitu masalah umat yang bejibun banyaknya yang mendesak untuk diperjuangkan solusinya yaitu berdirinya Khilafah Islam. Dia kemudian menyibukkan saya dengan kajian,  diskusi, seminar, tabligh akbar, yang membahas fakta-fakta real ketertindasan umat Islam saat ini. Dia adalah insfirasi untuk menjadi baik.
Sebagai adik, dia pernah membuat saya merasa begitu kehilangan karena dalam mimpi, di hadapan saya, dia tiba-tiba menghilang, lenyap! Seseorang pada waktu tertentu dengan rona ceria menceritakan koleksi game barunya, yang sesekali mengajak saya bermain sega diwaktu luang.   
                Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, “mengapa cerita beginian di tuls di sini?” Setidaknya saya punya dua alasan.
Pertama, Saya ingin membingkainya di sini sebagai jejak yang kelak dapat saya buktikan keberadaannya. Sekaligus berbagi cerita pada pembaca lain yang mungkin memiliki keadaan atau kecintaan pada seorang teman: seperti saya.
Kedua, Karena saya tahu, dia hampir setiap hari minggu mengintip halaman Cakrawala ini melihat kalau-kalau tulisan saya dimuat. Pernah beberapa kali dia berusaha menelpon saya hanya untuk memberitahukan bahwa ada komentar ’tajam’ yang ditujukan untuk tulisan saya. Dengan bersemangat dia berkata bahwa saya harus membuat komentar balik.  
                Selama ini, hampir setiap kali selesai menulis tulisan yang ingin saya publikasikan dia adalah editor pertama dan kadang merangkap sukarelawan juru ketik.
Dua minggu lalu, tepatnya hari Kamis. Saya dan dia bersepakat ke Gramedia membeli buku yang mungkin bisa kami jadikan bahan skripsi. Di sana saya membeli dua buku. Salah satunya karangan Christoper Norris:Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida. Sebelum berpisah, di tempat parkir  saya berjanji akan menceritakan isi buku itu padanya.
                Dua hari berikutnya sebelum perkuliahan dimulai saya menepati janji, menceritakan isi buku itu. Saya sampaikan bahwa dekonstruksi adalah sebuah tindakan dari subjek terhadap objek yang tersusun dari berbagai unsur. Yang pada awalnya merupakan cara atau metode untuk membaca teks. Bahwa dekonstruksi ‘biasanya’ ingin menelanjangi tekstualitas laten dalam sebuah teks yang bertujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolute. Saya sampaikan lagi padanya, bahwa pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidak utuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Bahwa teks tidak dipandang sebagai tatanan makna utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya permainan antara penataan dengan chaos,  antara perdamaian dengan peperangan, antara akur dengan cek cok. Bahwa yang terjadi kemudian hanyalah semacam pendewasaan diri.
                Mendengar uraian saya, dia pun mengangguk beberapa kali sambil ber “ooh”. Seperti biasa kami berdiskusi. Tiba-tiba ia bertanya pada saya. ”Bagaimana dengan teks al Quran dan hadits dengan derajat mutawatir (baik sumber maupun maknanya) yang dapat dipastikan kebenarannya? Bagaimana dengan masalah akidah yang menuntut pembenaran secara pasti, tunggal tanpa keraguan sedikitpun?” Dia mengusulkan supaya saya menulis artikel tentang itu. Saya menyanggupi. Diskusi kami berlanjut untuk memilih judul apa yang akan kami pilih.
                ” Sejak awal, ketika seorang mengikrarkan diri dengan syahadat sebagai muslim, ia akan mengakui keberadaan dan keesaan Allah serta kerasulan Muhammad. Itu merupakan kebenaran absolut. Iya kan? Selain itu Wahyu berupa al Quran yang merupakan pertanda kerasulan Muhammad adalah teks yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Kalau begitu emm.., Mari Kita Bunuh Dekonstruksi dengan Kalimat Suci, Gimana?”Kata saya.
                Dia mengangguk setuju. Matanya berbinar, dia tersenyum. Sosok di depan saya saat itu, adalah orang pertama yang saya dengar keritikannya, untuk saya tanpa bangkitnya amarah.Yang menyemangati saya, memberikan motivasi ketika saya tak ingin apa-apa.    
                Ah, rupanya saya harus mencari referensi lebih banyak lagi, menyusun argumen-argumen, supaya teori yang  saya rangkum dari pemikir-pemikir favorit saya akan lebih kuat. Membunuh dekonstruksi dengan akidah Islam hanya akan berlaku bagi penganutnya, tidak bagi yang tidak mengakuinya. Jadi untuk membunuh dekonstruksi,  hanya perlu argumen yang  memuaskan akal alias dalil aqli. Pufhh... Kapan selesainya ya?         
                                                Kado untuk yang kemarin genap  20 tahun