Minggu, 20 Desember 2009

Home Sweet Home

Lebaran Idul Adha 1430 H kemarin aku ikut Amali Pulkam ke Barabai. Aku bela-belain ikut lebaran di rumahnya, soalnya dia berencana pulkam ‘selamanya’ ke Barabai mulai Januari tahun depan. Aku ingin tahu rumahnya, supaya nanti kalau aku kangen, sesekali aku bisa mengunjunginya ke sana. Begitulah..., kebersamaan selalu berpangkal dari perjumpaan dan pasti berujung pada perpisahan. Hanya kita tidak tahu, kapan tepatnya saat itu tiba. Kita hanya bisa berusaha jeli, mencermati siapa yang datang, menghayati yang sedang dijalani, dan mempersiapkan keberangkatan yang akan pergi.
Sebagai kenang-kenangan aku tulis saja esai tentang kost kami itu.


HOME SWEET HOME

Tidak ada yang istimewa dari rumah kecil itu. Selain bagian-bagian jendelanya yang tidak seperti pada umumnya sebuah rumah, rumah kecil itu terlalu dekat dengan jalan yang di lalui mahasiswa. Bising dan debu menjadi polusi dari pukul 07.00 pagi hingga sekitar pukul 21.00 malam. Dan saat matahari mulai tergelincir ke sebelah barat, cahanyanya membuat suasana panas dan gerah hampir seisi rumah kecil itu.

Akan tetapi, setelah melakukan survey, membandingkan beberapa tempat kost, teman saya telah memutuskan rumah kecil itu adalah rumah terbaik untuk ditinggali. Dia memerlukan tempat tinggal yang memiliki akses mudah. Dan rumah kecil itu memang salah satu rumah paling strategis di lingkungan anak-anak kampus Unlam.

Maka mulai akhir 2006 bersama teman yang satunya, teman saya menjadikan rumah kecil itu sebagai tempat tinggal baru. Mereka berdua menempati salah satu dari 2 kamar yang dimiliki rumah kecil itu. Rumah yang ia pilih sebagai tempat beristirahat, berkumpul dan menjadi sirkulasi kegiatan-kegiatan aktivis kampus.

Saat teman satunya lulus dan pulang kampung, teman saya yang satunya lagi (yang berkaca mata) bersegera menggantikan posisinya, menempati rumah kecil itu menemani teman saya. Padahal dilihat sekilas saja, kamar kostnya yang lama dan berjarak beberapa meter dari rumah kecil itu jauh lebih ‘manusiawi’ dan sehat.

Pada akhir 2007 saat melihat saya mulai dewasa, mandiri, memerlukan banyak waktu dan ruang untu beraktivitas, dan mungkin berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain, paman saya mengajukan sebuah tawaran. Apakah saya ingin kost? Tawaran itu tidak perlu mengulang dua kali, saya langsung menyambutnya gembira.

Bergegas saya ceritakan rencana saya untuk mencari kost, sebagai tempat tinggal baru pada teman saya yang menempati rumah kecil itu. Sebenarnya, di dalam hati saat itu terlintas keinginan untuk ikut serta menempati rumah kecil itu, tetapi rumahkecil itu hanya memiliki 2 kamar. Satu kamar yang ditempati teman saya dan teman yang satunya, sedangkan kamar lainnya ditempati 2 orang mahasiswa lain. Saat itu tidak ada kemungkinan untuk ikut serta meninggali rumah kecil itu.

Setelah beberapa hari mencari informasi ke teman-teman lain, akhirnya saya menemukan sebuah rumah untuk ditinggali. Sekitar dua hari sebelum pindah kerumah kost-kostan itu, saya sempatkan diri mengunjungi teman saya di rumah kecil itu. Namun, saya kaget! Kamar kost mereka kosong sama sekali. Semua buku dan barang-barang tampaknya baru saja dipindah. Saat saya masih dalam keadaan terbengong, teman saya muncul dari kamar satunya. Dia kemudian menceritakan bahwa dia bersama teman yang satunya pindah kamar. Dua mahasiswa yang menempati kamar lainnya tiba-tiba pindah dari rumah kecil itu.

Sungguh, saya gembira mendengar ceritanya. Saya memintanya untuk mengatakan pada ibu kost, bahwa saya berencana menempati kamar yang kosong itu, secepatnya!

Rumah itu memang kecil dan bagian belakangnya sudah sangat ‘tua’ terutama kamar mandinya. Selain itu bising, debu tebal, dan panas sinar matahari membuat gerah di dalamnya. Belum lagi hamper setiap setelah hujan lebat, sekeliling rumah akan banjir, tak terkecuali halaman depan. Jadi wajar, beberapa minggu lalu saat menerima tawaran saya untuk ikut tinggal di rumah kecil itu, di minggu-minggu awal sepupu saya merasa stress. Selain merasa kurang nyaman dengan mahasiswanya yang melihatnya keluar masuk dari rumah kecil itu (kadang-kadang dengan tatapan kurang percaya), debu dari jalan membuat penyakit sesak nafasnya kambuh (mungkin karena masa penyesuaian saja, buktinya setelah saya ‘menasehatinya’ sambil meniru Ustadz Dhanu di acara bengkel hati, memintanya mengikhlaskan keadaan rumah kecil itu, akhirnya dia sembuh! J). Belum lagi, saat teman-temannya sesame dosen menjemputnya untuk keluar kota, menyaksikannya harus berjuang melewati banjir selutut yang menggenangi halaman rumah itu. Walau ikut bersimpati dan merasa prihatin, saya dan teman saya (yang pada saat kejadian sedang keluar kota) mendengarkannya bercerita, tidak dapat menahan tawa kami. Saat itu sambil bercanda saya katakan, “Itulah harga yang harus dibayar untuk memiliki tetangga sebaik kami” J. Sebelum pindah ke rumah kecil kami, dia memiliki pengalaman tidak menyenangkan dengan tetangga di kompleks perumahan yang ditempatinya. Dia sempat meminta saya mencarikan informasi tentang tempat tinggal yang para tetangganya teman sepengajian saya, atau kalau ada sebuah komplek yang dihuni oleh mereka. Sayangnya saya belum menemukan rumah seperti itu.

Rumah kecil itu sangat sederhana. Akan tetapi, rumah itu sangat indah, ‘luas’, dan menentramkan bagi kami yang menghuninya. Sepanjang 2008-2009, kecuali ketika sedang berkumpul dengan keluarga di kampung halaman, rumah itu seperti magnet yang menarik saya, kami para penghuninya. Menjadi tempat berkumpul, bercerita setelah seharian disibukkan dengan perkuliahan, pekerjaan, pengajian, dll. Bahkan setelah mengajar di Desa Rantau Bujur, Aranio pun, perjalanan menuju pulang ke rumah kecil itu selalu menyenangkan. Selalu menyenangkan karena di dalamnya saya akan berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi. Kisah-kisah di dalamnya, akan selalu menempati ruang berbingkai ingatan “sweet memory”.

Aranio, 04. 45 Wita, 8 Desember 2009