Jumat, 16 Oktober 2009

Tentang Openmind dan Saya

Pada 25 Desember 2005 lalu esayku dimuat di Cakrawala Radar Banjarmasin. Judulnya Tentang Buku, seorang Teman, dan Dekonstruksi. Kemarin aku nulis esai lagi, karakter tulisannya hampir mirip.
Tentang Openmind dan Saya
Sekitar akhir 2003 atau awal 2004, mulai beredar sebuah majalah mini (minimagz) terbitan anak-anak Yogya. Awalnya harga minimagz itu Rp 1000 untuk pulau Jawa dan Rp 1300 luar pulau Jawa. Seiring makin banyaknya pembahasan dan makin tebalnya halaman, harganya kemudian mencapai Rp 7000-an. Walau tema yang diangkat menyangkut politik, agama, motivasi dan realitas sosial yang sedang hangat di masyarakat, pembahasan di dalamnya menggunakan bahasa yang sederhana dengan pengungkapan yang terkesan akrab. Karena distro atau agen minimagz itu adalah ketua organisasi yang saya ikuti dan penjualannya bertempat di markas akhwat (cewek) yang hampir setiap hari saya kunjungi, mendapatkan majalah mini itu bukanlah hal yang sulit.
Pada edisi-edisi awal saya belum begitu terkesan, namun lama-kelamaan kemunculan magz itu selalu saya tunggu. Pembahasan di dalamnya jujur, apa adanya, tulus, menambah wawasan dan semangat. Dan yang paling berkesan adalah cara memandang sesuatu, penyelesaian masalah, kretivitas yang benar-benar berbeda dari buku-buku yang sering saya baca. Walau mungkin sekedar bercanda, ide untuk membuat roti panggang dari setrikaan, benar-benar menyulut kreativitas berpikir dan bertindak.
Apalagi saat anak-anak Bandung dari LY (Liberation Youth), seperti Divan Semesta dan PYTM (Penghianat yang Telah Musnah) ikut berkonstribusi menyumbang tulisan di sana. Tulisan-tulisan Divan yang nyastra, sederhana dan berbau filsafat seakan mengajak untuk bertamasya menelusuri cabang-cabang pemikiran dan sejarah. Melihat celah-celah dalam argumentasi, membedah berbagai pemikiran dari berbagai sisi. Tulisan-tulisan PYTM yang realistik, disertai data, dan fakta seperti membakar, seakan-akan mengajak untuk segera melakukan revolusi. Sementara Ali Mufti (Bos magz) yang paling sering berganti-ganti nama, tetap menjaga hubungan emosi dengan pembaca, menjalin kedekatan dengan menceritakan kehidupan sehari-harinya, yang menyedihkan, memalukan, menggelikan, dan mengharukan.
Menemukan kemiripan pemikiran, perasaan, atau bahkan hal-hal yang bisa terjadi di diri kita pada tulisan orang lain terkadang menimbulkan kesan yang berbeda. Selain membuat kita mungkin memaknai hal-hal biasa tersebut menjadi lebih jujur, bukankah seperti yang diungkapkan Cathleen Lewis dalam bukunya yang berjudul Rex (buku tentang seorang ibu, anaknya yang buta dan autis serta musik yang mengubah kehidupan mereka) bahwa, Persahabatan dilahirkan pada waktu dimana seseorang berkata pada yang lainnya: Apa! Kau juga? Aku pikir hanya aku saja.”
Sebelum membaca magz itu saya sering kali merasa kurang beruntung. Dan kadang-kadang diam-diam mempertanyakan beberapa hal kepada kepada Allah. Ya Allah, mengapa saya dilahirkan dengan emosi yang tidak sestabil teman saya yang lainnya? Mengapa cara berpikir saya berbeda dengan teman-teman lainnya? Saat teman-teman sepermainan saya memandang daun sebagai bagian dari tumbuhan, saya tidak bisa melepaskan kerumitan pikiran saya yang mempertanyakan bagaimana Allah memperhatikan, mengurus tiap helai daun yang sangat banyak jumlahnya itu? Saat teman-teman sekelas saya tertawa di tengah gurauan mereka, saya hanya meringis hampir menangis, karena memikirkan apakah kegembiraan seperti itu yang menjadi tujuan hidup?
Dan sepertinya Allah kemudian mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengirim beberapa orang dalam hidup saya. Selain mempertemukan saya dengan orang-orang yang mengajak saya mengkaji kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin (yang menguraikan tentang hakikat berfikir, hakikat manusia, Islam sebagai mabda), Allah menakdirkan saya mengenal para penulis-penulis dalam magz itu.
Sungguh dari tulisan-tulisan dalam kitab-kitab dan magz itu saya belajar bahwa tidak ada yang perlu disesali dari emosi yang telah melekat pada watak kita sejak lahir. Allah tidak akan menghukum kita hanya karena kita agak pemarah dan melankolis. Allah hanya menilai dimana kita menumpahkan kemarahan kita. Apakah pada kebenaran atau kezaliman? Apakah pada orang yang berbuat sesuai syariat atau pada orang-orang yang menghina Islam? Bila dalam kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani saya belajar memahami hakikat berfikir (akal), cara kerja akal, apa yang dapat dipikirkan dan apa yang mustahil untuk dipikirkan. Dalam magz itu saya bertemu orang-orang yang memiliki kemiripan. Pernah terbelit sastra dan filsafat. Cemas dengan relitas sosial yang ada. Ya Allah, ternyata saya tidak sendirian!
Kadang-kadang kita berusaha mengubah apa yang ada pada diri kita karena kita ingin berbuat untuk sesuatu yang berarti dalam hidup kita. Seorang teman yang dulunya pendiam dan tak pernah sekalipun angkat suara dalam diskusi perkuliahan, berubah menjadi orator demostrasi, pembicara di kajian-kajian mesjid kampus, saat akidah dan pemikiran-pemikiran Islam telah terinternalisasi dalam dirinya, saat ridha Allah menjadi hal yang sangat berarti dalam hidupnya, saat dia paham bahwa dakwah adalah perkara wajib dan tidak bisa dilaksanakannya bila tetap diam. Dia harus berbicara di depan banyak orang!
Demikian pula saya. Waktu itu saya agak introvert dan terlalu pemalu. Saya tidak pernah membayangkan akan menjadi pedagang, penjual majalah. Mendatangi konsumen, menjalin hubungan dengan mereka, menawarkan barang yang saya jual, merayu mereka supaya tertarik. Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya… Akan tetapi magz itu sangat berarti! Saya ingin magz itu tetap eksis dan orang lain ikut tercerahkan seperti yang saya rasakan. Maka mulailah saya merayu sepupu saya untuk menjadi distro (agen). Dia yang mendanai dan saya yang mendistribusikan. Setiap bertemu teman seangkatan, adik dan kakak sefakultas, teman-teman dari fakultas lain, saya selalu mencari kesempatan untuk mengobrol dan menawarkan magz tersebut. Karena memang tidak berjiwa dagang, keuntungan tidak pernah terkumpul. Beberapa magz itu saya berikan cuma-cuma pada orang-orang yang saya sayangi dan berharap mereka turut mendapatkan pencerahan sehabis membacanya.
Akan tetapi, ketika sepupu saya mendapat beasiswa studi ke luar negeri, saya harus mendapatkan uang sendiri. Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang yang cukup banyak kecuali mencoba menghilangkan rasa malu dengan mengirim tulisan-tulisan ke koran. Honor dari tulisan-tulisan itu saya gunakan untuk modal membayar uang muka pemesanan magz itu. Karena terbit lebih tebal magz itu mengalami kenaikan pereksemplarnya.
Kadang-kadang pula, kita tumbuh, berusaha berubah mengikuti sosok atau karakter yang kita kagumi. Betapa terpesonanya saya dengan rasa percaya diri dalam menyampaikan kebenaran yang menjiwai tulisan-tulisan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam kitab-kitabnya, beliau sekokoh karang dengan kerangka pikir yang cemerlang dan menakjubkan ketika menyampaikan, menguraikan kebenaran-kebenaran yang beliau yakini, yang memang berdasarkan dalil (aqli maupun naqli).
Dan saya pun menemui warna-warna lain, beragam warna menjiwai tulisan-tulisan dalam minimagz itu.. Saya kagum dengan bahasa nyastra yang digunaka Divan, lugas tetapi tetap indah, sederhana tetapi menyentuh dasar-dasar pemikiran, dan menggerakkan. Dari Divan saya belajar mengubah kemarahan menjadi keberanian. Saya pun kagum degan PYTM, kagum dengan kemampuannya mengorganisasi dan memobilisasi teman-temannya di LY (Liberation Youth), kagum dengan kreativitasnya menerbitkan zine NC (No Compromise), kagum dengan kemampuannya menjalin hubungan dengan berbagai kalangan. Kagum dengan data dan fakta yang dia muat dalam tulisan-tulisannya. Saya pun belajar menghadapi permasalahan sehari-hari dari Ali Mufti. Dari setiap peristiwa kita memiliki pilihan untuk memaknai. Menghadapi masalah dengan sedikit tertawa kadang memang bisa membantu kita mengikhlaskan diri, berdamai dengan diri sendiri. Kebijaksanaan Sugarose (sampai sekarang saya tidak tahu nama aslinya), keceriaan Chibi, adalah warna lain yang saya temui di magz itu.
Ada begitu banyak warna tersaji. Saya tinggal memilih ingin menggunakan mana warna, karakter yang lebih dominan dalam tulisan-tulisan yang ingin saya tulis. Dan lagi-lagi minimagz itu memberi inspirasi! Bukankah kadang mereka menggunakan nama samaran yang berbeda-beda. Saya bisa meniru mereka. Tinggal memilih nama yang memiliki karakter cukup mewakili. Dan bukankah kadang-kadang orang menilai kita dari nama yang kita miliki?
Hanin el-Liwa, ini nama panggilan yang saya gunakan pertama kali. Seorang teman memproklamirkan namanya sebagai Izzah ar-Raya setelah mengetahui bendera hitam yang biasa dibawa Rasulullah Saw dalam peperangan disebut Raya. Saya waktu itu tidak mau ketinggalan, bukankah selain bendera hitam, Islam juga memiliki bendera yang berwarna putih yang di sebut Liwa. Karena tidak ingin ada yang menggunakan nama itu mendahului kami, nama itu sudah harus diketahui khalayak banyak, teman-teman pengajian sekampus. Caranya, tentu saja dengan menyertakan nama itu dalam tulisan di bulletin keislaman maupun di mading mesjid kampus.
Nama-nama di minimagz itu memberikan inspirasi lain. Waktu itu saya memegang devisi Opsymas (opini, syiar, dan humas) di Al Furqon FKIP. Saya kemudian mengajak beberapa teman yang menjadi anggota Opsymas untuk menerbitkan bulletin, Friends. Edisi awal berbentuk lembaran dulu dan hanya difotocopy di kertas berwarna supaya dapat diterbitkan dalam jumlah besar (sebanyak mahasiswa baru di FKIP) dengan biaya yang minim (yang separuh biayanya kami kumpulkan dengan cara sukarela). Walau mengusung ide Islam, karena target pembaca adalah mahasiswa baru, tulisan dalam bulletin itu kami buat berkarakter santai dan gaul. Nama Padang Langit, sepertinya cukup tepat (ini terinspirasi dari nama Divan Semesta), warna karakter dari tulisan saya tersebut tentu saja Divan banget (karena mungkin juga terkesan, teman saya Fitri turut menggunakan nama Padang Langit tersebut dalam blognya). Akan tetapi, nama Padang Langit, yang terkesan ‘berani’ tentu tidak cocok bila saya cantumkan dalam cerpen-cerpen saya yang melankolis. Sedangkan nama asli saya, belum terlalu PD saya cantumkan. Harus ada nama baru. Ana, nama yang megesankan sosok yang cewek. Dan cukup mewakili karakter saya.
Kemudian saat Ratih teman sejurusan, anggota Opsymas di Al Furqon dan sama-sama suka menulis cerpen di Radar Banjarmasin terlibat perdebatan di Cakrawala dengan Bapak Sainul Hermawan, dosen kami, sebagai teman saya tergerak untuk membantunya. Namun, sebagai mahasiswa tentu tidak sopan kalau mengkritik tulisan dosennya sendiri. Harus ada nama samaran yang menutupi identitas saya. Nama Padang Langit, terkesan bukan nama asli dan kurang dewasa (tulisan yang menggunakan nama Padang Langit biasanya saya buat agak gaul). Nama Ana, terlalu feminim, kurang cocok untuk berkonfrontasi. Saya waktu itu mendiskusikan nama baru untuk esay saya itu bersama Amali teman sejurusan. Kami sepakat nama Rain Fajar cukup terkesan berwibawah. Dengan berusaha menjiwai rasa percaya diri An-Nabhani dan semangat Divan, esay-esay saya di Cakrawala Radar Banjarmasin sering menggunakan nama ini.
Sudah hampir tiga tahun ini minimagz itu tidak lagi terbit. Saya pun tidak menjadi distro lagi. Namun, silaturahmi dengan para kru penulis minimagz tersebut masih terjaga. Sekedar ‘say hello’ atau mengirim doa di hari lebaran. Begitu juga hubungan saya dengan para pelanggan minimagz tersebut, kadang-kadang masih terjalin. Saya masih menyimpan nomor-nomor mereka. Dan pada hari-hari besar seperti Ied Fitri 1430 H kemarin, saya masih berkirim SMS dengan beberapa dari mereka.
Mengakhiri esay ini saya ingin mengutip tulisan dari Sugarose (yang pernah terbit dalam salah satu edisi di minimagz itu), tulisan yang sering kali saya baca, menjadi motivasi saat rasa pesimis dan keputusasaan mendera diri:
…Barangkali nanti, justru Allah akan menguatkan kita dari kelemahan-kelemahan yang kini ada. Barangkali sebenarnya kita tidaklah selemah yang kita kira.
Yang mesti dilakukan adalah menyusun rencana, mengumpulkan segenap kemampuan untuk menangkal kekhawatiran yang diperkirakan akan datang.
Kemudian berdisiplin melaksanakannya.
Tidak mudah memang....
Tapi, justru itulah Allah meminta kita untuk selalu bersabar terhadap-Nya.
“IA mengganjar sangat tinggi siapa saja yang pergi keluar rumah untuk memenuhi hajat saudaranya.”
(untuk eks kru OpenMind: OM, maaf esay ini telaaaat. Sebenarnya saya sudah niat nulis esay tentang keberpengaruhan OM ini sejak beberapa tahun lalu. Sejak saya mengirim email dulu itu. Tetapi baru sekarang terealisasi :) )
1 s/d 5 Oktober 2009

10 komentar:

  1. barang siapa mencintai openmind,
    ketahuilah dia pasti kan tiada..

    tp barang siapa mencintai Alloh,
    maka sesungguhnya Alloh kekal dan maha kuasa..


    :D

    BalasHapus
  2. waduhhhh....... ga terlalu berlebihan tuh tentang eikenya? Perasaaan eike ga gitu2 banget dech. Eike biasa aja:)
    But thanx ya udah sedemikian rufanya terhadap kami

    BalasHapus
  3. Terimakasih Rismi, seandainya teman-teman di OM mengetahui tulisan ini, tentu mereka ikut berbahagia. Allah maha besar, mudah2an Allah mensucikan hati saya hati teman-teman, hati rismi, hati kita dari pengagungan diri. Keep Writing, dan terus membaca buku yang bermakna, terus menonton dan menelaah alam. (divan)

    BalasHapus
  4. Terimakasih Rismi. Seandainya teman-teman OM: Ali, Sugarose Chibi dsb membaca tulisan ini, mereka pasti berbahagia.

    Ada banyak hal yang membuat kami terharu.

    Well, mudah-mudahan Allah mensucikan hati saya, hati teman2 di OM, hati Risma, hati kita dari pengagungan diri yang akan menghancurkan amalan baik kita.

    Tetap menulis, tetap membaca hal yang bermakna...:). (divan)

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah.... Akhirnya orang yang beberapa tahun lalu saya 'paksa-paksa' untuk mengakui saya sebagai muridnya, yang saya 'paksa-paksa' untuk menjadi guru menulis saya, hari ini saya baca perkataannya langsung yang ditujukannya untuk saya (saya seneng banget, Allah Mahatahu, walau beberapa kali berniat ke warnet untuk memposting tulisan selalu ada halangan. Dan disaat hati saya 'runtuh', hari Allah menghibur saya dengan menuntun saya membaca tulisan teman2 kru Openmind, terutama Divan )
    Beberapa waktu lalu saya search nama Divan di google, terus muncul blog Divan yang memuat tulisan Ali Mufti juga. Kalau Ali tulisannya masih kayak dulu walau lebih 'kalem' dan ada nuansa haru ditulisannya. Cuma Divan sekarang gak seprovokatif ( tulisan istilah in bener gak ya?)dulu.
    Abis baca tulisan kalian, saya jadi terinsfirasi nulis juga tentang pengalaman.
    Semoga orang-orang yang pernah terlibat, baik sebagai kru OM, para distro, dan para pelanggan OM, semuanya senantiasa dalam keridhaan Allah. Semoga petunjuk, kasih sayang Allah, selalu tercurah untuk kita semua. Semoga kita dipertemukan ditempat yang baik, sangat baik....di Hari setelah perhitungan amal setiap manusia kelak... Amin ... Allah...

    BalasHapus
  6. hihihihihihi.....baru baca awak tulisan ini....terima kasih banyak untuk semua pencerahannya...hehehehe untuk kang Divan awak kangen sama nt lama juga ga ketemu...kang ali kapan balik kemalang lagi..hihihi...kami semua sangat merindukan kalian semua...ide² ganas kalian..kang PYTM kok semakin menjadi ya bencos nya..apa sudah ada kerjaan dipanti pijat? rismi yang baik hati..semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita semua...amin

    BalasHapus
  7. Assalamu'alaykum. Saya harus jujur bahwa saya juga pecandu om! Semoga doa2 yg dilontarkan di atas dikabulkan Allah. Aamiin.

    BalasHapus
  8. cool, eike salah satu 'korban'nyah, sampe jadi iut kajian, sampe jadi kaya gini. mana open mind 1942nyah????
    082335544455

    BalasHapus