Kamis, 23 April 2009

Cerpen: Luka Hati Isam

Luka Hati Isam
Oleh: Rismiyana
Suara jam weker di atas meja membangunkanku. Kukucek-kucek mata sambil mencari sandal di bawah ranjang. Hal yang paling berat kulakukan disini adalah sholat Subuh! Bukan melaksanakan ritual sholatnya, tapi mengmbil air wudlu sebelum sholat Subuh. Suhu udara menjelang pagi pada musim dingin di negeri Belanda yang minus 0 derajat ini benar-banar seperti membekukan aliran darah!
Ada satu lagi yang membuatku agak berat mengambil air wudlu. Kamar mandi wanita ada di lantai bawah. Waktu subuh seperti ini, saat penghuni lain tertidur di bawah selimut tebal mereka, aku harus terseok-seok melawan udara dingin menyusuri koridor dan tangga gedung..
Sebenarnya tepat di sebelah kanan kamarku ada kamar mandi yang cukup luas. Akan tetapi sesuai kesepakatan penghuni gedung, kamar mandi itu khusus diperuntukkan untuk penghuni laki-laki.
Gedung yang kutempati sekarang adalah gedung yang disediakan untuk menampung mahasiswa-mahasiswa seperti kami yang berasal dari berbagai Negara. Penghuninya ada 30 orang. Ada yang dari Jepang, Kanada, Jerman, Brazil, Itali, Inggris, dan masih ada beberapa yang belum kukenal.
Selesai berwudlu, sambil menggigil aku kembali ke kamarku. Aku hampir sampai saat satu sosok hitam, tinggi besar keluar dari kamar mandi di sebelah kamarku.. Kami hampir bertabrakan.
“Sorry.” Sosok itu rafleks mundur sambil menjauhkan tangannya. Seperti begitu takut mengenaiku.
Hei, tangannya basah! Kaki, rambut dan wajahnya juga!
“Wudlu?” Aku memberanikan diri menegurnya.
Dia meringis sebentar kemudian tertawa.
“Yeah… You?” Dia pasti bisa menebak aku seorang muslimah. Kerudung yang kupakai sebagai tanda.
“Yeah.” Aku mengangguk sambil menggemeretakkan gigiku. “It’s so cold!” Kataku lagi.
“Where do you come from?” Dia menanyakan negeri asalku.
Indonesia.”
Dia tampak surprise. Kemudian sambil tersenyum dalam bahasa Inggris dia berkata, “Indonesia negeri tropis dan penduduknya merupakan umat muslim terbanyak di dunia.”
Setelah berbasa-basi sebentar dia menuju kamarnya yang berada paling pojok di sebelah kiri. Uups, tadi aku lupa menanyakan namanya!
Lia, Sari, dan Mita, beberapa temanku dulu pernah bercerita bagaimana mereka menilai seseorang saat pertama kali bertemu. Lia mengatakan bahwa hal pertama yang dia nilai dari seseorang yang baru ditemuinya adalah cara berpakaian kenalan barunya. Seseorang yang baik meurutnya pasti akan memakai pakaian yang sopan. Tidak harus memakai pakaian yang mahal, tetapi rapi dan serasi.
Sedangkan Sari, sangat memperhatikan suara dan cara kenalan barunya menyusun kata-kata. Kualitas kepribadian dan intelektual seseorang menurutnya dapat diukur dari kata-kata yang disusun dan intonasi saat berbicara.
Lain lagi dengan Mita, dia malah mengandalkan nalurinya. Menurutnya walaupun penampilan orang yang baru dikenalnya rada aneh, bila hatinya merasa tenang saat berkomunikasi dengan kenalan barunya, itu menandakan kenalan barunya dapat dipercaya. Mungkin itu karena pembawannya yang sangat sensitive. Mungkin itu pula yang menyebabkan dia memiliki beberapa teman akrab yang jarang atau malah belum pernah ditemuinya.
Nah, penilaianku terhadap Isam (laki-laki yang hampir menabrakku Subuh itu ternyata bernama Isam) merupakan gabungan dari penilaian teman-temanku itu. Sebagai seorang Muslim dia memakai pakaian sopan dan menutup aurat, kata-kata dan intonasi suaranya menyenangkan. Bertemu dengannya membuat hatiku merasa lega dan saat bersamanya aku merasa aman.
Isam termasuk penghuni lama di gedung. Dia baru tiba dari Inggris. Selama hamper satu bulan dia pulang menengok ibunya yang sakit. Dia lahir dan menjadi remaja di Amerika. Saat memasuki usia 20 tahun ibunya mengajaknya pindah ke Inggris.
Aku kemudian mengetahui bahwa di gedung ini dialah yang paling dihormati oleh penghuni lainnya. Seperti telah menjadi kesepakatan bersama bahwa dialah yang diangkat menjadi ketua. Keputusan-keputusan, kesepakatan dan peraturan yang diterapkan bagi penghuni gedung biasanya diberlakukan setelah melakukan musyawarah yang dipimpin olehnya.
Walau ditakuti dan dihormati oleh seisi gedung, sebenarnya Isam bukanlah sosok yang mengerikan. Usianya terpaut 3 tahun di bawahku. Tubuhnya memang hitam dan tinggi besar, tapi siapapun tahu dia sangat ramah dan humoris. Kalau saja badannya lebih kurus, niscaya dia akan menjadi yang paling tampan di gedung ini!
Selain suaranya yang cukup membahana, keberadaan Isam biasanya dapat terdeteksi dengan mengendus baunya. Minyak harum yang digunakannya benar-benar made in Arab! Seandainya dia melewati depan kamarku, kemudian aku membuka pintu 15 menit setelahnya, niscaya wangi minyak harum yang dipakainya masih tercium di sepanjang koridor yang dilewatiya.
Isam juga ternyata senang memasak. Biasanya ia memasak masakan Timur Tengah. Ibunya yang mengajari, katanya. Sambil memasak dia menyenandungkan lagu yang terdengar lucu.Tapi aku tidak mengerti makna lagu itu. Isam menyanyikannya dengan bahasa Arab.
Siang itu aku baru saja selesai maka bersama Elly mahasiswa dari Itali, saat Isam yang membawa laptopku datang bersama Thomas. Thomas adalah mahasiswa dari Kanada. Dia pengagum panatik Isam. Bagi Thomas, Isam adalah guru kehidupan. Ya, semacam orang yang cara hidup, pola pikir dan sikap yang dijadikannya panutan. Aku bahkan memprediksi, Thomas akan masuk Islam!
“Farah, ini laptopmu. Kerusakkanya sudah diperbaiki.”
“Terima kasih. Berapa biaya perbaikannya?”
“Tidak usah. Yang memperbaikinya temanku. Dia juga muslim.”
Isam memang banyak memiliki teman yang muslim. Umumnya mereka berasal dari Timur Tengah. Beberapa waktu lalu dia mengantarku ke Islamic Center di Selatan kota Amsterdam. Di sana aku diperkenalkannya dengan beberapa muslimah Timur Tengah yang dikenalnya.
“Farah, bagaimana kamu mengetahui waktu sholat?”
“Dari jam weker.” Di negeri Kincir Angin ini waktu sholat selalu berubah-ubah. Perubahannya kadang sangat drastis. Sementara suara adzan kecuali di Islamic Center tidak pernah terdengar olehku. Aku agak kesulitan mengetahui jadwal sholat secara tepat.
“Kalau kamu?” aku balik bertanya.
“Dari laptopku. Aku mendownload situs yang menyediakan layanan adzan sholat lima waktu. Kita hanya perlu mendownload sekali. Setelah itu setiap waktu sholat akan terdengar adzan. Cara kerjanya seperti weker. Waktu sholatnya akan menyesuaikan dengan domisili kita.”
“Bagaimana mendownloadnya? Situs apa?” Aku merasa tertarik dengan penjelasan Isam.
“Kalau kamu mau, sekarang kita bisa mendownloadnya.”
Aku mengangguk. Isam segera meletakkan laptop di atas meja dan mengakses situs yang dia ceritakan.
Di sini Isam banyak membantuku. Dia seperti kakak laki-laki bagiku. Saat Stevie mahasiswa dari Kanada menyelesaikan pendidikan dan kembali ke negara asalnya, dia mewariskan satu rak buku cukup besar padaku. Sesuai peraturan pemilik gedung, kamar yang ditinggalkan harus dalam keadaan sama dengan pada waktu baru ditempati, baik keadaan ruangan maupun peralatan yang ada di dalamnya. Maka, dengan bersusah payah Isam mengangkut rak buku itu dari lantai atas menuju kamarku.
Begitu juga ketika aku menceritakan kemampuan membaca Al Quranku yang masih terbata-bata dan minatku untuk belajar bahasa Arab, Isam segera merespon ceritaku. Ia meminjamkan beberapa VCD surah-surah pendek yang disertai tulisan Arab dan latin dicertai pelafalannya. Isam mengaku walau mahir berbicara dalam bahasa Arab, dia tidak bisa membaca Al Quran. Pergaulan masa remaja yang di laluinya di Amerika serta perceraian orang tuanya membuatnya jadi pecandu alcohol. Menurutnya akan lebih bersemangat belajar membaca Al Quran bila memiliki teman belajar sebagai pembanding.
Tanpa kuminta Isam pula yang melobi para penghuni gedung sehingga kamar mandi laki-laki dan wanita ditukar. Dan aku merasa sangat terbantu atas pertolongannya itu. Karena, ternyata kamar mandi di sebelah kamarku itu memiliki wastafel yang menyediakan pengatur suhu air.
Hari ini adalah yang ke 8 kalinya aku dan Golda teman kampusku mengerjakan proyek tesis di gedung kami. Aku dan dia membahas tema yang dari beberapa variabel memiliki kesamaan.
Menjelang malam dia pamit pulang. Gedung kontrakkannya berjarak beberapa blok kea rah Timur. Tiba-tiba kulihat Isam masuk. Aku menyapanya.
“Dia teman yang kau ceritakan menggarap tesis bersamamu itu?” Tanya Isam sambil tersenyum pada Golda.
“Ya, kenalkan namanya Golda Meier.” Isam mengerutkan keningnya saat aku menyebutkan nama Golda. Tanpa memperdulikan ekspresi wajah Isam aku beralih menatap Golda. “ Golda ini Isam yang sering kuceritakan padamu.”
Aku menoleh pada Isam. Isam tampak mundur beberapa langkah. Rahangnya mengeras. “Where is she from?” Isam menanyakan asal Golda padaku.
“Tel Aviv, Israel.” Golda langsung menyahut sambil mengulurkan tangannya.
Isam mundur beberapa langkah kemudian dia berjalan ke samping kiri untuk melewati kami. Tanpa berkata apa-apa dia melewati kami.
Mulanya aku merasa tersinggung dan marah atas perlakuan Isam pada Golda. Akan tetapi, beberapa hari kemudian aku mendapat penjelasan dari Isam. Isam memang lahir di Amerika, tetapi kedua orang tuanya asli Palestina. Mereka terpaksa mengungsi, menjadi imigran setelah rumah dan kampung halaman mereka dirampas orang-orang Yahudi Israel.
Awalnya, aku membela Golda. Aku katakan pada Isam untuk tidak membenci Golda karena negaranya. Isam tidak boleh membenci rakyat Israel secara pukul rata. Namun, jawaban Isam membuatku terdiam.
Menurut Isam, Israel adalah keseluruhan Yahudi yang berduyun-duyun datang merampas tanah rakyat Palestina. Mereka bermukim, mendirikan Negara di atas kucuran darah dan puing-puing tempat tinggal Muslim Palestina. Beberapa kali mereka berusaha membakar dan menghancurkan Mesjid Al Aqsa. Bahkan sekarang atas nama Negara Israel, mereka mengisolir jalur Gaza membiarkan kaum Muslim di sana kelaparan. Mereka melarang bantuan makanan dan obat-obatan diberikan pada penduduk Gaza. Suara Isam terdengar lirih. Wajahnya muram. Sekilas aku juga melihat luka yang dalam pada tatapan matanya.
Isam akhirnya memberikan pilihan padaku. Untuk memilih dirinya atau Golda. Bila aku tetap berteman dan mengajak Golda ke gedung kami, maka dia meminta supaya aku tidak lagi menegur dan berbicara dengan dirinya.
Aku terenyuh mendengar permintaan Isam. Aku dan dia adalah saudara. Kami diikat oleh akidah yang sama, Islam! Bukan hanya pada Isam yang sudah kukenal dekat, pun pada semua rakyat Palestina sudah seharusnya aku merasakan satu tubuh dengan mereka. Sesuatu yang membuat mereka terluka, menahan sakit, pun perihnya akan terasa olehku.
Ah, Isam…, sosok yang pembawaannya ceria dan humoris itu, ternyata dalam hatinya menyimpan luka.
Untuk Sepupuku yang manis:
Terima kasih untuk inspirasinya!
Penghujung 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar