Rabu, 15 April 2009

Pelajaran dari Perang Hunain

Mengukur Kadar Cinta Kita Kepada Rasulullah Saw

(Tulisan yang aku tulis dengan serius)

“The history of the world is but the biography of great man”, sejarah adalah tak lebih merupakan kumpulan biografi orang-orang besar. Pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Thomas Carlyle tersebut adalah pernyataan yang tepat untuk melukiskan makna sejarah. Karena ketika membaca sejarah, kita akan menemukan sepak terjang dan aksi orang-orang besar yang ada di dalamnya. Yaitu mereka yang pernah melakukan pekerjaan yang besar. Pekerjaan yang mampu merubah mata angin dan pola pikir umat manusia.

Dalam buku yang berjudul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Hart mendudukan Rasulullah Saw. pada urutan pertama sebagai sosok yang paling berpengaruh di dunia. Peletakan tersebut tidak hanya didasarkan pada banyaknya jumlah manusia yang dipengaruhinya, tetapi juga kualitas pengaruh yang beliau berikan pada diri setiap manusia yang menjadi muslim karena menerima dakwah beliau.

Di kalangan umat Islam sendiri, ada banyak buku-buku sejarah (sirah )yang meceritakan kehidupan Rasulullah Saw. Baik dari sisi pejalanan hidupnya sejak kecil, akhlaknya yang terpuji, kehidupan rumah tangganya yang harmonis, dakwah politis yang ditempuhnya dalam membangun pondasi Daulah Islam, dan dari sisi-sisi lain kehidupan beliau. Sepanjang hayat beliau selalu ada pelajaran sejarah yang bisa dipetik.

Beliau adalah pembawa wahyu Allah Swt dan uswatun hasanah, teladan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Kecintaan kaum Muslim pada beliau, telah dan akan terus ada. Kecintaan pada beliau adalah perkara yang wajib ditanamkan dan dimiliki pada diri setiap muslim dan keluarganya. Kecintaan pada Allah Swt dan Rasulullah Saw. harus berada pada derajat teratas, melebihi kecintaan pada yang lain.

Untuk mengetahui kadar kecintaan kita kepada Rasulullah Saw., kita dapat melakukan banyak cara. Salah satunya dengan mencoba mengukur seberapa besar pengorbanan yang kita berikan untuk agama yang beliau bawa. Caranya yaitu dengan membandingkan pengorbanan kita dengan pengorbanan yang pernah diberikan segolongan umat Islam terdahulu semasa beliau hidup. Salah satu golongan itu adalah kaum Anshar. Anshar adalah julukan yang diberikan Rasulullah pada umat Islam di Madinah yang menerima hijrah Rasulullah dan para sahabat. Bagaimana kecintaan, ketaatan, dan pengorbanan kaum Anshar terhadap Rasulullah Saw. tergambar jelas pada masa perang Hunain.

Dalam perang Hunain yang sangat terkenal itu, Malik bin ‘Auf al-Nashriy memimpin orang-orang Hawazin dan Tsaqif melawan pasukan kaum Muslimin yang saat itu dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. Malik menggunakan strategi yang cemerlang dengan mengajak pasukannya menghadang pasukan Rasulullah di sebuah lorong sempit pada sebuah lembah. Mereka akan menggunakan serbuan tiba-tiba dan mematikan untuk mengacau-balaukan musuh.

Maka malam harinya dalam kegelapan menjelang fajar, ketika melewati celah itu kaum muslimin diserang tikaman dan dihujani anak panah dari berbagai penjuru arah. Pasukan yang berjumlah 12.000 personil itupun kocar-kacir. Dalam kegelapan, masing-masing berusaha mencari perlindungan. Para Sahabat yang ikut beperang dengan ikhlas karena Allah, mencari perlindungan didorong oleh naluri kemanusiaannya yang alami. Sedangkan mereka yang baru masuk Islam dan berangkat berperang tanpa tujuan yang jelas mencari perlindungan karena takut dan berbisik-bisik menunggu kekalahan pasukan Islam bahkan ada yang berencana membunuh Rasulullah saw. Tidak ada yang tersisa di celah itu kecuali Rasulullah Saw dan pamannya Abbas, serta sekelompok kecil kalangan Muhajirin dan Anshar. Pada saat yang sulit dan kritis itu Rasulullah Saw tetap memutuskan untuk tetap maju sambil berusaha bertahan di atas bagal putihnya.

Di saat yang genting itu Abbas yang memiliki suara yang nyaring dan berat, berteriak, “ Hai kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon!” suara teriakan Abbas itu menggema karena dipantulkan celah lembah yang sempit.

Mendengar teriakan yang menggema itu, pasukan dari golongan Anshar yang kocar-kacir itu tersadar. Mereka ingat peristiwa bai’at Aqabah kedua yang berlangsung di bawah sebuah pohon sebelum terjadinya peristiwa Hijrah (kepindahan Rasulullah dari Makkah ke Madinah). Baiat itu untuk memastikan kesiapan mereka menerima hijrah Rasulullah dan kaum muslim yang waktu itu mendapat intimidasi yang sangat keras dari kafir Mekkah dan bahkan rencana pembunuhan pun telah didengungkan untuk mereka.

Saat itu mereka datang ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah Saw. Dalam kegelapan dan dilakukan secara diam-diam karena ancaman kafir Qurais mereka menanti kedatangan Rasulullah Saw. Kemudian datang Abbas (yang waktu itu belum masuk Islam) menemani Rasulullah Saw. Dia datang untuk mengawasi dan menjaga keponakannya itu. Sebelum baiat terjadi, Abbas berkata kepada mereka (yang berjumlah 75 orang), “Wahai Kaum Khazraj sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami (kafir Qurais) yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya . Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelantarkannya setelah kalian keluar bersamanya menuju tempat kalian (Hijrah dari Mekkah ke Madinah), maka mulai saat ini tinggalkan dia.”

Mereka sendiri saat itu berkata kepada Rasulullah Saw, “Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami mewarisinya dengan penuh kebanggaan.”

Abbas kembali bertanya pada mereka, “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna membai’at laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membaiatnya untuk memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya, itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambillah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat.”

Kaum Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski denga resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka.” Kemudian mereka berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu?” Rasulullah saat itu menjawab dengan suara tenang, “Surga”.

Seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tanggannya masing-masing lalu menggenggam tangan beliau dan membaiatnya dengan berkata-kata, “Kami membaiat Rasulullah Saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci, maupun musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari pemiliknya serta mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga tidak akan takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.”

Setelah sadar dan mengingat isi bai’at itu, pasukan kaum muslim terutama golongan Anshar keluar dari perlindungan. Mereka maju dan terus mendesak ke tengah medan perang sambil menganggap kematian di jalan Allah (syahid) adalah kenikmatan. Walau kehilangan banyak anggota pasukan, perang itupun akhirnya dimenangkan kuam Muslim. Orang-orang Hawazin dan Tsakif akhirnya melarikan diri. Harta dan milik mereka, yang meraka kumpulkan dan dibawa ke medan perang, menjadi Ghanimah bagi pasukan Muslim.

Ghanimah (harta rampasan perang) Hunain itu jumlahnya terbilang besar. Rasulullah Saw. seperti biasa dengan sifat dermawan, arif dan kegeniusan sikap politisnya membagikan ghanimah itu. Dalam pembagian itu, Orang-orang muallaf yang dulunya memiliki pemusuhan yang keras terhadap kaum muslimin seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Suhail bin Amru dan yang lainnya mendapat bagian yang jauh lebih banyak daripada kaum Anshar.

Kaum Anshar yang belum paham akan hikmah di balik cara pembagian dan pendistribusian ghanimah itu membicarakan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw. tersebut. Sebagian mereka berkata diantara mereka, “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak pada kaumnya!” perkataan itu berpengaruh dalam jiwa mereka. Mereka merasa Rasulullah pilih kasih dan tidak adil. Rasulullah dan para mualaf itu memang sama-sama dari suku Quraisy. Bahkan pemimpin Anshar, Sa’ad bin Ubadah berucap sama. Rasulullah yang mendengarnya kemudian bertanya pada Saad, “Dimanakah posisimu dalam hal ini hai Saad?” Saad menjawab, “Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku.” Rasulullah lalu berkata, “Kalau begitu kumpulkan kaummu (kaum Anshar) untukku di tempat penginapan unta!”

Saad kemudian mengumpulkan kaumAnshar, lalu Rasulullah berbicara kepada mereka, “Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan kalian hidayah; dan dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian.” Mereka menjawab, ‘Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasulullah berkata lagi, “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?” Mereka menjawab, “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-nya segala keamanan dan keutamaan.”

Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka, “Apa pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang (hijrah) kepada kami dalam keadaan didustakan (oleh kaum Qurais di Makkah), lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan pada diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian, aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan kambing-kambing dan unta-unta, sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka.” Belum selesai ucapan Rasulullah itu, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. Mereka berkata, “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami)”.

Dari peristiwa sejarah di atas tergambar pada kita bagaimana kecintaan para sahabat Anshar terhadap Rasulullah Saw. Mereka lebih mencintai Rasulullah dibanding yang lain. Bahkan ketika diberi pilihan apakah memilih harta rampasan perang yang bejumlah sangat banyak, atau hanya mendapat bagian sekedarnya namun dengan Rasulullah tetap berada diantara mereka, mereka memilih pilihan yang kedua.

Bagaimana dengan kita? Sudah maksimalkah pengobanan sebagai wujud cinta kita kepada beliau? Beliau telah tiada dan hanya meninggalkan Al Quran dan As Sunnah sebagai panduan syariat dalam menjalani kehidupan ini. Inginkah kita menerapkan syariat itu tidak hanya dalam hubungan kita dengan Allah (ibadah mahdoh), tetapi juga dalam penyelesaian berbagai masalah: kriminal (qishas) perekonomian jual beli (muamalah), pendidikan, pergaulan sosial sehari-hari, pengurusan pemerintahan dan lain-lain.

Semoga kedepannya, apa yang kita serahkan, yang kita korbankan untuk risalah, syariat Islam yang beliau bawa, lebih maksimal lagi. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar