Sabtu, 23 Oktober 2010

Doa Hening









DOA HENING


Ya Allah…
Jadikanlah keheningan ini sebagai wasilah mengingatmu
Jadikanlah kesunyian ini sebagai momen mentafakuri kebesaranmu

Ya Rabb….
Bantulah diri ini agar senantiasa bersyukur atas nikmatMu
Atas anugerahMu yang selalu terlimpah…

Ya Allah….
Penuhilah dada ini dengan keimanan kepadaMu,
Isi lah hati ini dengan kesabaran atas QadlaMu
Tolong jaga hati ini
Agar senantiasa mengingatMu
Agar senantiasa ikhlas menjalani hidup ini
Semata mengharap keridhoanMu
Amin
Riam Kanan, Selasa 06 April 2010, 17:41 Wita

Membicarakan Model Pembelajaran

MEMBICARAKAN MODEL PEMBELAJARAN
DI WARUNG PINGGIR JALAN

Sekitar 10 bulan lalu saat masih mendiami kost di sekitar lingkungan Unlam, kami (saya, kakak sepupu, dan dua orang teman lainnya) kadang-kadang makan bareng di warung tenda pinggir jalan. Makan bareng dalam artian, salah satu dari kami mentraktir yang lainnya. Dan kakak sepupu saya yang paling sering melakukannya, alasannya tentu saja karena pendapatannya yang paling lumayan diantara kami.
Namun, menurut saya ada satu alasan lagi mengapa dia sering mentraktir kami, terutama saya adik sepupunya. Dia pernah berkata setelah mengikuti ritual makan bareng di warung untuk pertama kalinya, “mudah sekali membuat kalian bahagia”. Ya, saat itu ada nasi putih hangat, the es dingin, lele goreng yang masih berasap karena baru diangkat dari penggorengan, dan lalapan. Jenis lauk yang biasanya sama jumlahnya dengan jumlah kami yang melingkarinya dan kami seperti biasa saling berbagi. Sebenarnya, setelah seharian mengajar, kuliah, pengajian dan diskusi, dengan uang pas-pasan yang ada, ditraktir makan tentu hal yang menyenangkan bukan? Atau saat kita memiliki uang lebih, mentraktir teman-teman, memberi uang pada pengamen yang kadang tidak hapal lirik lagu juga segerombolan anak-anak lusuh yang tiba-tiba datang meminta receh adalah hal-hal kecil tapi bila dihayati cukup membahagiakan.
Suatu ketika, di bulan Desember, penghujung 2009 selesai mengikuti diklat guru mata pelajaran yang hamper seminggu saya ikuti, kami bertiga (saya, kakak sepupu saya, dan Amali) mengunjungi salah satu warung di pinggir jalan itu. Di acara makan bareng itu (ini adalah acara makan bareng terakhir kami sebelum pindah), seperti biasa kami berbagi cerita. Dengan bersemangat saya menceritakan pengalaman selama mengikuti diklat sekaligus mengutarakan pemikiran yang muncul dibenak. Saya menceritakan tentang model-model pembelajaran yang sekarang sedang giat digalakkan di sekolah-sekolah. Model-model pembelajaran yang mengkondisikan guru hanya sebagai fasilitator, model-model pembelajaran yang menurut pemikiran saya banyak menghabiskan waktu dan energy siswa untuk melakukan berbagai aktifitas penemuan sendiri.
Saya menceritakan itu, karena Amali yang juga telah berstatus guru, dulu mengambil mata kuliah yang sama dengan saya, Dari beberapa dosen, kami mendapat informasi tentang asal-usul aliran filsafat yang berkembang di dunia, asa-usul pemerolehan bahasa, teori-teori pembelajaran dan kami beberapa kali mendiskusikan tentang itu, membenturkannya dengan pemahaman keislaman yang kami miliki. Walau Kami bukan pakar pendidikan dan masih belajar, kami menemukan kesalahan-kesalahan mendasar.
Saya ceritakan masalah itu pada sepupu saya juga karena saya tahu dia kadang-kadang secara berkala berkunjung ke sekolah-sekolah di daerah yang sedang berusaha menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional) untuk memberikan pelatihan-pelatihan tentang model pembelajaran. Jadi, pembicaraan itu menurut saya lumayan relevan, walau dibicarakan di warung kaki lima sekalipun, bahkan sambil memandang gelas yang tinggal menyisakan es batu saja.
Menjelang akhir makan bareng itu, saya membuat kesimpulan. Bahwa model-model pembelajaran yang seperti itu jika mendominasi proses belajar mengajar di sekolah, tidak akan membentuk atau menghasilkan anak didik dengan karakter seorang pemikir, seorang ahli sekelas mujtahid-mujtahid di jaman keemasan Islam. Bahkan bila model pembelajaran seperti itu diterapkan sejak dini, yaitu sejak pendidikan dasar, maka karakter seorang anak yang memiliki syaksiyah (pola piker dan pola sikap) Islam tidak akan terbentuk. Model-model pembelajaran yang bila dirunut berasal dari pemikir-pemikir atheis yang mengimani dialektika materialism, pemikir-pemikir sekuler yang hanya mengakui keberadaan Tuhan sebatas sebagai Pencipta bukan sebagai pembuat aturan di dunia. Pemikir-pemikir yang telah salah sejak awal, sejak mendefenisikan apa itu akal. Padahal akal adalah pusat terjadinya proses pembelajaran.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu memberikan komentarnya, ibu-ibu itu mungkin berusia sekitar 4o tahun. Dia baru datang dan sedang menunggu makanannya yang sedang disiapkan pelayan warung. Saya tidak ingat redaksi, susunan kata-kata beliau, hanya maknanya kurang lebih bahwa kami salah dalam memahami akal (beliau menyamakan otak dengan akal),, menurutnya manusia memiliki otak kiri dan otak kanan yang memiliki keterkaitan dengan keterampilan motorik, keterampilan bahasa, dan lain-lain. Model-model pembelajaran menyesuaikan dengan itu.
Kami bertiga terdiam mendengarkan perkataan ibu itu. Setengah kaget juga, tidak menyangka akan ada yang tiba-tiba berfartisipasi dalam diskusi kami. Sebelumnya kami hanya mengira pelayan-pelayan warunglah yang menjadi pendengar setia kami . Saya berusaha keluar dari kekakuan itu sambil menganguk-angguk. “Pian ngajar dimana, Bu?” Beliau menyebutkan sebuah Sekolah Menengah Atas di Banjarmasin. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa dipraktek mengajar selanjutnya kami akan lebih memahami tentang model-model pembelajaran.
Tanpa dikomando kami bertiga serempak mengangguk dan entah meringgis atau tersenyum berpamitan dengan ibu itu. Di luar tenda, ditempat parkir saya bertanya pada teman saya, Amali, “Ibu itu mengira kita mahasiswa ya?”
“Mahasiswa yang sedang mengambil matakuliah PPL.” Jawabnya sambil tekurihing (tersenyum).
Saat sepeda motor saya bawa melaju meninggalkan tempat itu, sepupu saya yang duduk di belakang berkata, “Ris, nanti-nanti kamu jangan seperti ibu tadi ya.” Saya mengiyakan, sambil memusatkan perhatian ke jalan yang terlihat remang-remang.
“Kalau ada forum yang kamu tidak ikut di dalamnya, atau ketemu orang-orang yang sedang ngobrol jangan langsung berkomentar, itu tidak sopan.” Lagi-lagi saya mengiyakan, Ibu tersebut memang tiba-tiba saja berkomentar, padahal beliau memiliki skemata yang berbeda dengan kami, dan mengira kami mahasiswa yang masih PPL.