Senin, 08 Februari 2010

Pasar Itu Milik Ibuku (cerpen)

ini cerpen pernah dimua di RB dan dimuat juga dalam antalogi penulis perempuan Kal-Sel "Nyanyian Tanpa Nanyian". Cerpen ini kutulis sambil mengenang teman-teman yang pernah dekat, terutama Irma. eman yang pindah rumah dan walau sudah muter-muter nyari, alamatnya belum ketemu juga :(

Pasar Itu Milik Ibuku
Oleh: Rismiyana
Aku sedang bermain dengan Anto di pasar, saat kurasakan sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua tanganku. Dengan malas kubuka kelopak mataku yang masih terasa berat.
”Wan, bangun. Nanti kamu terlambat tiba di sekolah,” ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia berusaha membantuku berdiri.
”Hari ini Jum’at Bu, masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa siangan dikit.” Tapi ibu seperti tidak mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.
Setelah menyiram badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat jam 07.15 pagi.
Aku benar-benar tidak menyukai keadaan ini. Seharusnya sepeda motor bapak tidak dijual.
Mengapa sepeda motor bapak dijual? Padahal selain dapat digunakan untuk mengantar dan menjemputku sekolah, sepeda motor itu digunakan oleh bapak untuk mengojek. Bapak kan tukang ojek. Kalau sepeda motornya dijual terus bagaimana bapak bisa mengojek?
Ya... seharusnya bapak tidak menjual sepeda motornya. Kalau sepeda motor itu ada aku tidak harus berangkat begitu pagi seperti ini. Aku juga tidak harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke sekolahku karena bapak lah yang akan mengantar dan menjemputku.
***


Siang ini panas sekali. Walau sudah memasuki bulan September, hujan belum juga turun. Terik matahari siang ini, sama seperti kemarin. Tenggorokanku terasa kering. Lututku ngilu. Aku masih belum terbiasa berjalan jauh seperti ini.
Di depan pintu rumah kulihat dua pasang sepatu bagus berjejer rapi. Siapa yang bertamu ke rumah? Pasti teman sekolah Kak Irni.
”Jadinya bagaimana Ir? Kamu datang atau tidak di acara perpisahan kelulusan SMU kita?”
”Belum tahu, aku masih belum punya uang untuk menyewa baju adat buat perpisahan.”
”Itu bisa kita siasati. Kita bisa ngumpulin duit buat kamu.”
”Ya Ir, kita bisa mengumpulkannya untuk kamu”
Dugaanku tepat dua orang anak perempuan itu adalah teman sekolah Kak Irni. Aku mengucap salam lalu bergegas melewati mereka, langsung ke loteng.
Rumah kami terdiri dari tiga bagian. Ruangan bawah hanya cukup untuk dua sofa tua yang berlobang di sana-sini yang sekarang menjadi tempat Kak Irni menerima tamunya, selebihnya didereti meja dan rak tua lapuk tempat peralatan memasak. Ruang kedua, lorong yang kami fungsikan sebagai kamar mandi. Dan terakhir loteng, tempat kami bersama-sama nonton TV, tempat rak-rak pakaian, dan tempat bagi kami untuk beristirahat tidur.
Setelah teman-temannya pulang, Kak Irni naik ke loteng.
”Kak kenapa sepeda motor bapak dijual. Wawan capek jalan kaki ke sekolah.” Keluhku padanya.
”Wan, sepeda motor bapak dijual digunakan untuk beli beras dan modal ibu jualan.”
”Jualan? Jadi Kak, ibu akan jualan lagi?”
”Ya.”
Perkataan Kak Irni bahwa ibu akan jualan lagi membuatku merasa senang. Ibu akan jualan lagi! Hore...! Itu artinya, aku bisa ketemu Anto lagi. Kami bisa bermain-main bersama lagi. Aku juga bisa bertemu Budi anak penjual beras yang warungnya ada di pojok kanan pasar, bertemu Ima anak penjual sayur yang warungnya dekatan dengan warung mamanya Anto, dan aku juga bisa bertemu dan bermain dengan yang lainnya!
Ibu memang sudah lama tidak jualan. Sudah tiga bulan. Kata Ibu, warung tempat ibu jualan akan diperbaiki. Bahkan bukan hanya warung milik ibu, tapi seluruh pasar.
Nanti, kalau sudah diperbaiki, pasar tempat ibu jualan akan menjadi pasar yang bagus dan megah. Menurut ibu, sebutannya bukan lagi Pasar Banjarmasin, tapi Sentra Banjarmasin. Tempat itu katanya kelak akan menjadi tempat orang-orang berjualan terbesar di Kalimantan!
Membayangkan semua itu aku tidak dapat menahan senyumku. Sebenarnya dengan keadaan pasar yang dulu bagiku tidak masalah. Karena, asal bisa melihat ibu berjualan dengan tenang dan bisa bermain bersama-sama Anto, Budi dan Ima, itu semua sudah membuatku senang. Tapi, bila tempat ibu berjualan menjadi lebih bagus dan tempat kami bermain menjadi lebih luas, tentu itu akan jauh lebih menyenangkan bukan.
Tapi, tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku.
”Kak, berarti pasar tempat ibu jualan sudah selesai diperbaiki ya?” Kataku pada Kak Irni yang sedang melipat pakaian.
”Belum,” sahut Kak Irni.
Jawaban itu membuatku bingung.
”Terus ibu jualan dimana?”
”Di pinggir jalan pakai gerobak.”
Mendengar jawaban Kak Irni kegembiraanku tiba-tiba hilang. Aku menjadi ketakutan.
”Kak, kalau ada razia gimana? Kan jualan di pinggir jalan dilarang. Aku pernah melihat petugas-petugas berseragam mengambili gerobak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan raya. Nanti gerobak jualan ibu bisa diambil oleh mereka.”
”Ibu jualannya sore jam 4 sampai malam. Jadi tidak akan kena razia.”
Perasaanku sekarang tidak tenang. Aku ingin sekali perbaikan pasar tempat ibu jualan dulu segera selesai. Aku ingin melihat ibu jualan di pasar pagi dan siang hari, bukan di gerobak di pinggir jalan malam-malam. Aku juga ingin bertemu dan bermain dengan Anto dan yang lain....
***


Sudah dua bulan ibu berjualan di pinggir jalan. Sekarang, musim hujan telah tiba. Aku tidak menyangka, berubahnya keadaan membuatku tidak lagi menyukai hujan. Aku benci hujan!
Dulu aku menyukai hujan. Setiap hujan tiba, dan baru berbentuk gerimis, aku, Anto, Budi dan Ima akan berloncatan ke tepi pasar. Di sana kami melihat ke langit, berharap hujan dengan tetes air besar-besar jatuh. Biasanya bila hujan lebat itu turun kami akan bergegas ke tanah lapang di dekat mesjid untuk bermain bola. Atau kami juga bisa membuat sungai-sungai di atas tanah berpasir di belakang pasar.
Tapi sekarang... hujan selalu membuatku sedih.
Dua minggu lalu aku melihat wajah ibu sangat khawatir. Saat itu mendung, dan ibu akan berjualan di pinggir jalan dengan gerobaknya. Wajah ibu berubah muram dan sedih saat hujan benar-benar turun deras. Ibu menunda berjualan, menunggu hujan reda. Kata ibu, kalau hujan seperti itu, pembeli hampir tidak ada. Selain itu dagangan ibu akan basah. Aku telah tidur saat ibu berangkat, dan baru terjaga saat ibu dan bapak pulang, waktu itu malam sudah larut sekali.
Sejak itu, aku tahu hujan pada sore hari atau menjelang malam akan membuat ibu susah.
Selain itu, hujan yang turun pagi-pagi membuatku khawatir. Bapak tidak bisa mengantarku lagi. Aku tetap harus berjalan kaki ke sekolah walaupun hujan. Sepatuku dan seragamku selalu lembab dan kotor terkena percikan hujan. Padahal aku sudah memakai payung.
Dan kalau hujan turun siang-siang seperti sekarang ini, aku juga sedih. Aku kangen teman-teman. Sekarang, bila hujan seperti ini, aku hanya memandanginya saja. Tidak ada Anto, Budi, dan Ima yang mengajakku bermain. Mereka sekarang di mana ya...? Apakah ibu dan bapak mereka juga jualan di gerobak seperti ibuku...?
Aku tahu, manusia tidak boleh membenci hujan. Hujan adalah ciptaan Allah. Dengan hujan, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi minum hewan, mengairi sungai-sungai. Manusia juga perlu air untuk keperluan hidupnya. Lagi pula membenci hujan, sama saja membenci ketentuan Allah.
Ya Allah, semoga hujan turun pada saat ibuku sedang tidak jualan, tidak saat aku sedang berangkat ke sekolah, dan tidak siang-siang saat ingatan pada teman-teman membuatku menangis. Hujan kan saja saat aku dan orang-orang sedang terlelap beristirahat....
***

Hujan masih berbentuk gerimis saat angkot yang kami tumpangi sampai di GOR. Hari ini, kami anak kelas v belajar berenang. Karena di sekolah tidak ada kolam renang, aku dan teman-teman diajak pak guru ke GOR.
Tapi, tunggu dulu! Rasanya aku mengenal jalan yang kami lewati tadi. Yah! Sekarang aku dapat mengingat dengan jelas. Letak GOR itu tidak jauh dari pasar, tempat ibu jualan dulu. Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku ingin memastikan apakah tempat itu sudah hampir selesai? Aku ingin sekali ibu kembali jualan di situ.
Diam-diam, saat pak guru dan teman-teman sibuk berenang, aku pergi menjauh ke luar GOR. Aku tahu, pasar tempat ibu jualan dulu hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Dengan setengah berlari, bergegas aku ke sana.
Lama kelamaan jalan yang kulewati mulai macet. Aku membayangkan, mungkin itu akibat proses perbaikan pasar. Untuk memperbaiki pasar, pasti digunakan banyak pasir dan semen. Pastilah bahan bangunan itu yang membuat jalanan macet.
Tapi..., dua seratus meter di depanku terbentang pemandangan yang membuatku kaget. Mungkinkah aku salah jalan? Jelas-jelas yang kulihat di depanku sekarang bukanlah pasar yang sedang diperbaiki.
Di hadapanku sekarang adalah halaman parkir yang luas dan bangunan besar dan megah. Ada banyak toko dan orang-orang hilir-mudik di sana.
Cepat-cepat aku memutar langkahku. Aku harus kembali ke GOR! Aku ingin cepat pulang dan memberi tahu ibu. Ibu pasti senang kalau tahu tempatnya jualan dulu kini telah selesai diperbaiki.
***


Di rumah aku tidak menemukan ibu. Kata Kak Irni, ibu sudah pergi jualan. Memang sudah seminggu ini Ibu jualan agak siang. Keluarga kami perlu uang untuk bayar uang biaya rumah sakit bapak. Dua minggu lalu bapak masuk rumah sakit. Kata dokter, bapak kena TBC. Uang sekolahku juga sudah 4 bulan belum dibayar. Semoga ibu tidak kena razia, aku berdoa sambil memejamkan mataku.
”Kak, tadi aku diajak pak guru berenang di GOR. Terus aku ke pasar tempat ibu jualan dulu. Ternyata, pasar itu sekarang sudah selesai diperbaiki.” Aku bercerita pada Kak Irni dengan bersemangat. Kak Irni pasti senang mendengar ceritaku.
”Kalau itu kakak sudah tahu.” Jawab Kak Irni. Dan aku kaget sekali mendengarnya.
”Terus kenapa Kakak tidak memberi tahu ibu?”
”Ibu juga sudah tahu.”
”Kalau ibu tahu, kenapa ibu belum kembali berjualan di sana?”
”Wan, ibu tidak bisa lagi berjualan di sana. Kalau ibu mau kembali berjualan di sana, ibu harus membayar puluhan juta ke pihak pengelola pasar. Ibu tidak memiliki uang sebanyak itu.”
”Tapi kan, warung di pasar itu dulu milik ibu. Mereka hanya memperbaikinya saja?”
”Wan, peraturan pemerintah sudah menetapkan seperti itu.”
Perkataan Kak Irni membuatku sedih. Kini aku tahu ibu tidak akan jualan di pasar lagi. Dan entah sampai kapan ibu akan jualan di pinggir jalan dengan gerobak. Aku juga tidak akan bertemu dan bermain dengan Anto, Budi, dan Mia lagi.
Ini semua sungguh tidak adil! Seingatku, dari dulu ibuku sudah berjualan di situ. Warung itu milik ibu. Tetapi mengapa, setelah pasar itu diperbaiki ibu tidak boleh berjualan lagi di situ.
Aku harus ke kamar mandi. Di sana tidak ada yang akan melihat dan menggangguku. Aku bisa menangis di sana diam-diam dan lama.
Untuk: temen-teman lama yang namanya selalu menetap di hati

Taman Budaya, KCI V, dan Honor Tulisan

ini esai yang kutulis akhir 2007 sudah dimuat di RB. kangen teman-teman kuliah dulu. sekarang aku cuma sering sms-an dengan Ratih dan Fitri

Taman Budaya, KCI V, dan Honor Tulisan
Oleh: Rimiyana

Waktu dulu masih bersekolah di SMUN 7 Banjarmasin, beberapa orang teman yang tergabung dalam teater sekolah (kalau tidak salah Teater Perak) pernah menyebut-nyebut Taman Budaya yang berada di Kayu Tangi. Saat itu saya yang sedang gandrung-gandrungnya dengan sastra khususnya puisi, membayangkan Taman Budaya sebagai tempat berbagai karya sastra digiatkan. Di sana sastrawan-sastrawan berkumpul, berpenampilan nyentrik dengan jeans balel, rambut gondrong, dan pembicaraan mereka selalu bermuatan filosofis dan nyastra (seperti itulah sosok sastrawan dalam cerita fiksi remaja yang saya baca waktu itu).

Beberapa tahun kemudian, saya diterima sebagai mahasiswa PBSID FKIP Unlam. Kampus Unlam ternyata baru saya ketahui berseberangan dengan Taman Budaya. Sering kali saat pulang kuliah, menunggu supir angkot memenuhkan penumpang, saya sempatkan merenungi gedung-gedung di lingkungan Taman Budaya. Membayangkan suatu saat saya berada di dalam lingkungan itu, mendengarkan pemicaraan tentang puisi, cerpen, novel dari sastrawan-sastrawan di daerah ini. Hemm.., pasti seru!

Waktu berjalan, impian saya terwujud! Di salah satu gedung di lingkungan Taman Budaya, saya benar-benar berada dalam forum yang membicarakan sastra. saya dan teman-teman mendapat tugas di perkuliahan menghadiri acara penyair-penyair daerah yang membedah antalogi puisi mereka. Tetapi, ingatan tentang kegiatan itu kabur mungkin karena kesan yang tertangkap di acara itu tidak terlalu kuat, hingga mudah menguap.

Beberapa waktu kemudian, saya juga bertatap muka langsung dengan seorang sastrawan, ia penulis Palas, Aliman Syahrani. Walau telah pernah melihat dia di acara kampus dari kejauhan, bedah novel Palas membuat saya berkesempatan lagi memasuki lingkungan Taman Budaya. Sayangnya acara yang berseting mewah, dihidangkan banyak kue-kue dan minuman hangat itu tidak seperti yang saya bayangkan. Terkesan formal, mirip seminar, dan penampilan baru Aliman yang rapi jali jauh dari kesan eksentik sastrawan yang pernah saya bayangkan.

Status saya waktu itu sebagai mahasiswa PBSID ternyata juga memberikan akses yang mudah untuk masuk Taman Budaya mengikuti kegiatan kesastraan di dalamnya. Silih berganti penyair, cerpenis, esais berhasil saya jumpai di situ. Namun, dalam acara-acara itu selalu ada strata yang berbeda. Pihak pembicara yang posisinya menjadi nara sumber, sastrawan dan intelektual daerah yang menjadi peserta, dan kami mahasiswa yang perannya terkesan hanya bertugas ‘belajar’ dan berfungsi mehibaki (membuat acara terkesan ramai karena banyaknya peserta) saja.

Untunglah di perkuliahan, saat itu saya memiliki teman-teman kuliah yang mencintai sastra. Ada Ka Dewi Alfianti tempat bertanya, Ratih Ayuningrum, Syafiqotul Mahmudah yang menjadi teman berbagi. Ada bapak Jarkasi yang selalu mendorong untuk membaca dan bergiat di Cakrawala RB. Juga kedatangn Pak Sainul yang memancing kreatifitas dan mengasah kecerdasan. Menjadikan kampus layaknya suasana Taman Budaya yang pernah saya bayangkan.

Di luar perkuliahan, di emperan (sufah) mesjid, saya, Amali, Fitri Asad, Ratih dan teman-teman lainnya kadang membuka forum tidak resmi sembari menunggu azan atau sekedar beristirahat. Dari muatan ideologi Supernova, jalinan kata-kata Ayu Utami, Esai-esai sosial Seno, kebijakan pemerintah menaikan BBM, Khilafah sebagai solusi permasalahan umat Islam, sampai ide saya supaya pemerintah membuat perumahan dari plastik untuk rakyat miskin menjadi pengisi waktu senggang yang tak terlupakan.

Suasana diskusi di perkuliahan dan di emperan mesjid yang saya ceritakan di atas lah sebenarnya yang saya rindukan. Suasana seperti itu meliputi Taman Budaya tatkala penggiat sastra di hadirkan di sana .



KCI V

Kadang-kadang timbul di benak saya, manusia harus banyak menginginkan sesuatu (tentu perkara yang baik). Karena dalam menjalani hidup, tunggulah, bahkan cukup dengan kesabaran menjalani, waktu akan digelindingkan Allah, menggiring kita menjumpai keinginan-keinginan itu.

Atas usaha Micky Hidayat, B. Soebely, Y.S. Agus Soeseno, Maman S. Tawie, Sandi Firly, Jamal T. S, Riffani, Zulfaisal, dan Harie yang beramai-ramai menghadiri KCI IV di Riau guna menggolkan penyelenggalaan KCI V di Banjarmasin, akhirnya impian saya terwujud. Bahkan lebih keren dari yang saya bayangkan!

Walau acara KCI V yang dilaksanakan di Taman Budaya pada 26-28 Oktober merupakan pembahasan tentang cerpen, tetapi yang hadir bukan hanya cerpenis. Di sana juga ada novelis, penyair, dan esais tingkat daerah dan nasional. Mereka berseliweran di depan mata. Dari penulis kawakan Ahmad Tohari, Maman S Mahayana, Joni Ariadinata, Ahmadun Y herfanda, Raudal, Isbedy, Saut Situmorang, Agus nor, Gus T.F, Lan Fang, Katrin Bandel, dan yang lainnya. Penampilan mereka yang beraneka ragam, dari yang rapi jali sampai yang gimbal abis. Suasana diskusi yang sejajar, pemateri dan peserta yang saling berganti posisi (pemateri jadi peserta dan peserta ada yang jadi pemateri), rapat sebelum siding pleno yang sersan (serius tapi santai), tetapi menguji kesabaran Agus Noor sebagai ketua rapat menjadi ingatan yang terus tergamar jelas dalam ingatan.

Walau begitu, tetap ada yang disayangkan dalam bagian diskusi KCI V. Pandangan mata sering kali berkabut, pernapasan sesak, dan saya terkena flu mendadak. Asap rokok yang dinyalakan beberapa peserta sungguh sangat mengganggu! Nailiyah yang duduk di samping saya beberapa kali menutup hidung menghindari asap itu.

Terlepas Dari asap rokok yang mengganggu pernapasan dan merusak konsentrasi itu, sungguh KCI V membuat saya melek dan mengerti perkembangan kesusastraan di Indonesia khususnya cerpen dan permasalahan yang melingkupi karya dan penggiatnya. Yah, semoga KCI V memberikan dampak positif bagi perkembangan kesusastraan khususnya cerpen di Kal-sel, walau ternyata di balik layar ada sesuatu yang terjadi antar panitia penyelenggara.



Honor Tulisan

Wacana pra Aruh Sastra IV di Amuntai yang diketengahkan Putik Samira tentang tulisan beberapa waktu lalu sudah selayaknya menjadi perhatian bagi penggiat dan pencinta sastra di banua ini. Karena menciptakan sebuah cerpen tidaklah mudah. Dimulai dengan proses pencerapan fakta di sekeliling, pemaknaan atas fakta itu, kemudian dilanjutkan dengan usaha menceritaan dengan memilih kata-kata yang mengandung kesan, kadang perlu waktu sampai bertahun-tahun sebelum menjadi sebuah wujud berupa cerpen.

Namun, yang perlu diingat jangan sampai masalah honor ini menyeret karya sastra pada sesutu yang tampak gagap-gempita tetapi sebenarnya justru menyeret pada ketakbermaknaan. Jangan sampai kesastraan di Kal-Sel mengalami fenomena seperti penyanyi-penyanyi beberapa waktu lalu dalam AFI, KDI, Indonesia Idol yang menggunakan poling SMS dalam pendanaan.

Penghargaan pada cerpenis, sastrawan di banua ini agaknya memang belum menjanjikan. Tapi setidaknya, dalam situasi seperti ini kita jumpai ada orang-orang yang dengan tulus bekerja keras mengusahakan nafas sastra di banua ini tetap berlanjut. Mereka adalah orang-orang yang dalam beberapa even kesastraan saya perhatikan mengerahkan pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak kecil. Karena itu kita patut bersyukur, bernasib baik dengan keberadaan mereka. Mereka-mereka yang sering kali (mungkin karena kerendahan hati) sengaja tidak muncul kepermukaan.



Penggiat dan penyuka sastra

Tinggal di Banjarmasin

Laki-laki itu (cerpen)

Ini cerpenku yang dimuat di Serambi Ummah tahun 2007

Lelaki Itu
(Oleh: Rismiyana)
Sore ini aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Dan saat bayangan lelaki itu melintas di benakku, kuperiksa uang di sakuku. Ada beberapa lembar uang lima ribuan. Segera aku menyengajakan diri mampir di warung kaki lima yang menjual kue terang bulan.
Saat berada beberapa puluh meter mendekati sosoknya, kuperlambat laju sepeda motorku. Tepat di depannya aku berhenti. Meletakkan bungkusan kue terang bulan dan uang ribuan di hadapannya lalu cepat-cepat beranjak meninggalkan tempat itu.
”Terima kasih!” Suara parau dan datar lelaki itu mengagetkanku. Aneh..., aku merasa ada yang tidak wajar
***

Perempatan itu tinggal beberapa puluh meter di depanku. Dan mataku kembali menangkap sosok laki-laki itu.
Cepat-cepat kupacu sepeda motorku. Sungguh, sangat tidak nyaman melihatnya dalam kondisi seperti itu. Sementara dia dengan kondisinya yang seperti itu, aku dengan bebas melintas di hadapannya, melaju di atas sepeda motorku.
Yah, beberapa bulan ini sosok lelaki itu sering melintas di benakku. Apalagi, dalam beberapa hari setiap minggunya aku selalu lewat di depannya.
Sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu aku melihatnya. Tetapi tidak setiap senja seperti sekarang. Waktu itu hanya sesekali saja.
Dulu, pertama kali melihatnya ketika aku masih seorang mahasiswa. Ketika itu pulang kuliah. Saat lampu lalu lintas menyala merah di dekat mesjid terbesar di kota ini. Di bawah matahari yang teriknya membakar kulit, kulihat dia merangkak berusaha memungut uang yang dilemparkan padanya. Menyedihkan.... Dan aku tak sempat merongoh lembaran ribuan dalam tasku saat lampu menyala hijau.
Beberapa bulan kemudian aku kembali menjumpainya saat lampu lalu lintas menyala merah satu kilo meter di dekat rumahku. Saat itu, aku sempat menjatuhkan uang kertas padanya. Tapi, itu membuatku agak menyesal. Uang kertas itu sempat tertiup angin, kulihat dia harus bersusah payah memungut uang itu.
Sekarang, hampir setiap sore di perempatan itu, saat melintasi menuju tempat kerjaku, atau saat menunggu lampu lalu lintas menyala hijau, aku hampir selalu melihatnya. Dan itu membuatku merasa tidak nyaman.
***

Lelaki itu masih di sana. Seperti biasa, duduk terpekur memandang jalan beraspal di depannya yang tergenang oleh air hujan. Hujan yang mulai melebat. Sekilas kutangkap air mukanya yang membeku.
Ah, pasti dingin sekali. Apakah tidak ada payung yang bisa diberikan padanya. Dia tidak bisa duduk di tempat itu dengan datang sendiri! Kakinya lumpuh.... Pasti ada seseorang yang meletakkannya di situ. Apakah orang itu tidak berpikir untuk memberinya payung saat gerimis mulai datang. Orang yang meletakannya di situ pastilah jahat sekali! Orang itu mungkin juga telah mengambil seluruh jerih payah lelaki itu.
Aku pernah membaca buku cerita persis seperti kasus yang kupikirkan tadi. Orang-orang cacat, anak-anak jalanan, dan orang tua jompo sebatang kara dipaksa mencari uang dengan mengemis. Dan hasilnya dikumpulkan sebagai harta kekayaan bagi orang yang mengorganisir dan memaksa mereka untuk mengemis itu.
Pernah terpikir olehku untuk menulis di koran opini tentang orang-orang sepertinya. Aku ingin menyampaikan bahwa pemerintah lah yang paling bertanggung jawab untuk mengurusi mereka. Pihak pemerintah yang menjadi pengatur urusan umat, berkewajiban memperhatikan nasib mereka. Memberikan mereka tempat yang layak, pendidikan yang mampu membuat mereka mandiri, dan lapanagn pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan kadar kesanggupan mereka.
Kadang aku ingin mengajaknya berbicara. Ingin kuceritakan padanya apa yang kudengar dari ustadz yang kudengar ceramahnya beberapa waktu lalu. Bahwa, bila dia sabar dan ridha terhadap qadha yang menimpanya, maka balasannya di akhirat kelak adalah surga! Yah, kesabaran dan keridhaan akan kedua kakinya yang tak bisa digunakan untuk berdiri, berjalan itu, akan menggugurkan dosa-dosanya dan diganti dengan surga. Mungkin, bila dia belum mengetahui cerita itu, dia akan gembira atau setidaknya kesedihan yang dirasakannya akan berkurang setelah kuberitahukan hal itu padanya.
Sayangnya, keinginan itu sampai saat ini belum terlaksana. Berpikir untuk berbuat baik memang mudah, namun itu tidak cukup. Harus ada tindakan nyata! Aku tahu untuk melaksanakannya perlu kesungguhan dan kesediaan untuk berkorban. Dan aku belum mampu membuat diriku sampai pada taraf itu.
Tapi sungguh, setiap kali lewat di jalan itu aku merasa sedih. Apalagi bila sempat kutangkap wajah dingin dan kaku itu. Pastilah penderitaan yang menderanya membuatnya begitu. Lelaki malang....
***


”Lia, kam jadikah sholat Ashar di rumahku?”
Aku mengangguk pada Nina sambil cepat-cepat berkemas. Setelah Dzuhur tadi siang, air ledeng mati. Aku dan dia jadi tidak bisa berwudhu dan sholat. Kulihat jam di tanganku, waktu Ashar masih tersisa 30 menit lagi.
Sambil melaju dengan kecepatan yang cukup kencang kulirik jam tanganku, tapi tiba-tiba saat kembali menatap jalan di depanku satu sosok tiba-tiba lewat menyebrang jalan. Hampir saja tertabrak sepeda motorku.
”Oh my God!” aku sudah siap-siap mengomel pada sosok itu. Tapi..., ya Allah! Aku hampir tidak percaya.
Di depanku, sosok itu juga memandangku dengan mata terkejut, kaget dan cepat-cepat berlalu. Itu pasti dia! Mataku sangat mengenal wajah itu, juga baju kumal yang dikenakannya, baju yang selalu ia pakai.
”Lho, Nin! Itu kan orang yang sering duduk di dekat lampu merah?” Kataku pada Nina yang membonceng padaku.
”Iya! Lia, dari dulu aku sudah merasa dia itu pura-pura saja. Kam pernahkan dulu kutanya, percaya tidak dia itu beneran lumpuh kakinya....”
Aku hanya tertawa mendengar omelan Nina. Menyesal juga, mengapa selama ini memikirkan dan merasa kasihan padanya.
”Dasar! Ternyata dia punya kaki!” Teriakku pada Nina.
Walau kecewa karena merasa tertipu oleh lelaki itu, ada sedikit kelegaan dalam hatiku. Yah..., setidaknya kini aku mengetahui. Menjadi lelaki yang kakinya lumpuh, duduk dipinggir jalan, diguyur hujan dan dibakar terik matahari adalah jalan hidup yang sengaja dipilih oleh lelaki itu. Ia sendiri yang melangkahkan kaki ketempat itu. Dan itu bukanlah takdir yang dipaksakan Allah kepadanya. Banjarmasin April-Mei 07

Tiga Percakapan Tentang Cinta

Ini cerpenku yang kutulis tahun 2006. Dimuat di Radar banjarmasin seminggu sebelum aku maju sidang skripsi. Tulisan pertama yang membuka identitas bahwa Rain Fajar adalah nama yang aku gunakan. Sebuah 'pertaruhan', tapi untunglah nilai skripsiku A :)

Tiga Percakapan Tentang Cinta
(Oleh: Rismiyana)

Dianto

Menyayangi seseorang, merasa ia memiliki keserupaan denganmu dalam beberapa hal sudah cukup untuk membuatmu memahami, merasakan yang ia rasakan. Perasaan seperti itu terkadang membuatmu nyaman. Ya! Hanya terkadang saja. Sebab ketidaknyamanan akan lebih sering melandamu. Karena saat sesuatu terjadi padanya, kamu akan ikut merasakan yang ia rasakan, bahkan bisa dua kali lipat dari yang ia rasakan. Ia bahagia, kamu akan lebih merasa bahagia, tapi jika ia merana, kamu akan lebih-lebih lagi.
Aku dan dia tidak begitu akrab. Hanya beberapa kesempatan rutin mempertemukan kami. Interaksi yang biasa, tidak istimewa. Di beberapa kesempatan itu sering kali aku memperhatikannya. Aku terbiasa memperhatikan seseorang yang beberapa kali kujumpai dan mencoba membaca kehidupannya.
Namun, dia berbeda dari yang lainnya. Saat sosoknya kubaca, aku seperti melihat cermin. Entahlah…. Tiba-tiba sosoknya kuyakini telah kubaca lembar demi lembar.
Dia terihat kurus sama sepertiku. Tapi, bukan karena kesamaan itu aku merasa telah membacanya. Sorot matanya, kata-kata pisaunya, pertanyaan-pertanyaannya, dan terkadang langkah gontainya itu yang merebut empatiku sejak 2 tahun lalu.
Bagaimana menerangkannya ya? Oke, kalau ingin tahu apa yang kurasakan saat mendapati sosoknya seperti yang kuceritakan di atas; coba sekarang bayangkan sekarang ada cermin di hadapanmu. Bayangkan saat kau menatap cermin itu kau dapati bayangan dirimu di sana . Tapi, bayangan itu bukan dirimu yang sekarang, melainkan bayangan ketika kau paling merasa tidak nyaman dalam hidupmu.



Ve

Sengaja diperlambatnya laju sepeda motor. Rumahnya yang berada di ujung jalan telah kelihatan. Ia tahu hari ini Raka pasti ke rumah untuk menemuinya.
Dia kembali bertemu dengan Raka, menjadi akrab. Seperti dua tahun lalu. Satu bulan lalu Raka balik lagi ke Banjarmasin , mencari alamat barunya, dan berhasil menemukan dirinya.
“Aku ngak betah di Bandung . Udara di sana terlalu dingin. Lagi pula, lamaran kerjaku diterima di sini.” Sore itu, Raka nampak bahagia saat menemukan alamatnya. Kebetulan saat itu dirinya sedang ada di rumah.
“Tapi, bukankah orang tuamu sudah pindah ke Bandung ?’
“Tante Evi, saudara Mama masih menetap di Banjar Indah. Aku tinggal di rumahnya. Sialan kau Ve! Kenapa kau tak mengabari aku alamat barumu?”
“Alamat rumahmu yang di Bandung hilang.”
“Masih ada Hpku kan ?”
“Kupikir kita tak akan bertemu lagi.’
“Oh, jadi kau berniat melupakan aku, persahabatan kita?’ Raut wajah Raka berubah muram.
“Kalau aku melupakanmu untuk apa barang-barangmu itu masih kusimpan.” Ve mengarahkan matanya pada tumpukan kaset di lemari, majalah-majalah musik di rak buku dan gitar besar di dinding.
Raka terdiam sesaat, lalu mengalihkan topik pembicaraan mereka. Ia bercerita tentang pertemanan mereka dulu, kebingungannya mencari alamat Ve dan rasa senangnya saat berhasil menemukan alamat sahabatnya itu.
Waktu itu Ve hanya terdiam. Hanya ngilu itu, menyeruak.
Aku mencintaimu tanpa rasa iri dan lebih
memilih naif
Karena kau “manusia baik-baik” dan tak boleh mengerti 1


Pelan-pelan Ve memarkir sepeda motor di halaman samping. Terasa ada sesuatu yang memukul dinding sebelah dalam dadanya. Walau sejak tadi ia berharap tak akan menjumpai Raka, namun ia tahu jauh di dalam, entah di bagian mana sudut hatinya teramat sangat rindu pada Raka.
“Ve, dari tadi aku menunggumu. Kemana saja?” Raka muncul dari dalam rumah.
“Toko buku mencari referensi untuk skripsiku.”
“Dari pagi?”
“Tadi mengantar Dianto ke perpus, trus mampir di rumahnya.” Ve tadi sengaja berlama-lama di rumah Dianto untuk menghindari Raka. Ve tahu, hari ini seperti Sabtu-Sabtu sebelumnya Raka akan mengunjunginya
“Dianto? Siapa dia?” Entah mengapa tiba-tiba Ve merasa kalau Raka menatapnya dengan sorot mata aneh.
“Temanku di kampus. Satu jurusan, tapi beda angkatan. Dia kakak kelasku.” Mereka terdiam sesaat.
“Malam ini aku ingin mengajakmu makan. Kemarin aku menerima gaji pertamaku.” Raka mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya! Selamat kalau begitu.” Ve menjabat tangan Raka. Sebenarnya Ve capek, capek dengan ekspresi datar yang ditunjukkannya di hadapan Raka.
Raka mengikutinya masuk ke dalam kamar.
“Ve, kita akan makan dimana? Ke resto atau warteg di pinggir jalan.? Kamu kan penyair yang suka suasana romantis, bersahaja.” Raka tertawa sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.
Ve menatap Raka, menikmati suara tawanya. Sudah lama sekali ia tak mendengarnya. Rasanya sia-sia sudah usahanya untuk melupakan perasaannya pada sosok itu.
Ini tentang diam yang sebenarnya menertawakanku
Ini tentang senyum “gila” yang tiap detik kusuguhkan
untuk ingatan tentangmu
Ini tentang “luka” paling jujur pada setiap ingatku
kau ”manusia baik-baik” 2

Mereka telah berteman lama. Sejak Ve kelas 2 di SMU 27, dan Raka semester 2 di Fisip. Mereka berkenalan sewaktu Raka dan teman-temannya mengadakan reuni di SMU 27. Kemudian menjadi akrab di klub bela diri Walet Putih. Tapi, Ve melihat dan terpukau saat pertama kali melihat Raka satu tahun sebelumnya. Ve tidak akan pernah lupa kejadian sore itu.
Waktu itu Ve sedang menunggu di lobi gedung berlantai tiga itu, menunggu gilirannya menghadap kasir. Kemudian sosok putih, tinggi, atletis, berambut cepak dan tampan lewat di depannya.
Hanya Tuhan yang tahu keterpukauannya pada sosok itu, sorot mata itu. Tapi waktu itu Ve sadar, “Pangeran tampan hanya cocok dan pantas untuk puteri cantik”. Dan Ve tidak mungkin menjadi seorang puteri, apalagi puteri cantik.
Mungkin karena mendengar pesimismenya sore itu, untuk memperlihatkan kemahakuasaan-NyaTuhan mempertemukan mereka. Menjadikan mereka dekat di klub bela diri Walet Putih.
Dan perasaan yang tak seharusnya ada itu, setelah pertemuan intensif mereka mulai tumbuh. Berbentuk! Tidak hanya mendiami ruang kosong hatinya, tapi memenuhinya. Dan Ve merasa takut. Ia tahu itu sebuah kesalahan. Hanya, adakah cinta terlebih dulu permisi, mengetuk dan memberikan kesempatan memilih sebelum memutuskan datang padamu?



DIANTO DAN VE

“Aku ingin berterus terang padamu tentang diriku?” Ve berkata sambil menahan helaan napas.
Dianto menurunkan cangkir kopi di bibirnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan Ve mengajaknya ke mari. Mendengar pengakuannya di taman kota ini.
“Di...” Suara Ve lirih. Ada keraguan di wajahnya. Kedua tangannya mengusap wajahnya berkali-kali.
“Di,.. kamu masih ingat ceritaku tentang Raka...?”
Dianto memandang sosok di depannya. Dia tidak yakin amanah yang dibebankan di pundaknya dapat diselesaikannya.
“Ya, teman kamu yang dulu pernah pindah ke Bandung itu kan ?”
Ve mengangguk. Walau wajahnya menghadap pada Dianto ia berusaha menghindari matanya.
“Aku tahu ini nggak boleh, dosa... tapi aku nggak punya pilihan lain. Kamu tahu, sejak kecil aku di paksa memanggil ibu pada perempuan yang aku tak pernah lahir dari rahimnya. Semua kakak perempuanku terbiasa berlaku kasar padaku karena kecengenganku, kelemahanku. Dan teman-teman di sekolahku dulu selalu mengolok-olokku, aku mereka juluki banci. Padahal terlahir dengan perasan sensitif dan bertingkah lembut seperti perempuan bukan pilihanku.”
“Dari semua yang kutemui, hanya Raka yang lain. Dia tak pernah mengejekku, mengatakan aku banci. Dia baik. Bahkan karena pertemanan kami lah aku mampu berubah seperti sekarang.”
“Kalau tak mendengar ceritamu aku tak akan mengira dulu kau dijuluki banci.” Dianto menyela ucapan Ve. Berusaha merilekskan suasana.
“Tapi . . , ternyata semua perlakuan orang-orang di sekelilingku terlanjur telah membentukku. Walau Raka berhasil membuatku percaya diri sebagai laki-laki, bertingkahlaku seperti laki-laki, aku tetap dendam dan tidak menyukai semua yang berbau perempuan. Dan parahnya lagi aku menaruh perasaan pada Raka, rasa yang harusnya hanya kutujukan pada lawan jenisku.”
“Maksudmu kamu....?” Dianto menatap Ve. Pengakuan Ve barusan menguatkan dugaannya selama ini.
Mereka berpandangan. Ve mengangguk lalu menunduk, menghindari tatapan Dianto.
“Very..., terlahir dengan bentuk pisik dan karakter bawaan seperti perempuan memang bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah garis yang telah ditetapkan-Nya. Sehingga patut kamu ingat, dirimu tidak akan berdosa hanya karena hati kamu lembut dan perasa atau tubuh kamu kemayu seperti perempuan. Dengan catatan, itu memang faktor bawaan bukan hal yang sengaja dibuat-buat.”
“Harus kamu ingat bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan secara sadar dan sengaja, diberikan kesempatan untuk memilih melakukan atau meninggalkan, semua itu kelak akan di hisab, dipertanggungjawabkan pada-Nya.” Dianto menatap sosok di depannya dengan tatapan prihatin.
“Di.., cinta berkaitan dengan hati. Apakah kau bisa memilih pada siapa kau harus jatuh hati?”
“Ve.., Dia telah menciptakan kita dengan selengkap-lengkapnya. Pernah kau membayangkan seandainya kita diciptakan tanpa dilengkapi al-hajat al-‘udhwiyyah 3 yang penampakannya antara lain berupa rasa lapar dan haus. Mungkin banyak manusia yang mati karena mereka keseringan lupa pada jadwal makan dan minum mereka. Rasa lapar dan haus adalah anugerah karena ia semacam alarm yang mengingatkan kapan waktunya kita harus makan, kapan harus minum.”
“Iya, emm benar juga apa yang kau katakan.” Ve hampir tersenyum mendengar penjelasan Dianto. Walau awalnya terdengar konyol, apa yang dikatakannya masuk akal, benar. Tapi ia tak jadi tersenyum saat ingat pokok pembicaraan mereka.
“Tapi Di..., apa fenomena cinta juga bisa diuraikan seperti rasa haus atau lapar.”
Dianto tersenyum, ia mulai bersemangat. Pertanyaan sosok di depannya itu melegakan hatinya.
“Manusia, kita, juga dilengkapi dengan gharizah atau naluri. Naluri ada 3 macam, salah satunya yaitu gharizah an-nau’ 4 yaitu naluri yang menghantarkan pada kelestarian jenis manusia. Penampakannya antara lain rasa cinta atau ketertarikan antara laki-laki dan wanita yang mendorong mereka untuk menikah dan memperoleh keturunan, rasa cinta seorang ibu pada anaknya, dorongan untuk bertanggungjawab seorang laki-laki pada keluarga yang dicintainya. Coba bayangkan bagaimana kalau semua itu gak ada.”
“Tunggu dulu.” Ve memotong ucapan Dianto. Dia terlihat tidak sabaran. “Aku ingin mendengar uraianmu tentang mereka yang memilih menjalani hidup sebagai gay atau lesbi?”
“Ve, aku belajar tentang potensi manusia ini selama dua tahun baru dapat memahaminya benar-benar. Sekarang, kurang 1 jam duduk di sini kau terlihat menyuruhku menjelaskan semuanya.” Dianto tertawa sambil menggaruk kepalanya.
“Salah satu penampakan ghorizah nau adalah dorongan seksual. Dorongan ini meminta pemuasan, tanpa memandang dengan apa ia dipuaskan. Apabila telah dipenuhi manusia akan tenang. Dapat dipuaskan dengan lawan jenis yang telah dinikahi atau belum, sesama jenis, bahkan ada yang memuaskan dorongan ini dengan benda dan hewan.” Dianto menghentikan perkataanya. Di depannya Ve terlihat gugup.
“Ve, maaf kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu?”
“Gak apa-apa kok, teruskan aja.”
“Selain melengkapi manusia dengan al-hajat al-‘udhwiyyah dan gharizah, manusia juga dilengkapi dengan akal. Dengan akal manusia dapat memahami peritah dan larangan Penciptanya, memilih mana yang harus ia kerjakan dan mana yang harus ia tinggalkan.”
“Di..., aku menyayanginya. Ia orang yang paling mengerti diriku, menghargaiku.”
“Ve, cinta memiliki perwujudan yang berbeda-beda. Kau masih bisa menyayangi, mencintai dia, tapi, tentu cinta dalam arti saling siap menerima dan memberi. Bukan cinta yang dilandasi dorongan seksual. Misalnya perasaan cinta sebagai saudara seakidah Karena cinta yang tumbuh di atas pondasi kokoh yang tak tergoyahkan lah yang akan mampu mengikat aku, kamu dan Raka dalam persaudaraan hingga Hari Pembalasan kelak”
Ve diam. Matanya kini memandang ke sebelah kanan, ke aliran sungai Martapura yang kecoklatan. Hampir 15 menit mereka hening.
“Di, apa diharuskan perlu waktu 2 tahun agar aku memahami penjelasanmu.” Walau masih terlihat muram, setidaknya Dianto melihat ada kelegaan dalam tatapan Ve.
“Tentu saja tidak. Temanmu bahkan hanya perlu waktu seminggu.” Dianto tertawa, tapi tiba-tiba ia terdiam.
“Temanku..., siapa?” Ve mengernyitkan keningnya.
“Aduh! Ve, aku harus ke kampus sekarang. Aku ada janji dengan adik binaanku di mesjid kampus.” Tanpa menunggu jawaban Ve, Dianto bergegas ke sepeda motornya. Untunglah dia tak harus berdusta. Ia dan Raka telah membuat janji bertemu hari ini. “Eh, Ve! Jadi mentraktirkukan?” Teriaknya sambil menstarter sepeda motornya. Ve mengangguk.


RAKA

Raka duduk termenung di tangga mesjid. Ia dan Dianto minggu lalu berjanji bertemu kembali di sini. Membicarakan tentang keadaan Ve.
Raka akrab dengan Dianto sejak 2 tahun lalu. Dari Dianto, Raka belajar memahami banyak hal. Apa yang dipahaminya dari Dianto lah yang mendorongnya mengikuti kepindahan orang tuanya ke Bandung. Ia berharap dikarenakan jarak yang memisahkan mereka, perasaan Ve padanya akan terhapus. Namun, setelah perpisahan mereka Raka justru khawatir. Walau Ve bisa jadi dapat melupakan dirinya, tidak menutup kemungkinan Ve akan menaruh perasaan pada laki-laki lain. Dan Raka makin khawatir saat mengetahui Ve pindah rumah.
Untunglah minggu kemarin ia berhasil menemukan Dianto. Dua tahun lalu Raka meminta bantuan supaya Dianto mendekati Ve. Dengan begitu Raka berharap tetap dapat memantau keadaanya.
Sebenarnya Raka telah mengetahi perasaan Ve padanya sejak lama. Hanya saja ia tidak tahu harus melakukan apa. Yang Ia tahu, masa kecil Ve yang buruk lah yang membentuk Ve. Kedekatannya dengan Ve memang berhasil mengubah sosok Ve, tapi kedekatan mereka ternyata juga membuat Ve menyukainya.
“Assalamualaikum!” Suara Dianto
“Waalaikum salam.”
“Ada kabar baik untukmu.”
“Tentang Very?”
“Ya. Aku rasa semuanya akan menjadi baik.” Dianto tersenyum. Ia berharap dengan berita yang dibawanya, sosok kurus di depannya dapat seperti dirinya sekarang, dapat tertawa lepas. Sehingga bila ia berhadapan dengannya, yang ia lihat bukan bayangan dirinya di masa lalu, tapi sosok itu sendiri, yang tentunya..., bahagia.
“Di…, terimakasih.” Raka berjabat tangan hangat.


Tanpa sepengetahuan Raka dan Dianto, jauh di seberang jalan di dekat kantin, satu sosok sedari tadi memperhatikan mereka. Pada awalnya ia terperangah memperhatikan keduanya yang tampak akrab. Tapi, beberapa saat kemudian terlihat dia sedang berpikir. Lama. Akhirnya, sebelum beranjak meninggalkan tempat itu dia tersenyum sambil bergumam, “Tidak semua hal dapat diungkapkan menjadi sebuah keterusterangan. Kadang, sesuatu tetap menjadi rahasia dalam kediaman. Walau pada kenyataannya kerahasiaan itu sama-sama telah diketahui dan dimengerti.”

1, 2 : Di kutip dari sajak Cinta Hari Ini karya Rahmiyati
3: Kebutuhan jasmani (organic needs)
4: Naluri melestarikan jenis

*Nama Rain Fajar di KTP

Didedikasikan untuk:
Bpk. Jarkasi yang telah mengenalkan dan membuka jalan agar saya menulis di Cakrawala
Bpk. Sainul Hermawan yang memotivasi dan menempa saya belajar berani
Dan sobatku S. Firly (Redaktur Rubrik Cerpen Radar)


Catatan: Cerpen Tiga Percakapan Tentang Cinta terinspirasi dari puisi teman saya Kak Rahmi. Saat Aruh Sastra di Kotabaru dia memperlihatkan puisi yang berjudul Cinta Hari Ini. Saya katakana puisi itu bagus, lalu dia bercerita bahwa puisi itu ia tulis saat memikirkan perasaan seorang banci yang jatuh cinta pada seorang laki-laki. Dalam percakapan itu saya berjanji, akan membuat cerpen yang mengungkapkan hal yang serupa Pada saat menulis cerpen ini saya hampir menyelesaikan skripsi saya yang membahas Supernova 1, 2,dan 3 (berjudul “Ideologi Tokoh-Tokoh dalam Serial Supernova Karya Dewi Lestari”), sehingga mau tidak mau saya akui cerpen itu terpengaruh karya Dewi tersebut.

Ken (cerpen)

Cerpen yang kutulis tahun 2006 dan sudah dimuat di Radar Banjarmasin. Hanya isinya sampai sekarang masih kepikiran, soalnya aku masih belum jelas hukum dalam Islam tentang lukisan yang dibuat oleh tangan. Kalau bentuknya seperti komik, apa haram atau tidak ya?


Ken
Oleh: Rismiyana
“Ta, klo boleh jujur, kamu adalah orang yang paling keras dari sekian banyak orang yang pernah kutemui.” Mbak Titis berkata pelan. Matanya mengerjap beberapa kali. Aku tahu, pasti berat baginya untuk mengatakan penilaiannya barusan.
Aku sendiri hanya mengangkat alisku sesaat. Lalu tersenyum sambil memandang wajahnya.
“Walau begitu aku tetap menyukaimu, karena dari awal ketemu aku udah ngerasa kamu baik.”
Kali ini aku tertawa mendengar penilaiannya itu. Siapa sih yang tidak senang disebutkan sifat-sifat baiknya. Tapi, bagiku penilaian yang pertama tadi jauh lebih berbekas.
Mungkin bagi Mbak Titis yang lembut dan besar di lingkungan Jawa Priyayi, yang baru saja menamatkan Pascasarjana UGM, berhadapan dengan remaja sepertiku adalah hal baru dalam hidupnya.
“Manusia itu seperti tanah, ia memberikan kehidupan berupa tumbuh-tumbuhan sebanding dengan sinar matahari dan air hujan yang ia terima dari langit yang menaunginya.”
Lanjut Mbak Titis lagi berfilosof.

Setelah mendengar perkataan Mbak Titis tadi siang. Mataku jadi sulit dipejamkan. Benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Manusia seperti tanah? Manusia memberikan sebanding dengan apa yang dia terima? Aku ingin menganalisis diriku, apa benar aku seperti tanah? Tapi…, terlalu rumit. Menilai diri sendiri perlu kerendahhatian, keikhlasan. Itu perlu perenungan dan waktu! Jadi, mending aku analisis saja orang-orang di sekitarku. Siapa ya? Orangnya harus unik, berkarakter kuat kuat dan kenal dekat denganku.
Mbak Titis? Bukan dia, ia orang yang sukar ditebak. Anita? Rasanya bukan dia, aku tak terlalu mendalami kejiwaannya. Pak Hadi, guru Matematikaku yang pendiam? Aku tak mengenal kesehariannya di rumah, bisa jadi watak beliau berbeda antara di sekolah dengan di rumah. Tio? Hmm, di mataku apapun tentang dia selalu mengagumkan. Siapa ya,…?
Aha! Ken Zhou. Ya, ia orang yang tepat. Teman SMU ku yang paling eksentrik, perpeksionis, jujur, tukang kritik, dan…, suka menggambar!
Sebenarnya, awalnya aku dan Ken tidak saling mengenal. Hanya waktu jadi siswa baru, aku sudah ingat betul pada sosoknya. Pada masa perpeloncoan oleh kakak kelas, Ken Zhou adalah satu-satunya siswa baru yang berani membantah kakak kelas. Karena keberaniannya itu, ia di hukum di depan kami semua, para siswa baru. Selanjutnya, karena kemahirannya menggambar namanya populer di seantero sekolah.
Fisik Ken tidak dapat dikatakan bungas. Tubuhnya terlalu kerempeng untuk anak laki-laki seusianya dan jerawat hampir menempati setiap mili kulit wajahnya. Aku yang juga memiliki fisik pas-pasan tentu saja bukanlah tipe anak perempuan yang mampu merebut perhatiannya. Bahkan walaupun posisi duduk kami saat ini berdekatan (tempat duduk siswa membentuk hurup U, aku dan dia berada di sudut), aku bukanlah sosok yang keberadannya mampu membuat Ken melepas pandangannya sesaat dari kertas gambar.
Ya! Hanya karena peristiwa siang beberapa waktu lalu keadaan berubah.
Waktu itu seperti biasa ia asik dengan kertas gambarnya. Beberapa teman bergantian melihat hasil coretan tangannya itu. Dan setiap itu pula terdengar decak kagum dari mulut mereka. Aku lalu memutar tempat duduk dan memperhatikan apa yang sedang digambarnya.
“Ini laki-laki atau perempuan?” Tanyaku padanya sambil menunjuk sosok pemakai jubah berambut panjang yang sedang memegang pedang panjang di tangan kanan.
“Ini gambar laki-laki. Lukas Oregon, Ksatria Perang Salib.” Katanya sambil tangannya membuat garis-garis pada gambar itu.
“Garis-garis yang kamu buat terlalu halus, kesannya lembut. Jadi yang tampak bukan Ksatria, tapi seorang Puteri.”
Dia mendongak padaku. Memandangku sesaat lalu bergumam, “Baru kali ini ada yang mengkritik hasil gambarku. Biasanya selalu pujian.”
Sejak kejadian itu, aku kemudian menjadi sosok yang keberadaannya diperhitungkan olehnya. Biasanya setiap berhasil merampungkan satu atau beberapa gambar, pagi-pagi sekali sebelum pelajaran dimulai Ken selalu menunjukkan gambar itu padaku, menyuruhku menilainya. Tidak semua gambar yang dibuatnya kukritiki. Ada beberapa yang tidak kusukai. Fasilitas internet di kamarnya yang disediakan orang tuanya membuat Ken sering melihat adegan-adegan yang tidak sopan dan itu dia tuangkan dalam beberapa gambarnya. Tentu saja aku marah ketika Ken menyodorkan gambar yang tidak sopan itu.
“Aku gak mau lihat! Gambar seperti itu jelek, jelek! Pokoknya gambar yang kayak gitu, jeleeek!” Kataku sambil membuang mukaku. Menurutku, walaupun yang digambar Ken adalah manusia Elf, dengan karakter kartun, tetap saja gambar-gambar yang memperlihatkan aurat seperti itu tak patut untuk digambar.
Walau berasal dari keluarga berada, memiliki keahlian menggambar, pintar bahasa inggris dan Jepang, satu hal yang menjadi kekurangan Ken. Dia canggung dalam bergaul. Reaksi tubuhnya seringkali tampak aneh saat berinteraksi dengan teman-teman dikelas. Dan hampir semua teman-teman di sekolah, khususnya teman sekelas kami, menganggap dan memperlakukan Ken sebagai siswa aneh, tidak normal dan suka mengejeknya
Aku dan Ken biasanya membentuk kelompok di pojok kelas bersama John dan Gie. John selalu terlihat sok dewasa. Biasanya dia berbicara dengan menjaga intonasi suaranya, persis seperti pejabat sedang wawancara di televisi. Tangan kanannya masuk ke saku celana sementara tangan kirinya mengusap-usap dagu. Gie pernah bilang, gaya John itu meniru ibunya yang seorang pendeta.
Berbeda dengan Ken yang kerap mengucapkan, “Hidup ini keras kawan!”, John mengatakan bahwa, “Menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa itu pilihan”. Dia lebih sering berdebat denganku dibanding yang lain, bahkan pernah kami berdua hampir berkelahi. Sedangkan Gie, ia adalah sosok anak laki-laki yang manis, hampir tidak pernah berselisih pendapat denganku. Sayang, lidahnya tidak sampai menyebut ‘r’. Kalau John begitu mengagung-agungkan musik jess, Gie sama denganku. Kami sama-sama suka rock slow dan membaca cerita silat.
Sedangkan Ken, semua yang berbau Jepang, dia suka, sebaliknya apa yang berbau China sangat dibencinya. Makanya seisi kelas tahu, untuk menarik perhatian atau membuat Ken marah, cukup melakukan satu hal, memanggilnya dengan seruan: “China!”. Ken pasti langsung marah dan berteriak, “Jangan panggil unda china!”
Selain mahir menggambar dan pintar bahasa asing, satu lagi yang menjadi karakter khas Ken: pelit. Ya! Ken terkenal dengan ke-pelit-an-nya. Nah, mengapa aku menjadikan Ken sebagai bahan analisi? Karena dalam sebab musebab kepelitannya itu, Ken cocok sekali disamakan dengan kata-kata yang diutarakan Mbak Titis. Ken seperti tanah!
Pernah suatu hari saat jam istirahat. Ken mengeluarkan empat bungkus permen dari dalam sakunya. Permen itu dimakannya satu, sisanya ia genggam di tangan kiri. Tangan kanannya seperti biasa membuat sketsa di kertas gambarnya. Santi teman dudukku, menegurnya dan meminta satu bungkus permen darinya. Setelah hampir lima belas menit memelas tapi tak dipedulikan Ken, Santi merasa kesal, matanya hampir menangis. Tapi, Ken tetap tak memperdulikannya. Aku yang tak tega melihat Santi seperti itu, lalu menyeringai pada Ken. Melihatku seperti itu, tiba-tiba Ken menawarkan permen yang dipegangnya.
“Na, mau?” Tawarnya sambil cengengesan seperti biasa.
Aku mengambil permen itu satu dan menyerahkan pada Santi. Mata Ken sempat melotot saat melihatku memberikan permen yang diberikannya itu pada Santi.
Kepelitan Ken bukan hanya berlaku pada Santi. Pada John yang paling sering menghabiskan waktu bersamanya, Ken juga pelit. Saat masa persiapan menghadapi UAN, kami kelas tiga mendapat jam tambahan belajar sampai sore. Hampir semua siswa membawa bekal dari rumah tak terkecuali Ken. Nah, saat istirahat kedua, di kelas kami seperti biasa memakan bekal kami barengan. Sekali waktu aku lihat Ken membawa dua potong paha ayam goreng dan empat potong sosis. John yang berasal dari keluarga sederhana dan membawa lauk seadanya meminta lauk pada Ken. Ternyata nasibnya sama seperti Santi. Walau telah merayu dan merengek pada Ken, Ken tak mempedulikannya.
Mendengar rengekan John aku merasa terusik dan memutar dudukku pada mereka.
“Na, mau?” Tiba-tiba Ken menyorongkan kotak bekalnyanya padaku. Aku hampir menerima pemberiannya, bukan karena ingin mencicipi lauknya, aku hanya merasa sayang menolak kebaikkannya yang langka. Tapi, akhirnya aku menggeleng.
“Gak ada babinya. Ayam sama sosis sapi, halal.” Dia membaca alasan penolakanku.
“Walau itu gak ada daging babinya, tapi alat masaknya gak mustahil terkontaminasi dengan minyak atau daging babi.” Kata John, kemudian ia meneruskan rayuannya pada Ken. Sampai selesai makan, aku tahu John tetap tak berhasil meluluhkan hati Ken untuk memberi lauk padanya.
Dari dua peristiwa itu rasanya sudah cukup untuk membenarkan apa yang dikatakan Mbak Titis. Bahwa manusia seperti bumi. Ia memberikan sebanding dengan apa yang diterimanya. Sikap keras, tak peduli, cuek, pelit yang ditunjukkan Ken pada teman-teman di sekitarnya adalah sebanding dengan perlakuan yang ia terima. Hampir semua yang berinteraksi dengannya selalu mengejek, merendahkan dan menganggap Ken berbeda dari yang lain. Bahkan John dan Gie, sepertinya bersedia menghabiskan waktu bersama-sama Ken karena mereka banyak mendapat manfaat, fasilitas dan kemudahan darinya. Memang tidak semua teman bersikap buruk padanya, tapi mereka itu adalah mereka yang memang tidak mempedulikannya. Sikap teman-teman seperti itu sebenarnya wajar. Karena tingkah laku Ken memang sering kali menyebalkan dan aneh. Tapia pa selamanya dia harus diperlakukan seperti itu?
Berfikir seperti itu bukan berarti aku merasa aku telah berbuat baik pada dirinya. Setidaknya, aku memperlakukannya dengan jujur. Ketika aku tidak suka dan marah pada kelakuannya yang menurutku tidak baik, maka aku memperlihatkan terus terang padanya. Begitu juga saat hasil gambarnya bagus atau saat dia bersedia menjadi ‘kamus hidup’ saat ulangan Bahasa Ingiris, aku selalu menunjukkan ekspresi menyenanginya. Dan mungkin perasaan Ken yang sensitif merasakan bahwa aku tulus. Mungkin hal itu yang membuat Ken memperlihatkan sikap yang berbeda padaku.
Ya! Ken memang baik padaku. Bahkan saat aku memintanya menggambar kartun dengan karakter diriku, walau didahului dengan kata-kata tajamnya, tokh ia mengerjakannya untukku. Padahal, setahuku ia tak pernah bersedia menggambar teman-temannya, walau sekedar sebatas karakter. Alasannya, ia hanya bersedia menggambar yang pantas untuk digambar.
“Apa yang harus digambar dari dirimu! Yang terlihatkan hanya mata doang! Lagian dirimu bukan sosok yang ideal untuk kugambar..” Katanya hiperbol. Maklum aku memakai kerudung dan seperti yang kupikirkan terdahulu, aku tidak cantik. Tapi entah kenapa saat kuserahkan fotoku akhirnya dia mau mengerjakannya sambil sesekali melihat ke arahku. Dari hasil gambarannya itu, aku tahu seperti apa aku dalam benaknya. Pemurung!
Eh, kok analisisnya berbelok pada diriku. Mmm…, mending sekarang aku tidur. Tiba-tiba saja di benakku muncul ide untuk mengadakan sebuah eksperimen. Untuk menjawab pertanyaan; Apa memang manusia seperti tanah? Dalam minggu ini juga aku akan melakukannya. Mumpung saatnya memang tepat. Tentu saja yang menjadi objek adalah Ken!

Waktu yang ditentukan telah tiba. Hari ini, tanggal 27 Januari adalah ulang tahun Ken. Sebenarnya, kemarin aku sudah ke toko buku membeli kartu ucapan. Tapi malam tadi aku berubah pikiran. Ken sudah terbiasa dengan benda-benda buatan pabrik. Tentu akan lebih berkesan bila kartu yang akan diberikan padanya butan tangan dan agak artistik. Maka aku hanya mengambil amplop dari kartu yang kubeli itu. Isinya kertas HVS biasa. Kata-katanya kukarang sendiri. Ken pernah bilang, puisi-puisi yang kubuat terlalu melankolis dan sentimentil dan itu membuatku trauma. Sejak itu aku merubah style-ku dan kata-kata yang kutulis untuknya juga kusesuaikan dengan gaya baruku itu.
Pagi-pagi sekali, dengan bantuan Santi, John, dan Gie aku mengumpulkan tandatangan teman-teman sekelas di kartu hasil kreasiku itu. Santi yang mewakili seisi kelas menyerahkan pada Ken saat jam istirahat pertama.
Saat istirahat tiba. Aku memutar dudukku. Beberapa teman, khususnya John, Gie, dan Santi tampak senyum-senyum.
“Ken…” Panggil Santi.
“Apa,…!” Katanya.
Sani lalu mengulurkan amplop yang dipegangnya. “Untukmu…, dari teman-teman sekelas.”
Dia mengambil amplop itu dengan sikap malas sambil mengernyitkan keningnya. Lalu membuka dan membaca isinya. Lambat-lambat dia tersenyum, mengusap rambutnya dengan tangan kiri beberapa kali, kemudian…, ia tertawa! Suara tawa yang berbeda dari tawa yang sering kudengar dari mulutnya selama ini. Tawa yang menunjukkan ekspresi wajah berbeda, tawa yang sebenarnya tawa, bukan ungkapan ironi.
“Buhan nyawa tahukah unda ulang tahun hari ini. Unda ja lupa.” Ia masih tertawa.
“Selamat ulang tahun…!!!” Teriak kami berbarengan. Kemudian menjabat tangannya bergantian.
“Ken, kapan kita ditraktir?” Tanya Santi.
“Iya nih, Ken kita sekelas ditraktir bakso Mang Ujang ya?” Gie menimpali.
“Tapi kaya apa yo, hari ini unda kada bawa uang banyak.” Jawab Ken.
Aku mulai memperhatikan sikap Ken. Emm…, sepertinya dia mendekati apa yang dikatakan Mbak Titis, seperti tanah!
“Ah, kalau itu masalahnya mudah. Bilang aja kamu bayarnya besok. Cepat pesan sekarang, nanti keburu habis.” Kataku bersemangat.
“Oke deh!” Ken tergopoh-gopoh keluar kelas menuju kantin. Seisi kelas tertawa, bukan tawa mengejek atau mencemooh dirinya. Tapi tertawa karena senang bakal ditraktir.
Kalau begitu sudah saatnya aku menyimpulkan apa yang dikatakan Mbak Titis: manusia memang seperti tanah, ia akan memberikan sebanding dengan apa yang dia terima.
Apakah aku juga seperti itu? Aku seperti tanah? Ah, entahlah,…

Desember 2006

Catatan: Cerpen Ken sebenarnya terinspirasi dari dua hal. Pertama teman sekelas saya yang memiliki karakter unik, dan yang kedua teguran seorang Mbak yang heran dengan kekerasan sikap saya. Cerpen ini saya selesaikan setelah saya menematkan buku Anak Semua Bangsa Karya Pramodya Ananta Toer.