May Allah make our imaan stronger, our hearts pure with Your love and our mind knowledged in Your deen
Jumat, 16 Oktober 2009
Tentang Openmind dan Saya
Kamis, 01 Oktober 2009
Pengalaman Menjadi Gelandangan
Pengalaman Menjadi Gelandangan.
Menjadi gelandangan memang susah!
Mulai tanggal
Dari pembicaraan lewat telepon dengan guru-guru lain, aku mendengar kabar bahwa aliran sungai dari Desa Apuai ke Rantau Bujur tidak bisa dilewati kelotok lagi. Aku berencana membawa motorku ke dalam kapal supaya dapat melanjutkan perjalanan dengan motor. Akan tetapi, kata paman kelotok, sebaiknya perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau jukung saja.
Sebelum kapal bertolak mengarungi Riam Kanan, aku merasa deg-degan menunggu Ibu Fitri dan Ibu Maya yang telah berjanji berangkat bersama-sama ke Rantau Bujur. Soalnya pas aku periksa, dompetku ketinggalan! Uang yang ada di saku jaketku tidak sampai 15 ribu! Satu-satunya solusi yang kupunya untuk ongkos kelotok dan membeli keperluan hidup beberapa hari adalah meminjam uang pada salah satu dari mereka. Untunglah saat kapal akan bertolak mereka berdua datang.
Di sepanjang perjalanan terlihat air waduk Riam Kanan mengalami penyusutan. Mungkin lebih dari 2 M. Itu terlihat dari tebing-tebing tepi waduk yang muncul dari permukaan air. Musim kemarau berdampak pada tanaman yang tumbuh di bukit-bukit sepanjang waduk. Bukit-bukit yang dulu terlihat hijau muda oleh rerumputan di beberapa bagian tampak gosong, terbakar.
Kelotok hanya dapat mengantar sampai Apuai. Sungai terlalu dangkal. Beberapa perahu kecil atau jukung berdatangan menjadi ‘ojek’ untuk perjalanan selanjutnya. Jukungnya kecil banget! Satu jukung hanya dapat mengangkut 2 sampai 3 penumpang.
Menjelang Maghrib, kami sampai di dermaga kecil tempat jukung-jukung ditambatkan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ransel dan barang-barangku ku-‘ojek’-
Sesampainya di dekat sekolah, di halaman rumah kontrakan kami yang dulu, kami hanya tertegun. Rumah kontrakan itu telah menjadi puing-puing abu. Hanya beberapa tiang berbentuk arang yang masih terpancang. Rumah itu terbakar beberapa hari menjelang lebaran kemarin.
Sebenarnya kami belum tahu akan menginap dimana. Di kantor guru, terlalu gelap karena listrik belum dipasang. Bu Desi dan Bu Beben belum datang, rumah mereka terkunci. Akhirnya kami menumpang di ruang tamu keluarga Bu Rahmi.
Di Rantau Bujur, musim kemarau membuat air sulit didapatkan. Sumur-sumur banyak yang kering. Air yang dialirkan dengan mesin air di rumah Bu Rahmi hanya cukup untuk keluarga itu MCK (mandi, cuci, kakus) dan untuk dikonsumsi. Jadi untuk menghemat penggunaan air, aku melanjutkan puasaku.
Siang hari selesai mengajar, aku merasa gerah. Kami bertiga melewati siang hari di kantor. Menjelang Maghrib baru kembali menumpang tidur di rumah Ibu Rahmi. Keadaan kami yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur menumpang mengingatkanku pada acting Will Smith dan anaknya dalam film The Pursuit of Hapyyness, yang nyeritain pegalaman hidup Chris Gardner dan anaknya. Memang sih tidak sesedih kisah mereka. Kalau bapak anak itu terusir dari kontrakan karena tidak dapat membayar uang sewa, kami ‘terusir’ dari rumah dinas kontrakan kami karena kebakaran. Sama-sama tidak memiliki tempat tinggal. Sama-sama jadi gelandangan….
Sementara itu calon rumah yang bakal kami tempati sedang diperbaiki oleh para tukang. Keadaan rumah itu sangat memperhatikan. Rumah itu tidak memiliki jendela. Walau begitu di dalam rumah cukup terang karena banyak celah (papannya jarang-jarang) baik di lantai maupun di dinding rumah. Tidak ada kamar. Bagian dapur tidak memiliki pintu dan dinding. Dan yang menyedihkan, tidak ada sumur dan kloset!
Keesokan harinya, karena pada malam harinya kantor guru di tempati para tukang yang sedang merenovasi gedung sekolah SD, kami merasa sungkan menjadikan kantor tempat beristirahat. Akhirnya kami mengunjungi beberapa rumah penduduk yang kami kenal untuk meminta air sekaligus meminjam kamar mandi mereka.
Setelah dua hari meng-gelandang, akhirnya malam Rabu rumah kontrakan sudah dapat ditempati. Berlima kami menginap disana. Aku, ibu Fitri, Ibu Maya, serta Ibu Nani dan Ibu Fatmi yang baru datang. Air sudah dapat dialirkan dari rumah orang tua Ihya (anak kelas VII), pemilik rumah kontrakan itu. Tapi kamar mandi dan WC tetap belum ada.
Di dekat rumah ada beberapa pohon durian yang sedang berbuah. Sepanjang malam suara gedebung dari buahnya yang jatuh, beberapa kali terdengar.
(Inti dari cerita ini: jangan pernah deh jadi gelandangan. Soalnya susahhh.... :) )
PengalamanMenjadi Gelandangan
Menjadi Gelandangan.
Menjadi gelandangan memang susah!
Mulai tanggal
Dari pembicaraan lewat telepon dengan guru-guru lain, aku mendengar kabar bahwa aliran sungai dari Desa Apuai ke Rantau Bujur tidak bisa dilewati kelotok lagi. Aku berencana membawa motorku ke dalam kapal supaya dapat melanjutkan perjalanan dengan motor. Akan tetapi, kata paman kelotok, sebaiknya perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau jukung saja.
Sebelum kapal bertolak mengarungi Riam Kanan, aku merasa deg-degan menunggu Ibu Fitri dan Ibu Maya yang telah berjanji berangkat bersama-sama ke Rantau Bujur. Soalnya pas aku periksa, dompetku ketinggalan! Uang yang ada di saku jaketku tidak sampai 15 ribu! Satu-satunya solusi yang kupunya untuk ongkos kelotok dan membeli keperluan hidup beberapa hari adalah meminjam uang pada salah satu dari mereka. Untunglah saat kapal akan bertolak mereka berdua datang.
Di sepanjang perjalanan terlihat air waduk Riam Kanan mengalami penyusutan. Mungkin lebih dari 2 M. Itu terlihat dari tebing-tebing tepi waduk yang muncul dari permukaan air. Musim kemarau berdampak pada tanaman yang tumbuh di bukit-bukit sepanjang waduk. Bukit-bukit yang dulu terlihat hijau muda oleh rerumputan di beberapa bagian tampak gosong, terbakar.
Kelotok hanya dapat mengantar sampai Apuai. Sungai terlalu dangkal. Beberapa perahu kecil atau jukung berdatangan menjadi ‘ojek’ untuk perjalanan selanjutnya. Jukungnya kecil banget! Satu jukung hanya dapat mengangkut 2 sampai 3 penumpang.
Menjelang Maghrib, kami sampai di dermaga kecil tempat jukung-jukung ditambatkan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ransel dan barang-barangku ku-‘ojek’-
Sesampainya di dekat sekolah, di halaman rumah kontrakan kami yang dulu, kami hanya tertegun. Rumah kontrakan itu telah menjadi puing-puing abu. Hanya beberapa tiang berbentuk arang yang masih terpancang. Rumah itu terbakar beberapa hari menjelang lebaran kemarin.
Sebenarnya kami belum tahu akan menginap dimana. Di kantor guru, terlalu gelap karena listrik belum dipasang. Bu Desi dan Bu Beben belum datang, rumah mereka terkunci. Akhirnya kami menumpang di ruang tamu keluarga Bu Rahmi.
Di Rantau Bujur, musim kemarau membuat air sulit didapatkan. Sumur-sumur banyak yang kering. Air yang dialirkan dengan mesin air di rumah Bu Rahmi hanya cukup untuk keluarga itu MCK (mandi, cuci, kakus) dan untuk dikonsumsi. Jadi untuk menghemat penggunaan air, aku melanjutkan puasaku.
Siang hari selesai mengajar, aku merasa gerah. Kami bertiga melewati siang hari di kantor. Menjelang Maghrib baru kembali menumpang tidur di rumah Ibu Rahmi. Keadaan kami yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur menumpang mengingatkanku pada acting Will Smith dan anaknya dalam film The Pursuit of Hapyyness, yang nyeritain pegalaman hidup Chris Gardner dan anaknya. Memang sih tidak sesedih kisah mereka. Kalau bapak anak itu terusir dari kontrakan karena tidak dapat membayar uang sewa, kami ‘terusir’ dari rumah dinas kontrakan kami karena kebakaran. Sama-sama tidak memiliki tempat tinggal. Sama-sama jadi gelandangan….
Sementara itu calon rumah yang bakal kami tempati sedang diperbaiki oleh para tukang. Keadaan rumah itu sangat memperhatikan. Rumah itu tidak memiliki jendela. Walau begitu di dalam rumah cukup terang karena banyak celah (papannya jarang-jarang) baik di lantai maupun di dinding rumah. Tidak ada kamar. Bagian dapur tidak memiliki pintu dan dinding. Dan yang menyedihkan, tidak ada sumur dan kloset!
Keesokan harinya, karena pada malam harinya kantor guru di tempati para tukang yang sedang merenovasi gedung sekolah SD, kami merasa sungkan menjadikan kantor tempat beristirahat. Akhirnya kami mengunjungi beberapa rumah penduduk yang kami kenal untuk meminta air sekaligus meminjam kamar mandi mereka.
Setelah dua hari meng-gelandang, akhirnya malam Rabu rumah kontrakan sudah dapat ditempati. Berlima kami menginap disana. Aku, ibu Fitri, Ibu Maya, serta Ibu Nani dan Ibu Fatmi yang baru datang. Air sudah dapat dialirkan dari rumah orang tua Ihya (anak kelas VII), pemilik rumah kontrakan itu. Tapi kamar mandi dan WC tetap belum ada.
Di dekat rumah ada beberapa pohon durian yang sedang berbuah. Sepanjang malam suara gedebung dari buahnya yang jatuh, beberapa kali terdengar.
Sebelum Hujan Reda
Ini cerpenku yang kutulis tahun 2008 kemarin. Dimuat di Cakrawala Radar Banjarmasin satu minggu setelah
Sebelum Hujan Reda
(Oleh: Ana)
Wina, Tepi Sungai Martapura, 2008
Aliran sungai Martapura tampak lebih coklat dari biasanya. Hujan bulan Desember yang jatuh di atas tanah membawa debu-debu jalanan mengalir ke dalam sungai. Senja makin temaram. Sesaat lagi matahari akan tenggelam.
Dia masih duduk di situ. Segelas teh panas yang tadi dia pesan sejak 10 menit lalu telah dihabiskannya. Di luar warung tenda, hujan belum menampakkan tanda-tanda akan reda.
Berada di warung tenda ini sambil memandang derai hujan yang menyapu aliran sungai Martapura membuat ingatannya pada Sari semakin nyata. Delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal dan berteman dengan seseorang. Sari pernah menjadi sahabat, tempat berbagi, dan seseorang yang selalu berusaha memenuhi keinginannya. Sayangnya, tahun-tahun terakhir dari kebersamaan mereka ada banyak luka yang menganga.
Walau begitu, tahun-tahun terakhir kebersamaan itu juga tidak bisa menghapus ingatannya pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka begitu dekat. Hanya dengan saling menatap mereka akan tahu isi kepala masing-masing.
Jadi, mengapa harus malu? Mengapa merasa harga diri akan jatuh? Mengapa?
Perlahan dia mengeluarkan telepon genggam dari dalam tas kerjanya. Beberapa saat dia hanya memandangi benda itu. Matanya terpejam, saat membuka, satu tetes air jatuh dari kelopak matanya.
***
….
Antara kita
Pernah terjalin sebuah ikatan
yang demikian kuat
Seperti halnya klorofil
yang membutuhkan matahari
Seperti halnya air mata
yang membutuhkan kelopak
untuk mengucurkan buliran-bulirannya (1)
Pelajaran Matematika, Suatu Siang, 2000
“Main yuk. SOS.”
“Nanti dimarahi Bapak Hadi. Kitakan duduk paling depan, beliau pasti melihat.”
“Beliau sedang tidak memakai kaca mata, jadi tidak akan melihat.”
“Maksudmu?”
“Aku sudah memperhatikan sejak beberapa minggu lalu. Mata beliau mengidap rabun dekat, hanya mampu mengamati anak-anak yang berada di urutan tiga ke belakang.”
“Tapi, aku belum mengerti hitungan matriks. Seumur-umur kemarin adalah pengalaman pertama aku ulangan dapat nilai nol.”
“Kemaren kamu bilang hanya suka matematika yang bisa dihitung pakai logika. Yang ada contoh realnya!”
“Iya deh. Kamu yang bikin kotak-kotaknya ya. Pakai bukumu. Kemarin sudah pakai bukuku.”
“Beres!” Kau tertawa sambil mengeluarkan kertas yang sedari tadi telah kau gambar. Kau mengajak dia bermain SOS, menyusun gambar dan tanda silang di kertas yang bermotif seperti papan catur itu.
Depan Kelas, Istirahat Kedua, 2001
Suasana mendadak gaduh. Semua berkumpul di depan kelas. Kau melihatnya tertelungkup di atas tanah. Segera kau membantu dia berdiri.
Di depanmu dan yang lainnya dia langsung menangis. Kerudung, baju putih dan rok abu-abunya kotor. Siku tangannya berdarah. Kau langsung mendatangi
Kau perihatin padanya sekaligus ingin tertawa. Jatuh dari ketinggian 30 cm menurutmu bukanlah sebuah petaka yang harus membuatmu menangis sesegukan disaksikan tatapan seisi kelas.
Entahlah, kadang kau berfikir dia sangat kekanak-kanakan. Cengeng! pernah dia memintamu menyanyikan sebuah lagu, dan gilanya selagi kau menyanyikan lagu itu dia menangis di hadapanmu. Alasannya menurutmu sepele, lagu itu sesuai dengan suasana hatinya yang sedang patah hati.
“Aku, Deri dan buhan anggota klub akan pergi besok sore. Kami pergi seminggu. Katamu kamu suka pohon dan rerumputan. Di
“Aku memang ingin sekali ikut. Dari dulu aku ingin sekali berkemah di pegunungan. Pasti pemandangannya bagus.”
“Memang. Dari atas pohon kau bisa memandang
“Orang rumah pasti menganggap itu terlalu berbahaya. Aku tidak akan diizinkan. Lagi pula, katamu kalian akan banyak latihan pernapasan. Aku tidak kuat lari. Suka batuk-batuk.”
“Hmm, kalau tidak jadi ikut tidak apa-apa. Mungkin lain kali kalau acaranya cuma piknik dan tidak nginap kamu bisa ikut. Mau kubawakan apa?”
“Gak ada edelweis ya?”
Kau tertawa mendengar pertanyaannya itu. Pasti dia terpengaruh isi cerpen tentang pendakian yang sering di bacanya.
“Setahuku gak ada. Tempat itu hanya perbukitan yang didominasi
“Gak tahu juga. Terserah aja deh. Apa saja, pokoknya harus ada oleh-oleh!”
Jalan A Yani KM 1, 2005
“Sampai di sini saja ya.” Kau hampir tidak tega mengatakan itu. Di hadapanmu matanya tampak berkaca-kaca. Sore itu tidak seperti biasanya di tengah perjalanan kau menepikan sepeda motor. Setelah menetralkan kecepatan kau serahkan stang sepeda motor padanya.
“Nggak bisakah kau mengantarku sampai depan komplek. Nanti kau bisa naik ojek atau angkot. Aku akan mengganti ongkosnya.” Suaranya terdengar memelas.
“Sorry, my mom is back. Aku harus menjemputnya di pelabuhan Trisakti. Sekarang.”
Di hadapanmu dia hanya diam. Matanya menatap kedua ujung sepatunya.
“Kamu sebenarnya bisa. Kamu hanya tidak ingin mencoba.” Selama hampir tiga tahun ini kalian berangkat dan pulang kuliah selalu bersama-sama. Dan itu sebenarnya sangat membantumu. Setidaknya kau tidak harus memusingkan biaya transportasi.
Dia hanya berani mengendarai sepeda motor di sepanjang komplek dan gang menuju rumahmu. Dari rumahmu menuju ke kampus yang memakan waktu 30 menit dan melewati pusat
Kau pun sebenarnya selama ini ngeri membayangkan dia mengendarai sepeda motor itu sendirian. Kebiasaanya melamun seperti orang yang sedang trance, gerakannya yang tidak secepat cara berpikirnya membuatmu selama ini tidak yakin dia akan baik-baik saja bila mengendarai sepeda motor sendirian. Akan tetapi, hari ini ibumu kembali setelah 5 tahun kepergiannya menjadi TKI di luar negeri. Kau tidak bisa menunggu lagi, kerinduan yang kau tahan selama ini harus segera tertuntaskan
Dia masih diam saat kau menyeberang jalan. Bahkan saat angkot yang kau tumpangi berjalan dia masih diam di tempat. Hanya matanya yang berkaca-kaca mengikuti ke pergianmu.
***
Sari, Hulu Sungai Selatan, 2008
Hujan belum reda. Kau masih menatap ke luar jendela bis. Hujan membuat sisi jalan dipenuhi Lumpur.
Kau sebenarnya jarang sekali melamun. Menurutmu tidur lebih baik dari pada melamun. Akan tetapi hujan selalu menyeret ingatanmu pada Wina. Bahkan tadi, sebelum gerimis pertama jatuh, ingatanmu telah menghadirkan dirinya.
Entahlah… apakah mungkin karena dalam ingatanmu dia sangat menyukai hujan? Atau mungkin karena dia sering kali merengek meminta jangan berteduh setiap kali hujan turun saat kalian pulang kuliah.
Namun, kau juga tidak akan lupa tahun-tahun terakhir kebersamaan dengannya. Kau masih ingat saat pertama kali melihat perubahannya bukan?
Waktu itu, kira-kira 3 tahun yang lalu kau baru saja turun dari angkot, tepat di depan gerbang kampus. Namun, tiba-tiba kau terpaku. Kau hampir tidak percaya dengan apa yang saat itu kau lihat.
Tepat di tikungan Wina sedang mengendarai sepeda motor. Di belakangnya duduk Intan yang memangku gallon berisi air minum. Dia sendiri selain menyandang tas besar, diantara kedua lututnya mengapit kotak kardus. Sesekali terdengar obrolan yang diselingi derai tawa mereka.
Padahal, kau masih ingat keberanian yang dimilikinya setiap kali kau memintanya mengendarai sepeda motor di jalan raya. Kau masih ingat kejadian tiga bulan sebelumnya saat kau meninggalkannya ditengah jalan karena harus menjemput ibumu yang baru pulang setelah menjadi TKI di luar negeri.. Sejak itu pula selama 3 bulan kau tidak menemuinya karena harus mengurus warisan ayahmu di Kandangan.
Siangnya, beberapa jam setelah kau melihatnya membonceng Intan yang memangku gallon air minum, saat akan masuk ke ruang perkuliahan beberapa menit sebelum jadwal yang ditentukan, kau melihat dia duduk di urutan depan. Dia tampak seperti biasa, tenggelam dalam buku yang dibacanya.
“Masih kosongkan?” kau menyapa sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
“Sari, kau sudah pulang! Kok tidak ngasih kabar. Akukan bisa menjemputmu biar kita bisa berangkat ke kampus bareng.” Dia terlihat surprise saat menyadari keberadaanmu.
“Tadi aku tidak berangkat dari rumah. Dari
“Oh, nanti pulangnya barengkan?”
“Ya,” kau berkata sambil memutar punggung untuk duduk dikursi di sebelahnya.
“Eemm, itu kursi untuk Intan. Katanya dia akan terlambat berapa menit.”
Kau tertegun. Entahlah, terasa ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadamu. Sejak kapan dia lebih mementingkan orang lain dari pada dirimu?!
Dia mengedarkan pandangan, kemudian menunjuk salah satu kursi yang masih kosong di lajur kanan. “Di sebelah
Kau berusaha untuk tersenyum. Lalu kau keluarkan sesuatu dari dalam tasmu.
“Di Kandangan aku sempat bertemu Deri. Dia titip salam padamu.”
Sekilas kau melihat wajahnya merona. Dan perasaan yang selama ini berusaha kau sembunyikan kembali terasa. Seperti ada yang menyayat pelan, perih.
“Dia juga titip ini untukmu.” Kau menyerahkan gelang dari bulatan kayu berukir bunga melati yang dititipkan Deri untuknya.
“Bilang ke dia, terima kasih.” Dia berkata sambil mengamati ukiran melati pada gelang itu.
“Bilang saja sendiri!” Katamu ketus. Kau baru menyadari nada suaramu yang kasar saat melihat raut wajahnya yang tampak kaget. “Untuk sementara aku tidak ikut latihan di Klub. Jadi, mungkin aku tidak akan bertemu dengannya dalam waktu dekat.”
“Maksudku, ya… kapan-kapan kalau kalian bertemu.” Dia nampak tidak nyaman. Ah, dia pasti membaca perasaanmu pada Deri. Dia sangat peka dan selalu sensitive, bahkan pada hal-hal yang sering kali luput dari perhatianmu.
Sorenya saat kuliah usai, seperti biasa kalian pulang bersama-sama. Seperti waktu-waktu sebelumnya, ekspresinya tidak berubah saat kau meminta dia yang memboncengmu. Dia menggeleng, menatapmu dengan mata putus asanya dan berkata bahwa lalu lintas membuatnya ngeri, bahwa dia merasa lebih nyaman ada di belakangmu. Dan seperti waktu-waktu sebelumnya kau memenuhi permintaannya. Namun, sepanjang perjalanan, kilasan peristiwa saat dia membonceng Intan yang membawa gallon air minum memenuhi ingatanmu.
Hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya kau mulai seperti tidak mengenalinya. Dia bukan dirinya. Dia berubah!
Biasanya dia hanya akan ikut atau melakukan kegiatan di luar rumah setelah memastikan bahwa kau akan ada bersamanya. Biasanya, setiap perkuliahan akan dimulai dia akan menyediakan 1 kursi kosong di sampingnya untuk kau tempati. Biasanya dia tidak akan pergi ke kampus dan mengendarai sepeda motor sendirian bila kau berhalangan mengikuti perkuliahan. Biasanya dia selalu bersedia menemanimu, menunggumu latihan bela diri di Klub. Dan biasanya setiap ulang tahunmu dia akan mengingat tanggalnya dan memberikan sesuatu sebagai wujud perhatiannya padamu.
Kau tidak tahu apa yang menyebabkan dia berubah. Kau hanya tahu bahwa Intan lah yang menjadi orang yang selalu ingin ditemuinya. Dan yang membuatmu sangat tidak mengerti adalah sikapnya pada intan. Dia mau, bersedia, melakukan hal-hal yang selama ini tak pernah berani dilakukannya ketika bersamamu.
Kau masih ingat pertengkaran yang kian mempertegas jurang diantara kalian bukan? Sore itu di halaman rumahmu saat kau menyerahkan stang sepeda motor dan bersiap-siap akan mengucapkan “Sampai ketemu besok,” dia tiba-tiba memanggil namamu.
“Kau ada mengirim SMS pada Deri?” Dia tampak ragu-ragu bertanya hal itu. Dia pernah mengirim SMS pada Deri dengan menggunakan telpon genggammu. Dan satu bulan kemudian kau juga mengirim SMS pada Deri, tetapi Deri mengira dialah yang menulis SMS itu.
“Ya, ada.”
“Dia mengira aku yang mengirim SMS itu.”
“Dia sempat menanyakan apakah yang mengirim SMS adalah kamu, kujawab bukan.”
Kemarahan tiba-tiba muncul dalam dadamu. Kau merasa tersinggung.
Kemudia pembicaraan itu berlanjut. Kau akhirnya menumpahkan kekesalan yang selama ini kau tahan. Kau mempertanyakan mengapa dia tak pernah mau memboncengmu. Mengapa dia hanya menyediakan kursi kosong saat kuliah untuk Intan, bahwa sikapnya itu sangat menyakitkan hatimu. Kau berterus terang bahwa dia baik sekali bersedia menjemputmu setiap pagi, tapi kau juga sebenarnya sangat kesal tiap kali dia lambat menjemputmu, yang membuat kalian selalu terlambat tiba di kampus. Di sela-sela tumpahan kekesalanmu dia memberikan alasan-alasan yang bukan menenangkanmu, melainkan makin membuatmu ingin menumpahkan kekesalan.
“Sari…,” Akhirnya, saat kau merasa mulai kehabisan kata-kata dan memilih kata yang ingin kau ucapkan, dia menyebut namamu pelan. Dia mendongak menatapmu, tampak ragu dengan apa yang akan dikatakannya.
“Berada di dekatmu membuatku selalu merasa aman. Selama ini setiap ada masalah selalu ada kamu yang akan menyelesaikannya. Saat aku merasa takut, aku tahu kamu pandai bela diri dan akan menjagaku. Saat aku tidak berani mengendarai sepeda motor di jalan raya, ada kamu yang pandai mengendarai sehingga aku dapat duduk tenang di belakangmu. Saat aku gaptek, ada kamu yang pandai mengoprasikan komputer dan mengetik cerpen-cerpenku. Dari dulu, sejak kita SMA kamu mengerti semuanya, semua yang tidak kuketahui, oderdil sepeda motor, kehidupan-kehidupan dan permasalahan orang dewasa, semuanya.” Dia berkata sambil menunduk.
“Tapi, sekarang aku sadar tidak selamanya kamu akan selalu ada untukku. Aku hanya mencari orang lain yang berada di dekatnya aku belajar merasakan eksistensi diriku. Aku merasa bukan apa-apa bila berada di dekatmu.”
Dia menyudahi perkataannya dengan menghembuskan napas pelan. Matanya mengerjap beberapa kali. Kau tahu dia berusaha untuk tidak menangis. Tapi gagal, saat dia akan kembali menunduk kau menangkap kilapan air mata di pipinya. Melihatnya seperti itu, kekesalan di hatimu mulai lenyap.
“Itu hanya perasaanmu. Kau tahu bukan, dari dulu aku merasa seperti dalam terowongan gelap. Aku harus meraba-raba. Tidak ada yang mengatakan ini benar atau itu salah padaku. Kadang aku merasa permasalahanku, tanggung jawabku, tidak seharusnya dibebankan untuk seusiaku. Selama ini cuma ada kamu yang bersedia mengkritikku, mencela atau memuji tindakkanku.”
Ya, selama ini saat kau berusaha bertahan dalam konflik yang melanda keluargamu, hanya dia yang biasanya mengingatkanmu, menegurmu, dan mengungkapkan ketidaksukaannya setiap kali kau melakukan hal-hal yang menurutnya tidak baik. Hanya saja sejak beberapa bulan ini kalian jarang sekali berbicara dari hati ke hati seperti dulu.
Sore itu, di depannya kau dapat menahan untuk tidak menangis. Dan setelah dia pulang kau mengira semuanya akan kembali seperti semula. Bahwa besok-besoknya kalian akan menjadi dua orang teman, sahabat seperti waktu-waktu dulu.
Ternyata, tidak. Dia tetap menjemputmu, memintamu memboncengnya setiap pergi dan pulang kuliah. Akan tetapi, kau tahu sejak sore itu kau kehilangan sosok yang selama ini menjadi temanmu. Dan ini adalah tahun kedua setelah Wisuda kalian. Hampir dua tahun kalian tidak bertemu.
Kau masih menatap ke luar jendela bis. Hujan belum menampakkan tanda-tanda akan reda. Sebentar lagi kau akan tiba di
Kau hampir terlelap saat telpon genggammu bergetar. Satu pesan masuk.
Apa kabar? Di Banjarmasin sedang hujan. Aku sekarang berteduh di warung tenda sungai Martapura yang dulu sering kita kunjungi. Aku merindukanmu.
Kau jarang sekali menangis. Menurutmu menangis membuatmu kehilangan kekuatan, lemah. Tapi kali ini, kau membiarkan air matamu jatuh menimpa telpon genggam di tanganmu.
Kau tidak akan menjawab SMS itu. Kau tidak akan menjawab SMS itu sekarang. Kau akan membiarkan Wina menunggu balasan darimu. Karena dengan cara itu kau berharap dia akan memikirkanmu lebih lama.
Ya, besok-besok atau minggu depan kau baru akan membalas SMS itu.
mendadak pada suatu masa
ketika hujan bertaburan
seperti halnya puisi
yang ditebarkan malaikat
di uuudara
bangunkan diri ini dengan cahya (2)
1: Bait puisi dalam musikalisasi puisi “Sahabat” karya anak2 Liberation Youth
2 : Bait lagu dalam musikalisasi puisi “Sahabat”
Untuk yang pernah sangat dekat: Semoga Allah selalu melimpahkan kebahagian atasmu, selalu.
Oktober-Desember 2008