Jumat, 16 Oktober 2009

Kita

KITA

Kita terbentuk dari apa yang kita pikirkan

Tentang Openmind dan Saya

Pada 25 Desember 2005 lalu esayku dimuat di Cakrawala Radar Banjarmasin. Judulnya Tentang Buku, seorang Teman, dan Dekonstruksi. Kemarin aku nulis esai lagi, karakter tulisannya hampir mirip.
Tentang Openmind dan Saya
Sekitar akhir 2003 atau awal 2004, mulai beredar sebuah majalah mini (minimagz) terbitan anak-anak Yogya. Awalnya harga minimagz itu Rp 1000 untuk pulau Jawa dan Rp 1300 luar pulau Jawa. Seiring makin banyaknya pembahasan dan makin tebalnya halaman, harganya kemudian mencapai Rp 7000-an. Walau tema yang diangkat menyangkut politik, agama, motivasi dan realitas sosial yang sedang hangat di masyarakat, pembahasan di dalamnya menggunakan bahasa yang sederhana dengan pengungkapan yang terkesan akrab. Karena distro atau agen minimagz itu adalah ketua organisasi yang saya ikuti dan penjualannya bertempat di markas akhwat (cewek) yang hampir setiap hari saya kunjungi, mendapatkan majalah mini itu bukanlah hal yang sulit.
Pada edisi-edisi awal saya belum begitu terkesan, namun lama-kelamaan kemunculan magz itu selalu saya tunggu. Pembahasan di dalamnya jujur, apa adanya, tulus, menambah wawasan dan semangat. Dan yang paling berkesan adalah cara memandang sesuatu, penyelesaian masalah, kretivitas yang benar-benar berbeda dari buku-buku yang sering saya baca. Walau mungkin sekedar bercanda, ide untuk membuat roti panggang dari setrikaan, benar-benar menyulut kreativitas berpikir dan bertindak.
Apalagi saat anak-anak Bandung dari LY (Liberation Youth), seperti Divan Semesta dan PYTM (Penghianat yang Telah Musnah) ikut berkonstribusi menyumbang tulisan di sana. Tulisan-tulisan Divan yang nyastra, sederhana dan berbau filsafat seakan mengajak untuk bertamasya menelusuri cabang-cabang pemikiran dan sejarah. Melihat celah-celah dalam argumentasi, membedah berbagai pemikiran dari berbagai sisi. Tulisan-tulisan PYTM yang realistik, disertai data, dan fakta seperti membakar, seakan-akan mengajak untuk segera melakukan revolusi. Sementara Ali Mufti (Bos magz) yang paling sering berganti-ganti nama, tetap menjaga hubungan emosi dengan pembaca, menjalin kedekatan dengan menceritakan kehidupan sehari-harinya, yang menyedihkan, memalukan, menggelikan, dan mengharukan.
Menemukan kemiripan pemikiran, perasaan, atau bahkan hal-hal yang bisa terjadi di diri kita pada tulisan orang lain terkadang menimbulkan kesan yang berbeda. Selain membuat kita mungkin memaknai hal-hal biasa tersebut menjadi lebih jujur, bukankah seperti yang diungkapkan Cathleen Lewis dalam bukunya yang berjudul Rex (buku tentang seorang ibu, anaknya yang buta dan autis serta musik yang mengubah kehidupan mereka) bahwa, Persahabatan dilahirkan pada waktu dimana seseorang berkata pada yang lainnya: Apa! Kau juga? Aku pikir hanya aku saja.”
Sebelum membaca magz itu saya sering kali merasa kurang beruntung. Dan kadang-kadang diam-diam mempertanyakan beberapa hal kepada kepada Allah. Ya Allah, mengapa saya dilahirkan dengan emosi yang tidak sestabil teman saya yang lainnya? Mengapa cara berpikir saya berbeda dengan teman-teman lainnya? Saat teman-teman sepermainan saya memandang daun sebagai bagian dari tumbuhan, saya tidak bisa melepaskan kerumitan pikiran saya yang mempertanyakan bagaimana Allah memperhatikan, mengurus tiap helai daun yang sangat banyak jumlahnya itu? Saat teman-teman sekelas saya tertawa di tengah gurauan mereka, saya hanya meringis hampir menangis, karena memikirkan apakah kegembiraan seperti itu yang menjadi tujuan hidup?
Dan sepertinya Allah kemudian mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengirim beberapa orang dalam hidup saya. Selain mempertemukan saya dengan orang-orang yang mengajak saya mengkaji kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin (yang menguraikan tentang hakikat berfikir, hakikat manusia, Islam sebagai mabda), Allah menakdirkan saya mengenal para penulis-penulis dalam magz itu.
Sungguh dari tulisan-tulisan dalam kitab-kitab dan magz itu saya belajar bahwa tidak ada yang perlu disesali dari emosi yang telah melekat pada watak kita sejak lahir. Allah tidak akan menghukum kita hanya karena kita agak pemarah dan melankolis. Allah hanya menilai dimana kita menumpahkan kemarahan kita. Apakah pada kebenaran atau kezaliman? Apakah pada orang yang berbuat sesuai syariat atau pada orang-orang yang menghina Islam? Bila dalam kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani saya belajar memahami hakikat berfikir (akal), cara kerja akal, apa yang dapat dipikirkan dan apa yang mustahil untuk dipikirkan. Dalam magz itu saya bertemu orang-orang yang memiliki kemiripan. Pernah terbelit sastra dan filsafat. Cemas dengan relitas sosial yang ada. Ya Allah, ternyata saya tidak sendirian!
Kadang-kadang kita berusaha mengubah apa yang ada pada diri kita karena kita ingin berbuat untuk sesuatu yang berarti dalam hidup kita. Seorang teman yang dulunya pendiam dan tak pernah sekalipun angkat suara dalam diskusi perkuliahan, berubah menjadi orator demostrasi, pembicara di kajian-kajian mesjid kampus, saat akidah dan pemikiran-pemikiran Islam telah terinternalisasi dalam dirinya, saat ridha Allah menjadi hal yang sangat berarti dalam hidupnya, saat dia paham bahwa dakwah adalah perkara wajib dan tidak bisa dilaksanakannya bila tetap diam. Dia harus berbicara di depan banyak orang!
Demikian pula saya. Waktu itu saya agak introvert dan terlalu pemalu. Saya tidak pernah membayangkan akan menjadi pedagang, penjual majalah. Mendatangi konsumen, menjalin hubungan dengan mereka, menawarkan barang yang saya jual, merayu mereka supaya tertarik. Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya… Akan tetapi magz itu sangat berarti! Saya ingin magz itu tetap eksis dan orang lain ikut tercerahkan seperti yang saya rasakan. Maka mulailah saya merayu sepupu saya untuk menjadi distro (agen). Dia yang mendanai dan saya yang mendistribusikan. Setiap bertemu teman seangkatan, adik dan kakak sefakultas, teman-teman dari fakultas lain, saya selalu mencari kesempatan untuk mengobrol dan menawarkan magz tersebut. Karena memang tidak berjiwa dagang, keuntungan tidak pernah terkumpul. Beberapa magz itu saya berikan cuma-cuma pada orang-orang yang saya sayangi dan berharap mereka turut mendapatkan pencerahan sehabis membacanya.
Akan tetapi, ketika sepupu saya mendapat beasiswa studi ke luar negeri, saya harus mendapatkan uang sendiri. Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang yang cukup banyak kecuali mencoba menghilangkan rasa malu dengan mengirim tulisan-tulisan ke koran. Honor dari tulisan-tulisan itu saya gunakan untuk modal membayar uang muka pemesanan magz itu. Karena terbit lebih tebal magz itu mengalami kenaikan pereksemplarnya.
Kadang-kadang pula, kita tumbuh, berusaha berubah mengikuti sosok atau karakter yang kita kagumi. Betapa terpesonanya saya dengan rasa percaya diri dalam menyampaikan kebenaran yang menjiwai tulisan-tulisan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam kitab-kitabnya, beliau sekokoh karang dengan kerangka pikir yang cemerlang dan menakjubkan ketika menyampaikan, menguraikan kebenaran-kebenaran yang beliau yakini, yang memang berdasarkan dalil (aqli maupun naqli).
Dan saya pun menemui warna-warna lain, beragam warna menjiwai tulisan-tulisan dalam minimagz itu.. Saya kagum dengan bahasa nyastra yang digunaka Divan, lugas tetapi tetap indah, sederhana tetapi menyentuh dasar-dasar pemikiran, dan menggerakkan. Dari Divan saya belajar mengubah kemarahan menjadi keberanian. Saya pun kagum degan PYTM, kagum dengan kemampuannya mengorganisasi dan memobilisasi teman-temannya di LY (Liberation Youth), kagum dengan kreativitasnya menerbitkan zine NC (No Compromise), kagum dengan kemampuannya menjalin hubungan dengan berbagai kalangan. Kagum dengan data dan fakta yang dia muat dalam tulisan-tulisannya. Saya pun belajar menghadapi permasalahan sehari-hari dari Ali Mufti. Dari setiap peristiwa kita memiliki pilihan untuk memaknai. Menghadapi masalah dengan sedikit tertawa kadang memang bisa membantu kita mengikhlaskan diri, berdamai dengan diri sendiri. Kebijaksanaan Sugarose (sampai sekarang saya tidak tahu nama aslinya), keceriaan Chibi, adalah warna lain yang saya temui di magz itu.
Ada begitu banyak warna tersaji. Saya tinggal memilih ingin menggunakan mana warna, karakter yang lebih dominan dalam tulisan-tulisan yang ingin saya tulis. Dan lagi-lagi minimagz itu memberi inspirasi! Bukankah kadang mereka menggunakan nama samaran yang berbeda-beda. Saya bisa meniru mereka. Tinggal memilih nama yang memiliki karakter cukup mewakili. Dan bukankah kadang-kadang orang menilai kita dari nama yang kita miliki?
Hanin el-Liwa, ini nama panggilan yang saya gunakan pertama kali. Seorang teman memproklamirkan namanya sebagai Izzah ar-Raya setelah mengetahui bendera hitam yang biasa dibawa Rasulullah Saw dalam peperangan disebut Raya. Saya waktu itu tidak mau ketinggalan, bukankah selain bendera hitam, Islam juga memiliki bendera yang berwarna putih yang di sebut Liwa. Karena tidak ingin ada yang menggunakan nama itu mendahului kami, nama itu sudah harus diketahui khalayak banyak, teman-teman pengajian sekampus. Caranya, tentu saja dengan menyertakan nama itu dalam tulisan di bulletin keislaman maupun di mading mesjid kampus.
Nama-nama di minimagz itu memberikan inspirasi lain. Waktu itu saya memegang devisi Opsymas (opini, syiar, dan humas) di Al Furqon FKIP. Saya kemudian mengajak beberapa teman yang menjadi anggota Opsymas untuk menerbitkan bulletin, Friends. Edisi awal berbentuk lembaran dulu dan hanya difotocopy di kertas berwarna supaya dapat diterbitkan dalam jumlah besar (sebanyak mahasiswa baru di FKIP) dengan biaya yang minim (yang separuh biayanya kami kumpulkan dengan cara sukarela). Walau mengusung ide Islam, karena target pembaca adalah mahasiswa baru, tulisan dalam bulletin itu kami buat berkarakter santai dan gaul. Nama Padang Langit, sepertinya cukup tepat (ini terinspirasi dari nama Divan Semesta), warna karakter dari tulisan saya tersebut tentu saja Divan banget (karena mungkin juga terkesan, teman saya Fitri turut menggunakan nama Padang Langit tersebut dalam blognya). Akan tetapi, nama Padang Langit, yang terkesan ‘berani’ tentu tidak cocok bila saya cantumkan dalam cerpen-cerpen saya yang melankolis. Sedangkan nama asli saya, belum terlalu PD saya cantumkan. Harus ada nama baru. Ana, nama yang megesankan sosok yang cewek. Dan cukup mewakili karakter saya.
Kemudian saat Ratih teman sejurusan, anggota Opsymas di Al Furqon dan sama-sama suka menulis cerpen di Radar Banjarmasin terlibat perdebatan di Cakrawala dengan Bapak Sainul Hermawan, dosen kami, sebagai teman saya tergerak untuk membantunya. Namun, sebagai mahasiswa tentu tidak sopan kalau mengkritik tulisan dosennya sendiri. Harus ada nama samaran yang menutupi identitas saya. Nama Padang Langit, terkesan bukan nama asli dan kurang dewasa (tulisan yang menggunakan nama Padang Langit biasanya saya buat agak gaul). Nama Ana, terlalu feminim, kurang cocok untuk berkonfrontasi. Saya waktu itu mendiskusikan nama baru untuk esay saya itu bersama Amali teman sejurusan. Kami sepakat nama Rain Fajar cukup terkesan berwibawah. Dengan berusaha menjiwai rasa percaya diri An-Nabhani dan semangat Divan, esay-esay saya di Cakrawala Radar Banjarmasin sering menggunakan nama ini.
Sudah hampir tiga tahun ini minimagz itu tidak lagi terbit. Saya pun tidak menjadi distro lagi. Namun, silaturahmi dengan para kru penulis minimagz tersebut masih terjaga. Sekedar ‘say hello’ atau mengirim doa di hari lebaran. Begitu juga hubungan saya dengan para pelanggan minimagz tersebut, kadang-kadang masih terjalin. Saya masih menyimpan nomor-nomor mereka. Dan pada hari-hari besar seperti Ied Fitri 1430 H kemarin, saya masih berkirim SMS dengan beberapa dari mereka.
Mengakhiri esay ini saya ingin mengutip tulisan dari Sugarose (yang pernah terbit dalam salah satu edisi di minimagz itu), tulisan yang sering kali saya baca, menjadi motivasi saat rasa pesimis dan keputusasaan mendera diri:
…Barangkali nanti, justru Allah akan menguatkan kita dari kelemahan-kelemahan yang kini ada. Barangkali sebenarnya kita tidaklah selemah yang kita kira.
Yang mesti dilakukan adalah menyusun rencana, mengumpulkan segenap kemampuan untuk menangkal kekhawatiran yang diperkirakan akan datang.
Kemudian berdisiplin melaksanakannya.
Tidak mudah memang....
Tapi, justru itulah Allah meminta kita untuk selalu bersabar terhadap-Nya.
“IA mengganjar sangat tinggi siapa saja yang pergi keluar rumah untuk memenuhi hajat saudaranya.”
(untuk eks kru OpenMind: OM, maaf esay ini telaaaat. Sebenarnya saya sudah niat nulis esay tentang keberpengaruhan OM ini sejak beberapa tahun lalu. Sejak saya mengirim email dulu itu. Tetapi baru sekarang terealisasi :) )
1 s/d 5 Oktober 2009

Kamis, 01 Oktober 2009

Pengalaman Menjadi Gelandangan


Pengalaman Menjadi Gelandangan.

Menjadi gelandangan memang susah!

Mulai tanggal 26 September 2009, libur sekolah selesai. Jadi, tanggal 27 aku kembali ke Rantau Bujur untuk mengajar. Sebenarnya aku kepengen menempuh jalur darat, tetapi karena aku tidak tahu arah jalan menuju kesana dan tidak ada teman akhirnya aku lewat transfortasi air, naik kelotok.

Dari pembicaraan lewat telepon dengan guru-guru lain, aku mendengar kabar bahwa aliran sungai dari Desa Apuai ke Rantau Bujur tidak bisa dilewati kelotok lagi. Aku berencana membawa motorku ke dalam kapal supaya dapat melanjutkan perjalanan dengan motor. Akan tetapi, kata paman kelotok, sebaiknya perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau jukung saja.

Sebelum kapal bertolak mengarungi Riam Kanan, aku merasa deg-degan menunggu Ibu Fitri dan Ibu Maya yang telah berjanji berangkat bersama-sama ke Rantau Bujur. Soalnya pas aku periksa, dompetku ketinggalan! Uang yang ada di saku jaketku tidak sampai 15 ribu! Satu-satunya solusi yang kupunya untuk ongkos kelotok dan membeli keperluan hidup beberapa hari adalah meminjam uang pada salah satu dari mereka. Untunglah saat kapal akan bertolak mereka berdua datang.

Di sepanjang perjalanan terlihat air waduk Riam Kanan mengalami penyusutan. Mungkin lebih dari 2 M. Itu terlihat dari tebing-tebing tepi waduk yang muncul dari permukaan air. Musim kemarau berdampak pada tanaman yang tumbuh di bukit-bukit sepanjang waduk. Bukit-bukit yang dulu terlihat hijau muda oleh rerumputan di beberapa bagian tampak gosong, terbakar.

Kelotok hanya dapat mengantar sampai Apuai. Sungai terlalu dangkal. Beberapa perahu kecil atau jukung berdatangan menjadi ‘ojek’ untuk perjalanan selanjutnya. Jukungnya kecil banget! Satu jukung hanya dapat mengangkut 2 sampai 3 penumpang.

Menjelang Maghrib, kami sampai di dermaga kecil tempat jukung-jukung ditambatkan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ransel dan barang-barangku ku-‘ojek’-kan pada salah satu muridku yang kebetulan lewat membawa motor.

Sesampainya di dekat sekolah, di halaman rumah kontrakan kami yang dulu, kami hanya tertegun. Rumah kontrakan itu telah menjadi puing-puing abu. Hanya beberapa tiang berbentuk arang yang masih terpancang. Rumah itu terbakar beberapa hari menjelang lebaran kemarin.

Sebenarnya kami belum tahu akan menginap dimana. Di kantor guru, terlalu gelap karena listrik belum dipasang. Bu Desi dan Bu Beben belum datang, rumah mereka terkunci. Akhirnya kami menumpang di ruang tamu keluarga Bu Rahmi.

Di Rantau Bujur, musim kemarau membuat air sulit didapatkan. Sumur-sumur banyak yang kering. Air yang dialirkan dengan mesin air di rumah Bu Rahmi hanya cukup untuk keluarga itu MCK (mandi, cuci, kakus) dan untuk dikonsumsi. Jadi untuk menghemat penggunaan air, aku melanjutkan puasaku.

Siang hari selesai mengajar, aku merasa gerah. Kami bertiga melewati siang hari di kantor. Menjelang Maghrib baru kembali menumpang tidur di rumah Ibu Rahmi. Keadaan kami yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur menumpang mengingatkanku pada acting Will Smith dan anaknya dalam film The Pursuit of Hapyyness, yang nyeritain pegalaman hidup Chris Gardner dan anaknya. Memang sih tidak sesedih kisah mereka. Kalau bapak anak itu terusir dari kontrakan karena tidak dapat membayar uang sewa, kami ‘terusir’ dari rumah dinas kontrakan kami karena kebakaran. Sama-sama tidak memiliki tempat tinggal. Sama-sama jadi gelandangan….

Sementara itu calon rumah yang bakal kami tempati sedang diperbaiki oleh para tukang. Keadaan rumah itu sangat memperhatikan. Rumah itu tidak memiliki jendela. Walau begitu di dalam rumah cukup terang karena banyak celah (papannya jarang-jarang) baik di lantai maupun di dinding rumah. Tidak ada kamar. Bagian dapur tidak memiliki pintu dan dinding. Dan yang menyedihkan, tidak ada sumur dan kloset!

Keesokan harinya, karena pada malam harinya kantor guru di tempati para tukang yang sedang merenovasi gedung sekolah SD, kami merasa sungkan menjadikan kantor tempat beristirahat. Akhirnya kami mengunjungi beberapa rumah penduduk yang kami kenal untuk meminta air sekaligus meminjam kamar mandi mereka.

Setelah dua hari meng-gelandang, akhirnya malam Rabu rumah kontrakan sudah dapat ditempati. Berlima kami menginap disana. Aku, ibu Fitri, Ibu Maya, serta Ibu Nani dan Ibu Fatmi yang baru datang. Air sudah dapat dialirkan dari rumah orang tua Ihya (anak kelas VII), pemilik rumah kontrakan itu. Tapi kamar mandi dan WC tetap belum ada.

Di dekat rumah ada beberapa pohon durian yang sedang berbuah. Sepanjang malam suara gedebung dari buahnya yang jatuh, beberapa kali terdengar.

(Inti dari cerita ini: jangan pernah deh jadi gelandangan. Soalnya susahhh.... :) )


PengalamanMenjadi Gelandangan


Menjadi Gelandangan.

Menjadi gelandangan memang susah!

Mulai tanggal 26 September 2009, libur sekolah selesai. Jadi, tanggal 27 aku kembali ke Rantau Bujur untuk mengajar. Sebenarnya aku kepengen menempuh jalur darat, tetapi karena aku tidak tahu arah jalan menuju kesana dan tidak ada teman akhirnya aku lewat transfortasi air, naik kelotok.

Dari pembicaraan lewat telepon dengan guru-guru lain, aku mendengar kabar bahwa aliran sungai dari Desa Apuai ke Rantau Bujur tidak bisa dilewati kelotok lagi. Aku berencana membawa motorku ke dalam kapal supaya dapat melanjutkan perjalanan dengan motor. Akan tetapi, kata paman kelotok, sebaiknya perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau jukung saja.

Sebelum kapal bertolak mengarungi Riam Kanan, aku merasa deg-degan menunggu Ibu Fitri dan Ibu Maya yang telah berjanji berangkat bersama-sama ke Rantau Bujur. Soalnya pas aku periksa, dompetku ketinggalan! Uang yang ada di saku jaketku tidak sampai 15 ribu! Satu-satunya solusi yang kupunya untuk ongkos kelotok dan membeli keperluan hidup beberapa hari adalah meminjam uang pada salah satu dari mereka. Untunglah saat kapal akan bertolak mereka berdua datang.

Di sepanjang perjalanan terlihat air waduk Riam Kanan mengalami penyusutan. Mungkin lebih dari 2 M. Itu terlihat dari tebing-tebing tepi waduk yang muncul dari permukaan air. Musim kemarau berdampak pada tanaman yang tumbuh di bukit-bukit sepanjang waduk. Bukit-bukit yang dulu terlihat hijau muda oleh rerumputan di beberapa bagian tampak gosong, terbakar.

Kelotok hanya dapat mengantar sampai Apuai. Sungai terlalu dangkal. Beberapa perahu kecil atau jukung berdatangan menjadi ‘ojek’ untuk perjalanan selanjutnya. Jukungnya kecil banget! Satu jukung hanya dapat mengangkut 2 sampai 3 penumpang.

Menjelang Maghrib, kami sampai di dermaga kecil tempat jukung-jukung ditambatkan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ransel dan barang-barangku ku-‘ojek’-kan pada salah satu muridku yang kebetulan lewat membawa motor.

Sesampainya di dekat sekolah, di halaman rumah kontrakan kami yang dulu, kami hanya tertegun. Rumah kontrakan itu telah menjadi puing-puing abu. Hanya beberapa tiang berbentuk arang yang masih terpancang. Rumah itu terbakar beberapa hari menjelang lebaran kemarin.

Sebenarnya kami belum tahu akan menginap dimana. Di kantor guru, terlalu gelap karena listrik belum dipasang. Bu Desi dan Bu Beben belum datang, rumah mereka terkunci. Akhirnya kami menumpang di ruang tamu keluarga Bu Rahmi.

Di Rantau Bujur, musim kemarau membuat air sulit didapatkan. Sumur-sumur banyak yang kering. Air yang dialirkan dengan mesin air di rumah Bu Rahmi hanya cukup untuk keluarga itu MCK (mandi, cuci, kakus) dan untuk dikonsumsi. Jadi untuk menghemat penggunaan air, aku melanjutkan puasaku.

Siang hari selesai mengajar, aku merasa gerah. Kami bertiga melewati siang hari di kantor. Menjelang Maghrib baru kembali menumpang tidur di rumah Ibu Rahmi. Keadaan kami yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur menumpang mengingatkanku pada acting Will Smith dan anaknya dalam film The Pursuit of Hapyyness, yang nyeritain pegalaman hidup Chris Gardner dan anaknya. Memang sih tidak sesedih kisah mereka. Kalau bapak anak itu terusir dari kontrakan karena tidak dapat membayar uang sewa, kami ‘terusir’ dari rumah dinas kontrakan kami karena kebakaran. Sama-sama tidak memiliki tempat tinggal. Sama-sama jadi gelandangan….

Sementara itu calon rumah yang bakal kami tempati sedang diperbaiki oleh para tukang. Keadaan rumah itu sangat memperhatikan. Rumah itu tidak memiliki jendela. Walau begitu di dalam rumah cukup terang karena banyak celah (papannya jarang-jarang) baik di lantai maupun di dinding rumah. Tidak ada kamar. Bagian dapur tidak memiliki pintu dan dinding. Dan yang menyedihkan, tidak ada sumur dan kloset!

Keesokan harinya, karena pada malam harinya kantor guru di tempati para tukang yang sedang merenovasi gedung sekolah SD, kami merasa sungkan menjadikan kantor tempat beristirahat. Akhirnya kami mengunjungi beberapa rumah penduduk yang kami kenal untuk meminta air sekaligus meminjam kamar mandi mereka.

Setelah dua hari meng-gelandang, akhirnya malam Rabu rumah kontrakan sudah dapat ditempati. Berlima kami menginap disana. Aku, ibu Fitri, Ibu Maya, serta Ibu Nani dan Ibu Fatmi yang baru datang. Air sudah dapat dialirkan dari rumah orang tua Ihya (anak kelas VII), pemilik rumah kontrakan itu. Tapi kamar mandi dan WC tetap belum ada.

Di dekat rumah ada beberapa pohon durian yang sedang berbuah. Sepanjang malam suara gedebung dari buahnya yang jatuh, beberapa kali terdengar.

Sebelum Hujan Reda


Ini cerpenku yang kutulis tahun 2008 kemarin. Dimuat di Cakrawala Radar Banjarmasin satu minggu setelah



Sebelum Hujan Reda

(Oleh: Ana)

Wina, Tepi Sungai Martapura, 2008

Aliran sungai Martapura tampak lebih coklat dari biasanya. Hujan bulan Desember yang jatuh di atas tanah membawa debu-debu jalanan mengalir ke dalam sungai. Senja makin temaram. Sesaat lagi matahari akan tenggelam.

Dia masih duduk di situ. Segelas teh panas yang tadi dia pesan sejak 10 menit lalu telah dihabiskannya. Di luar warung tenda, hujan belum menampakkan tanda-tanda akan reda.

Berada di warung tenda ini sambil memandang derai hujan yang menyapu aliran sungai Martapura membuat ingatannya pada Sari semakin nyata. Delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal dan berteman dengan seseorang. Sari pernah menjadi sahabat, tempat berbagi, dan seseorang yang selalu berusaha memenuhi keinginannya. Sayangnya, tahun-tahun terakhir dari kebersamaan mereka ada banyak luka yang menganga.

Walau begitu, tahun-tahun terakhir kebersamaan itu juga tidak bisa menghapus ingatannya pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka begitu dekat. Hanya dengan saling menatap mereka akan tahu isi kepala masing-masing.

Jadi, mengapa harus malu? Mengapa merasa harga diri akan jatuh? Mengapa?

Perlahan dia mengeluarkan telepon genggam dari dalam tas kerjanya. Beberapa saat dia hanya memandangi benda itu. Matanya terpejam, saat membuka, satu tetes air jatuh dari kelopak matanya.

***

….

Antara kita

Pernah terjalin sebuah ikatan

yang demikian kuat

Seperti halnya klorofil

yang membutuhkan matahari

Seperti halnya air mata

yang membutuhkan kelopak

untuk mengucurkan buliran-bulirannya (1)

Pelajaran Matematika, Suatu Siang, 2000

“Main yuk. SOS.”

“Nanti dimarahi Bapak Hadi. Kitakan duduk paling depan, beliau pasti melihat.”

“Beliau sedang tidak memakai kaca mata, jadi tidak akan melihat.”

“Maksudmu?”

“Aku sudah memperhatikan sejak beberapa minggu lalu. Mata beliau mengidap rabun dekat, hanya mampu mengamati anak-anak yang berada di urutan tiga ke belakang.”

“Tapi, aku belum mengerti hitungan matriks. Seumur-umur kemarin adalah pengalaman pertama aku ulangan dapat nilai nol.”

“Kemaren kamu bilang hanya suka matematika yang bisa dihitung pakai logika. Yang ada contoh realnya!”

“Iya deh. Kamu yang bikin kotak-kotaknya ya. Pakai bukumu. Kemarin sudah pakai bukuku.”

“Beres!” Kau tertawa sambil mengeluarkan kertas yang sedari tadi telah kau gambar. Kau mengajak dia bermain SOS, menyusun gambar dan tanda silang di kertas yang bermotif seperti papan catur itu.

Depan Kelas, Istirahat Kedua, 2001

Suasana mendadak gaduh. Semua berkumpul di depan kelas. Kau melihatnya tertelungkup di atas tanah. Segera kau membantu dia berdiri.

Di depanmu dan yang lainnya dia langsung menangis. Kerudung, baju putih dan rok abu-abunya kotor. Siku tangannya berdarah. Kau langsung mendatangi Edo yang mendorongnya. Tapi, Edo mengaku hanya ingin mengajaknya bercanda dan pura-pura ingin mendorongnya. Saat itu, dia tidak siap dan jatuh. Tentu saja kau tahu sebabnya, pastilah saat itu dia sedang melamun seperti biasa.

Kau perihatin padanya sekaligus ingin tertawa. Jatuh dari ketinggian 30 cm menurutmu bukanlah sebuah petaka yang harus membuatmu menangis sesegukan disaksikan tatapan seisi kelas.

Entahlah, kadang kau berfikir dia sangat kekanak-kanakan. Cengeng! pernah dia memintamu menyanyikan sebuah lagu, dan gilanya selagi kau menyanyikan lagu itu dia menangis di hadapanmu. Alasannya menurutmu sepele, lagu itu sesuai dengan suasana hatinya yang sedang patah hati. Rio teman sekelas kalian yang diam-diam ditaksirnya sejak kelas 1, hari itu resmi jadian dengan adik kelas kalian.

Taman Sekolah, Sehari Sebelum Libur Kenaikan Kelas, 2001

“Aku, Deri dan buhan anggota klub akan pergi besok sore. Kami pergi seminggu. Katamu kamu suka pohon dan rerumputan. Di sana pohonnya besar-besar. Kamu bisa memanjatnya.”

“Aku memang ingin sekali ikut. Dari dulu aku ingin sekali berkemah di pegunungan. Pasti pemandangannya bagus.”

“Memang. Dari atas pohon kau bisa memandang padang rumput berlatar langit kemerahan. Sambil membaca novel kesayanganmu atau menulis puisi. Ikut ya?”

“Orang rumah pasti menganggap itu terlalu berbahaya. Aku tidak akan diizinkan. Lagi pula, katamu kalian akan banyak latihan pernapasan. Aku tidak kuat lari. Suka batuk-batuk.”

“Hmm, kalau tidak jadi ikut tidak apa-apa. Mungkin lain kali kalau acaranya cuma piknik dan tidak nginap kamu bisa ikut. Mau kubawakan apa?”

“Gak ada edelweis ya?”

Kau tertawa mendengar pertanyaannya itu. Pasti dia terpengaruh isi cerpen tentang pendakian yang sering di bacanya.

“Setahuku gak ada. Tempat itu hanya perbukitan yang didominasi padang rumput, berbatasan langsung dengan hutan tropis Meratus. Edelweis perlu ketinggian tertentu, lagi pula emang di Kalimantan ada edelweis?”

“Gak tahu juga. Terserah aja deh. Apa saja, pokoknya harus ada oleh-oleh!”

Jalan A Yani KM 1, 2005

“Sampai di sini saja ya.” Kau hampir tidak tega mengatakan itu. Di hadapanmu matanya tampak berkaca-kaca. Sore itu tidak seperti biasanya di tengah perjalanan kau menepikan sepeda motor. Setelah menetralkan kecepatan kau serahkan stang sepeda motor padanya.

“Nggak bisakah kau mengantarku sampai depan komplek. Nanti kau bisa naik ojek atau angkot. Aku akan mengganti ongkosnya.” Suaranya terdengar memelas.

“Sorry, my mom is back. Aku harus menjemputnya di pelabuhan Trisakti. Sekarang.”

Di hadapanmu dia hanya diam. Matanya menatap kedua ujung sepatunya.

“Kamu sebenarnya bisa. Kamu hanya tidak ingin mencoba.” Selama hampir tiga tahun ini kalian berangkat dan pulang kuliah selalu bersama-sama. Dan itu sebenarnya sangat membantumu. Setidaknya kau tidak harus memusingkan biaya transportasi.

Dia hanya berani mengendarai sepeda motor di sepanjang komplek dan gang menuju rumahmu. Dari rumahmu menuju ke kampus yang memakan waktu 30 menit dan melewati pusat kota, dia tak pernah berani sendirian mengendarai sepeda motornya.

Kau pun sebenarnya selama ini ngeri membayangkan dia mengendarai sepeda motor itu sendirian. Kebiasaanya melamun seperti orang yang sedang trance, gerakannya yang tidak secepat cara berpikirnya membuatmu selama ini tidak yakin dia akan baik-baik saja bila mengendarai sepeda motor sendirian. Akan tetapi, hari ini ibumu kembali setelah 5 tahun kepergiannya menjadi TKI di luar negeri. Kau tidak bisa menunggu lagi, kerinduan yang kau tahan selama ini harus segera tertuntaskan

Dia masih diam saat kau menyeberang jalan. Bahkan saat angkot yang kau tumpangi berjalan dia masih diam di tempat. Hanya matanya yang berkaca-kaca mengikuti ke pergianmu.

***

Sari, Hulu Sungai Selatan, 2008

Hujan belum reda. Kau masih menatap ke luar jendela bis. Hujan membuat sisi jalan dipenuhi Lumpur.

Kau sebenarnya jarang sekali melamun. Menurutmu tidur lebih baik dari pada melamun. Akan tetapi hujan selalu menyeret ingatanmu pada Wina. Bahkan tadi, sebelum gerimis pertama jatuh, ingatanmu telah menghadirkan dirinya.

Entahlah… apakah mungkin karena dalam ingatanmu dia sangat menyukai hujan? Atau mungkin karena dia sering kali merengek meminta jangan berteduh setiap kali hujan turun saat kalian pulang kuliah.

Namun, kau juga tidak akan lupa tahun-tahun terakhir kebersamaan dengannya. Kau masih ingat saat pertama kali melihat perubahannya bukan?

Waktu itu, kira-kira 3 tahun yang lalu kau baru saja turun dari angkot, tepat di depan gerbang kampus. Namun, tiba-tiba kau terpaku. Kau hampir tidak percaya dengan apa yang saat itu kau lihat.

Tepat di tikungan Wina sedang mengendarai sepeda motor. Di belakangnya duduk Intan yang memangku gallon berisi air minum. Dia sendiri selain menyandang tas besar, diantara kedua lututnya mengapit kotak kardus. Sesekali terdengar obrolan yang diselingi derai tawa mereka.

Padahal, kau masih ingat keberanian yang dimilikinya setiap kali kau memintanya mengendarai sepeda motor di jalan raya. Kau masih ingat kejadian tiga bulan sebelumnya saat kau meninggalkannya ditengah jalan karena harus menjemput ibumu yang baru pulang setelah menjadi TKI di luar negeri.. Sejak itu pula selama 3 bulan kau tidak menemuinya karena harus mengurus warisan ayahmu di Kandangan.

Siangnya, beberapa jam setelah kau melihatnya membonceng Intan yang memangku gallon air minum, saat akan masuk ke ruang perkuliahan beberapa menit sebelum jadwal yang ditentukan, kau melihat dia duduk di urutan depan. Dia tampak seperti biasa, tenggelam dalam buku yang dibacanya.

“Masih kosongkan?” kau menyapa sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

“Sari, kau sudah pulang! Kok tidak ngasih kabar. Akukan bisa menjemputmu biar kita bisa berangkat ke kampus bareng.” Dia terlihat surprise saat menyadari keberadaanmu.

“Tadi aku tidak berangkat dari rumah. Dari kota Kandangan aku langsung kesini.”

“Oh, nanti pulangnya barengkan?”

“Ya,” kau berkata sambil memutar punggung untuk duduk dikursi di sebelahnya.

“Eemm, itu kursi untuk Intan. Katanya dia akan terlambat berapa menit.”

Kau tertegun. Entahlah, terasa ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadamu. Sejak kapan dia lebih mementingkan orang lain dari pada dirimu?!

Dia mengedarkan pandangan, kemudian menunjuk salah satu kursi yang masih kosong di lajur kanan. “Di sebelah sana masih kosong.”

Kau berusaha untuk tersenyum. Lalu kau keluarkan sesuatu dari dalam tasmu.

“Di Kandangan aku sempat bertemu Deri. Dia titip salam padamu.”

Sekilas kau melihat wajahnya merona. Dan perasaan yang selama ini berusaha kau sembunyikan kembali terasa. Seperti ada yang menyayat pelan, perih.

“Dia juga titip ini untukmu.” Kau menyerahkan gelang dari bulatan kayu berukir bunga melati yang dititipkan Deri untuknya.

“Bilang ke dia, terima kasih.” Dia berkata sambil mengamati ukiran melati pada gelang itu.

“Bilang saja sendiri!” Katamu ketus. Kau baru menyadari nada suaramu yang kasar saat melihat raut wajahnya yang tampak kaget. “Untuk sementara aku tidak ikut latihan di Klub. Jadi, mungkin aku tidak akan bertemu dengannya dalam waktu dekat.”

“Maksudku, ya… kapan-kapan kalau kalian bertemu.” Dia nampak tidak nyaman. Ah, dia pasti membaca perasaanmu pada Deri. Dia sangat peka dan selalu sensitive, bahkan pada hal-hal yang sering kali luput dari perhatianmu.

Sorenya saat kuliah usai, seperti biasa kalian pulang bersama-sama. Seperti waktu-waktu sebelumnya, ekspresinya tidak berubah saat kau meminta dia yang memboncengmu. Dia menggeleng, menatapmu dengan mata putus asanya dan berkata bahwa lalu lintas membuatnya ngeri, bahwa dia merasa lebih nyaman ada di belakangmu. Dan seperti waktu-waktu sebelumnya kau memenuhi permintaannya. Namun, sepanjang perjalanan, kilasan peristiwa saat dia membonceng Intan yang membawa gallon air minum memenuhi ingatanmu.

Hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya kau mulai seperti tidak mengenalinya. Dia bukan dirinya. Dia berubah!

Biasanya dia hanya akan ikut atau melakukan kegiatan di luar rumah setelah memastikan bahwa kau akan ada bersamanya. Biasanya, setiap perkuliahan akan dimulai dia akan menyediakan 1 kursi kosong di sampingnya untuk kau tempati. Biasanya dia tidak akan pergi ke kampus dan mengendarai sepeda motor sendirian bila kau berhalangan mengikuti perkuliahan. Biasanya dia selalu bersedia menemanimu, menunggumu latihan bela diri di Klub. Dan biasanya setiap ulang tahunmu dia akan mengingat tanggalnya dan memberikan sesuatu sebagai wujud perhatiannya padamu.

Kau tidak tahu apa yang menyebabkan dia berubah. Kau hanya tahu bahwa Intan lah yang menjadi orang yang selalu ingin ditemuinya. Dan yang membuatmu sangat tidak mengerti adalah sikapnya pada intan. Dia mau, bersedia, melakukan hal-hal yang selama ini tak pernah berani dilakukannya ketika bersamamu.

Kau masih ingat pertengkaran yang kian mempertegas jurang diantara kalian bukan? Sore itu di halaman rumahmu saat kau menyerahkan stang sepeda motor dan bersiap-siap akan mengucapkan “Sampai ketemu besok,” dia tiba-tiba memanggil namamu.

“Kau ada mengirim SMS pada Deri?” Dia tampak ragu-ragu bertanya hal itu. Dia pernah mengirim SMS pada Deri dengan menggunakan telpon genggammu. Dan satu bulan kemudian kau juga mengirim SMS pada Deri, tetapi Deri mengira dialah yang menulis SMS itu.

“Ya, ada.”

“Dia mengira aku yang mengirim SMS itu.”

“Dia sempat menanyakan apakah yang mengirim SMS adalah kamu, kujawab bukan.”

Kemarahan tiba-tiba muncul dalam dadamu. Kau merasa tersinggung.

Kemudia pembicaraan itu berlanjut. Kau akhirnya menumpahkan kekesalan yang selama ini kau tahan. Kau mempertanyakan mengapa dia tak pernah mau memboncengmu. Mengapa dia hanya menyediakan kursi kosong saat kuliah untuk Intan, bahwa sikapnya itu sangat menyakitkan hatimu. Kau berterus terang bahwa dia baik sekali bersedia menjemputmu setiap pagi, tapi kau juga sebenarnya sangat kesal tiap kali dia lambat menjemputmu, yang membuat kalian selalu terlambat tiba di kampus. Di sela-sela tumpahan kekesalanmu dia memberikan alasan-alasan yang bukan menenangkanmu, melainkan makin membuatmu ingin menumpahkan kekesalan.

“Sari…,” Akhirnya, saat kau merasa mulai kehabisan kata-kata dan memilih kata yang ingin kau ucapkan, dia menyebut namamu pelan. Dia mendongak menatapmu, tampak ragu dengan apa yang akan dikatakannya.

“Berada di dekatmu membuatku selalu merasa aman. Selama ini setiap ada masalah selalu ada kamu yang akan menyelesaikannya. Saat aku merasa takut, aku tahu kamu pandai bela diri dan akan menjagaku. Saat aku tidak berani mengendarai sepeda motor di jalan raya, ada kamu yang pandai mengendarai sehingga aku dapat duduk tenang di belakangmu. Saat aku gaptek, ada kamu yang pandai mengoprasikan komputer dan mengetik cerpen-cerpenku. Dari dulu, sejak kita SMA kamu mengerti semuanya, semua yang tidak kuketahui, oderdil sepeda motor, kehidupan-kehidupan dan permasalahan orang dewasa, semuanya.” Dia berkata sambil menunduk.

“Tapi, sekarang aku sadar tidak selamanya kamu akan selalu ada untukku. Aku hanya mencari orang lain yang berada di dekatnya aku belajar merasakan eksistensi diriku. Aku merasa bukan apa-apa bila berada di dekatmu.”

Dia menyudahi perkataannya dengan menghembuskan napas pelan. Matanya mengerjap beberapa kali. Kau tahu dia berusaha untuk tidak menangis. Tapi gagal, saat dia akan kembali menunduk kau menangkap kilapan air mata di pipinya. Melihatnya seperti itu, kekesalan di hatimu mulai lenyap.

“Itu hanya perasaanmu. Kau tahu bukan, dari dulu aku merasa seperti dalam terowongan gelap. Aku harus meraba-raba. Tidak ada yang mengatakan ini benar atau itu salah padaku. Kadang aku merasa permasalahanku, tanggung jawabku, tidak seharusnya dibebankan untuk seusiaku. Selama ini cuma ada kamu yang bersedia mengkritikku, mencela atau memuji tindakkanku.”

Ya, selama ini saat kau berusaha bertahan dalam konflik yang melanda keluargamu, hanya dia yang biasanya mengingatkanmu, menegurmu, dan mengungkapkan ketidaksukaannya setiap kali kau melakukan hal-hal yang menurutnya tidak baik. Hanya saja sejak beberapa bulan ini kalian jarang sekali berbicara dari hati ke hati seperti dulu.

Sore itu, di depannya kau dapat menahan untuk tidak menangis. Dan setelah dia pulang kau mengira semuanya akan kembali seperti semula. Bahwa besok-besoknya kalian akan menjadi dua orang teman, sahabat seperti waktu-waktu dulu.

Ternyata, tidak. Dia tetap menjemputmu, memintamu memboncengnya setiap pergi dan pulang kuliah. Akan tetapi, kau tahu sejak sore itu kau kehilangan sosok yang selama ini menjadi temanmu. Dan ini adalah tahun kedua setelah Wisuda kalian. Hampir dua tahun kalian tidak bertemu.

Kau masih menatap ke luar jendela bis. Hujan belum menampakkan tanda-tanda akan reda. Sebentar lagi kau akan tiba di kota Kandangan. Kau memperbaiki posisi dudukmu sambil memejamkan mata. Sekarang kau ingin tidur.

Kau hampir terlelap saat telpon genggammu bergetar. Satu pesan masuk.

Apa kabar? Di Banjarmasin sedang hujan. Aku sekarang berteduh di warung tenda sungai Martapura yang dulu sering kita kunjungi. Aku merindukanmu.

Kau jarang sekali menangis. Menurutmu menangis membuatmu kehilangan kekuatan, lemah. Tapi kali ini, kau membiarkan air matamu jatuh menimpa telpon genggam di tanganmu.

Kau tidak akan menjawab SMS itu. Kau tidak akan menjawab SMS itu sekarang. Kau akan membiarkan Wina menunggu balasan darimu. Karena dengan cara itu kau berharap dia akan memikirkanmu lebih lama.

Ya, besok-besok atau minggu depan kau baru akan membalas SMS itu.

mendadak pada suatu masa

ketika hujan bertaburan

seperti halnya puisi

yang ditebarkan malaikat

di uuudara

bangunkan diri ini dengan cahya (2)

1: Bait puisi dalam musikalisasi puisi “Sahabat” karya anak2 Liberation Youth Bandung

2 : Bait lagu dalam musikalisasi puisi “Sahabat”

Untuk yang pernah sangat dekat: Semoga Allah selalu melimpahkan kebahagian atasmu, selalu.

Oktober-Desember 2008