Sabtu, 21 Mei 2011

Layaknya Seorang Samurai

Sering kali untuk memahami sesuatu secara detil, kita perlu melihatsesuatu itu secara keseluruhan. Namun, kadang-kadang sebaliknya, justru dengan melihat beberapa detil kita dapat mengukur sesuatu secara kesluruhan.
Diceritakan pada sebuah pedepokan  (semacam tempat menuntut ilmu bela diri) di seantero negeri Jepang, terdapat ahli pedang, seorang samurai kawakan. Karena usianya yang telah lanjut, dia mengasingkan diri dalam pedepokannya tersebut.
Walau begitu, sepanjang tahun, dari berbagai penjuru negeri berdatangan pendekar-pendekar ahli pedang, dari yang sudah kawakan maupun yang baru terjun di dunia perpedangan. Bagi mereka yang telah kawakan, pertarungan itu menjadi penentu siapa yang berhak menjadi yang terhebat. Sedangkan bagi mereka yang masih hijau, pertarungan itu menjadi sarana penambah pengalaman sekaligus unjuk eksistensi diri.. Bukankah, salah satu cara terkenal dan mendapat kehormatan serta diakui kehebatan secara 'instan' adalah dengan menantang dan mengalahkan yang sedang tak terkalahkan :)
sayangnya, sebelum menemui sang suhu yang telah menjauhkan diri dari keramaian itu, pendekar-pendekar pedang tersebut harus melewati murid-murid di pedepokan itu. Dari yang sekedar level rendah sampai murid-murid 'atas angin'.
Dan, si samurai itu yang telah bertahun-tahun menghadapi pergulatan fisik diantara kelebatan pedang dan juga perenungan akan makna kehidupan, tak terkecuali dari pendekar-pendekar pedang yang ingin unjuk kekuatan di hadapan sang suhu  kawakan. Pengintaian, pertarungan telah dia lewati untuk sampai pada sang suhu. Tetapi, dia belum bisa berhadapan dengannya. Akhir dia menemukan cara untuk unjuk kemampuan di hadapan sang suhu.
Di keluarkan pedangnya, dan disabetkannya pada serumpun rerumputan yang ada di dekatnya. Di genggamnya batang tanaman itu, dan diberikan pada murid sang suhu. Dia meminta batang-batang tersebut di serahkan pada sang suhu.
Sang murid bingung, tetapi memenuhi permintaan si samurai. Dibawanya segenggam batang rerumputan itu pada gurunya. Setelah mendengar cerita dari muridnya, sang suhu melihat batang-batang dalam genggaman sang murid, kemudian tersenyum.
Sang murid merasa penasaran dan menanyakan apa maksud si samurai mengirimkan batang-batang rumput tersebut. Sang suhu menjelaskan bahwa, untuk melihat kehebatan dan kelihaian seorang ahli pedang dapat  diketahui dengan cara melihat hasil sabetan pedangnya. Ternyata, tingkat kekuatan dan kecepatan si samurai terlihat dari hasil potongannya yang rata.
Si samurai memang cerdas!
Di lain ketika, si samurai berada pada kondisi genting. Darah mudanya dan naluri menunjukkan eksistensi dirinya di masa lampau, telah menghasilkan musuh-musuh dari berbagai perguruan ilmu bela diri. Suatu ketika dia harus berhadapan dengan ratusan atau bahkan ribuan, lupa ;) ), murid-murid sebuah perguruan yang ingin menuntut balas atas kematian pemimpin mereka.
Seorang diri menghadapi musuh yang kedatangannya seperti gelombang itu, si samurai berada pada posisi dilematis. Untuk mengalahkan sebuah pasukan, kunci utamanya terletak pada terbunuhnya sang panglima atau pemimpin perang. Masalahnya adalah yang memegang panji kepemimpinan dalam penyerangan itu adalah seorang anak kecil. Mereka sengaja menggunakan anak kecil itu sebagai tameng.
Membunuh ratusan bahkan ribuan penyerangan adalah mustahil bagi si samurai, akhirnya keputusan itu pun diambilnya. Kematian sang pemegang panji adalah kunci kemenangn baginya.
Si samurai yang cerdas, berpikir cepat dan cemerlang! He is Musashi....
Kesimpulannya, ratusan bahkan ribuan  masalah  yang datang, kunci menyelesaikannya ternyata hanya pada menyelesaikan  satu masalah utamanya saja.

Selasa, 17 Mei 2011

Puisi Air

Sejak lama saya menyukai puisi. Terutama puisi yang diksinya menekankan pada makna-makna. Kata-kata biasa, yang sederhana, terkadang lebih jujur mengungkapkan sebuah makna.
Terus terang saja, puisi-puisi pada kompas Minggu adalah puisi-puisi yang terlihat modern bentuknya, menggunakan kata-kata 'canggih' dan metafor-metafor yang bertaburan disana-sini, tetapi saya hanya dapat mengerutkan kening membacanya. Perasaan saya kering. Mungkin karena selera saja. Memang saya menyukai gaya kepenyairan  seperti Toto Sudarto Bachtiar dengan diksi-diksinya yang sederhana. Akan tetapi, puisi-puisi seperti itu,  hampir selalu membuah hati basah. Basah oleh kesejukan, seperti suasana setelah guyuran hujan, basah oleh kesedihan, kemarahan, keharuan. Ya, puisi laksana air, meresap, menguasai hati dan benak pembacanya.
Dan puisi yang beberapa menit lalu saya temukan di blog Fahmi Amhar ( penulis buku dan ustadz yang sejak mahasiswa dulu sering saya temukan tulisan ilmiahnya pada majalah Al Waie) dan saya kutip di bawah ini, menurut saya adalah salah satu puisi air seperti yang saya ceritakan di atas :)  


Nov 24, '06 2:58 AM
for everyone
......
Aku berdoa untuk seorang pria, yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seorang pria yang sungguh mencintai-Mu lebih dari segala sesuatu.

Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk-Mu.

Seorang pria yang mempunyai hati sungguh mencintai dan haus akan Engkau
dan memiliki keinginan untuk mentauladani sifat-sifat Agung-Mu.

Seorang pria yang mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
seorang pria yang mempunyai hati yang bijak bukan hanya sekedar otak yang cerdas.

Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormatiku
seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi dapat juga menasehati ketika aku berbuat salah
seorang pria yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tetapi karena hatiku.

Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam tiap waktu dan situasi
seorang pria yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika di sebelahnya.

Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
seorang pria yang membutuhkan do'aku untuk kehidupannya
seorang pria yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya
seorang pria yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.

Dan aku juga meminta .

Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang dapat membuat seorang pria itu bangga
berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintai-Mu, sehingga aku dapat mencintainya
dengan cinta-Mu, bukan mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat-Mu yang lembut sehingga kecantikanku datang dari-Mu bukan dari luar diriku
Berikan aku tangan-Mu sehingga aku selalu berdoa untuknya.

Berikanlah aku penglihatan-Mu sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya dan bukan hal buruk saja
Berikanlah aku mulut-Mu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaan-Mu dan pemberi semangat,
sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari, dan aku dapat tersenyum padanya setiap pagi.

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan
"Betapa besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku
seorang yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna".

Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu pada waktu yang tepat
dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan.

Amien.

Sabtu, 14 Mei 2011

Hari-Hari Bahagia di Bullerbyn



Beberapa waktu lalu bersama seorang teman aku mengunjungi Gramedia di Peteran. Disana sedang ada obral buku. Buku-buku yang dulu kubeli harganya 50 ribuan, dijual 10 ribuan saja.
Kami membeli beberapa buku dan bersepakat sama-sama membeli novel terjemahan anak-anak, judulnya Hari-Hari Bahagia di Bullerbyn. Buku bersampul merah dan dihiasi gambar beberapa orang anak duduk di atas pagar dengan ekspresi wajah bahagia.
Buku ini bercerita tentang tokoh utama bernama Lisa,  2 kakak laki-lakinya dan 2 anak perempuan kakak beradik, serta seorang anak laki-laki tetangga yang juga sebaya dengannya.  Mereka berteman dan menjalani hari-hari bersama.
Ada banyak buku yang bercerita tentang masa kecil, dunia anak, keceriaan dan keluguan mereka. Akan tetapi, sedikit yang benar-benar berhasil menghadirkan potongan-potongan cerita yang jujur. Jujur ketika menceritakan perasaan, pemikiran, dan kondisi hidup mereka. Astrid Lindgren, penulis buku ini adalah satu diantara yang sedikit itu.
Dalam buku ini, menggunakan sudut pandang orang pertama, Lindgren jujur mengungkapkan perasaan anak seumur Lisa dengan menceritakan perasaan kesal Lisa saat sedang asik berbamain dengan teman-teman barunya dalam sebuah undangan pesta keluarga (semacam syukuran) dipanggil untuk acara makan-makan.
Kami benar-benar bosan dengan semua makanan itu, karena baru saja kami turun bermain, Bibi Jenny    menyuruh kami turun untuk makan lagi. Kelihatannya orang-orang tua itu tak ada pekerjaan lain selain makan, apabila mereka diundang pesta
Pikiran anak seusia mereka dengan lucu diungkapkan Lindgren, yaitu saat Lisa menceritakan percakapan yang didengarnya antara kedua kakaknya, Lasse dan Bosse  setelah mengunjungi adik Olle, tetangga mereka yang baru lahir,
"Kasihan benar Olle! Masa punya adik sejelek itu! Lisa juga tidak cantik, tapi diakan kelihatan lumrah seperti manusia. Coba bayangkan kalau adik Olle itu mulai sekolah, pasti Olle malu karenanya. Soalnya merekakan belum pernah melihat cewek sejelek itu di sekolah kita."  
Lindgren  menceritakan  secara jujur tingkat pemikiran anak seusia Lasse yang baru pertama kali melihat kulit bayi yang baru lahir dan mengira bentuk kulit bayi tersebut tidak akan berubah sempai dewasa. Dan di bagian berikutnya Lindgren kemudian menceritakan bagai mana Lasse kaget saat melihat adik Olle seminggu kemudian memiliki kulit normal dan mengira dia mendapat adik baru karena bayi tersebut tampak lebih cantik.
Sayangnya, buku ini bernuansa kental kehidupan sebuah keluarga nonmuslim. Untuk pembaca dewasa yang memiliki pemikiran yang telah'jadi', buku ini dapat dibaca sebagai bacaan ringan yang menyegarkan. Sambil bernostalgia ke masa-masa kanak-kanak yang lugu dan indah. Akan tetapi, untuk anak-anak SD atau SMP buku-buku semacam ini perlu dipertimbangkan lagi. Perayaan keagamaan yang tidak sesuai dengan akidah Islam yang terdapat pada beberapa bab, yang mengandung nuansa hadarah (kebudayaan) yang kental ditakutkan akan mempengaruhi perasaan anak-anak muslim yang masih labil.

Selasa, 10 Mei 2011

Setelah Musim









 Foto ini mengingatkan saya terjemahan Qur'an surah Al-A'la 1-5

(1) Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,


(2) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),


(3) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,
 

(4) dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,
 

(5) lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.

Jumat, 06 Mei 2011

Airterjun Mandin Rantau Bujur



Ini kedua kalinya aku mengunjungi Mandin. Yang pertama lebih kurang setahun lalu bareng Amali ketika liburan semester 2010. Kemarin aku kesana bareng Ibu Arbainah dan Ibu Fitri bersama-sama anak kelas 7 dan 8. Awalnya aku hanya bercanda, tapi anak-anak kelas 8 menanggapi dengan serius dan bersemangat. Aku tidak tega mengecewakan mereka.  Akhirnya sebagai bahan materi membuat laporan perjalanan dan karangan deskripsi aku membuat kesepakatan tanggal 5 Mei 2011 sebagai hari piknik ke Mandin.
Sebenarnya bagi mereka, pergi ke Mandin bukan hal langka. ada diantara mereka bahkan hampir tiap minggu kesana karena ladang orang tua mereka ada di dekat situ atau bahkan melewatinya. Pernah aku menyuruh mereka saja yang berangkat dengan berombongan, namun kata mereka keikut sertaan kami guru-guru lah yang menyebabkan momen kesana jadi berbeda.
Berangkat sekitar pukul 08.30 Wita, melewati jalan pegunungan yang lumayan curam, hutan karet berlumpur, kami tiba di mandin hampir pukul 10.00 Wita. Setibanya di sana masing-masing menceburkan diri di dinginnya mandin, berenang dan menyelam. Atau sekedar duduk di atas batunya yang dingin. Kemudian  memasak mie di pinggir sungai setelah berjuang cukup lama menyalakan api dari bilah bambu kering. Makan bergantian karena hanya membawa 5 piring.
Mendekati tengah hari kami pun pulang. Matahari bersinar terik. Ternyata setelah kelelahan berjalan dan kepanasan dilanjutkan dengan berendam di air dingin dan sejuk, kemudian berjalan lagi di bawah terik matahari hingga kelelahan yang tersisa adalah flu dan demam :)