Jumat, 14 September 2012

my son

Ramadhan,  tahun kemarin berdoa supaya Allah memberi keberkahan Ramadhan sebagai awal mengandung seorang putra, tapi harapan tersebut  berlalu....ternyata Allah menjawab doa tersebut dengan kelahiran seorang putra pada Ramadhan berikutnya. Bertepatan tanggal 27 Ramadhan 1333 H atau 15 Agustus 2012 lahir putra pertamaku.... semoga apa yang dicita-citakan padanya sedari awal terwujud. Amin

Nafis umur 2 hari

Sabtu, 12 Mei 2012

Tentang Buku, Seorang Teman, dan Dekonstruksi

Lama banget gak bikin tulisan..., tapi si silmi kemarin ngasih file tulisanku bahari kala, yang dimuat di Radar Banjarmasin Minggu, 25 Desember 2005 atas nama Rain Fajar. kuposting disini saja sebagai kenang-kenangan....



Tentang Buku, Seorang Teman dan Dekonstruksi
oleh:  Rain Fajar
Tiga kali sudah tulisan saya dimuat pada Radar Banjarmasin rubrik Cakrawala. Tiga kali pula tulisan saya mendapat tanggapan. Dari tanggapan tersebut, saya menemukan kelemahan-kelemahan dalam tulisan saya. Saya belajar banyak.
                Kali ini tulisan saya tidak akan mengkritik siapa-siapa (setidaknya ini niat awal saya). Di sini saya hanya ingin berbagi cerita tentang kecintaan saya pada buku dan seorang teman yang kehadirannya memberi pengaruh besar dalam hidup saya.
                Dari dulu saya mencintai buku, tentunya buku: Sastra. Sejak SD hingga SMU rasanya tidak ada buku-buku sastra di perpustakaan sekolah yang tersembunyi dari pengawasan saya. Semuanya saya baca (agak hiperbol neh!).
                Walau begitu tergila-gila dengan buku-buku sastra, buku teks pemikiran saya malah sebaliknya. Apalagi tentang politik, ideologi! Dulu, saya tidak suka konflik, istilah-istilah pelik, riuh manusia, problematika umat. Saya suka terpaan angin, guyuran hujan, sinar matahari, pepohonan rindang, ikan-ikan di kolam, semua yang tanpa konflik.
                Sampai suatu ketika, semester satu, janji yang saya buat pada seseorang di perpustakaan universitas, mendamparkan saya sejenak ke kamar persegi kost-an teman ’sekelas’ saya. Rak-rak yang penuh buku adalah awal cinta pertama saya pada kamar persegi itu.
                Untuk selanjutnya, setiap dosen terlambat masuk atau tidak masuk sama sekali, saya selalu mengunjungi kamar persegi itu. Membaca buku-buku sastra: fiksi islami yang sayangnya jumlahnya hanya sepersepuluh dari keseluruhan buku-buku itu. Selebihnya buku–buku teks pemikiran Islam; tentang: akidah, syariah, politik dan ideologi Islam, sirah, hakekat berfikir, dll.
                Teman saya itu (yang empunya kamar) selanjutnya menjadi teman diskusi saya. Kalau saya begitu mencintai buku sastra dan anti terhadap buku-buku teks pemikiran, dia malah sebaliknya.
                Dua tahun awal pertemanan kami selalu ada beberapa buku teks baru menjadi penghuni kamar persegi itu. Dengan mata berbinar-binar, teman saya itu selalu menceritakan pemikiran-pemikiran dalam buku baru itu (sikap dan ekspresi yang sama  persis saat saya sedang memegang buku sastra). Sikap dan ekspresi wajahnya lama-kelamaan seperti menghipnotis saya. Saya pun kemudian menggandrungi buku-buku semacam itu.      
                Agar terasa ’adil’ dan diskusi kami bisa menjangkau banyak aspek, saya pun merekomendasikan buku-buku sastra (yang saya pinjam dari teman lain) untuk dia baca. Bukan fiksi islami, tapi buku karya pengarang wanita yang sedang ’hangat’ dibicarakan karena kevulgarannya. Sayangnya, dia terlalu kaget membaca karya-karya semacam itu. Setelah pusing, mual, ia pun muntah. Ia lalu mengeluarkan komentarnya, bahwa penerbitan buku-buku semacam itu lebih pas disebut sebagai era kebangkitan ’sastra bau’.
                Sesungguhnyalah, selain sebagai teman, dia sekaligus guru dan adik bagi saya.
                Sebagai teman, dia adalah orang yang mengerti saya, seseorang yang mampu merobohkan benteng angkuh yang sejak lama saya bangun di sekeliling saya (jadi ingat lagu Padi: Angkuh). Ketika mengetahui saya suka lagu-lagu Scorpion, tanpa memberi tahu terlebih dahulu dia menyengaja membeli MP3-nya, menginstal lagu-lagu itu (padahal dia suka lagu nasyid). Sehingga setiap kali saya mengunjungi kamar perseginya, untuk membaca buku, lagu-lagu itu ia perdengarkan untuk saya. Begitu pula ketika saya masih suka menenangkan diri dengan When The Blind Man Cry-nya Deep Purple, dia memperdengarkannya untuk saya. Ia selalu bersedia bersama-sama saya mengerjakan tugas (yang kadang terlambat dikumpul), menemani makan di kantin, bahkan kadang-kadang saya ‘paksa’ bolos ketika perkuliahan yang membosankan. Dia bersedia mendengarkan cerita-cerita saya, tentang buku-buku yang saya suka, tentang lagu-lagu favorit dan amper tua saya, tentang keputusasaan saya, tentang semangat saya. Dia ada.
                Sebagai guru, dia adalah tempat bertanya berbagai hal; keimanan, kebenaran, dll. Pertimbangan-pertimbangannya, kerasionalannya membuat saya kagum. Pernah suatu ketika setelah membaca cerpen tentang seekor ayam sakit-sakitan yang dikeroyok sampai mati oleh ayam-ayam lain yang sehat, tapi sedang kehausan. Cerpen itu agak lama membekas. Saya ceritakan isi cerpen itu lalu saya bertanya padanya, “Seandainya cerpen itu ada realitasnya, adakah keadilan Tuhan bagi ayam itu. Kalau ada dalam wujud apa?” Mendengar pertanyaan saya itu,dia hanya tersenyum dan berkata bahwa ada banyak hal yang dapat dipikirkan dan memang harus untuk dipikirkan, yaitu masalah umat yang bejibun banyaknya yang mendesak untuk diperjuangkan solusinya yaitu berdirinya Khilafah Islam. Dia kemudian menyibukkan saya dengan kajian,  diskusi, seminar, tabligh akbar, yang membahas fakta-fakta real ketertindasan umat Islam saat ini. Dia adalah insfirasi untuk menjadi baik.
Sebagai adik, dia pernah membuat saya merasa begitu kehilangan karena dalam mimpi, di hadapan saya, dia tiba-tiba menghilang, lenyap! Seseorang pada waktu tertentu dengan rona ceria menceritakan koleksi game barunya, yang sesekali mengajak saya bermain sega diwaktu luang.   
                Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, “mengapa cerita beginian di tuls di sini?” Setidaknya saya punya dua alasan.
Pertama, Saya ingin membingkainya di sini sebagai jejak yang kelak dapat saya buktikan keberadaannya. Sekaligus berbagi cerita pada pembaca lain yang mungkin memiliki keadaan atau kecintaan pada seorang teman: seperti saya.
Kedua, Karena saya tahu, dia hampir setiap hari minggu mengintip halaman Cakrawala ini melihat kalau-kalau tulisan saya dimuat. Pernah beberapa kali dia berusaha menelpon saya hanya untuk memberitahukan bahwa ada komentar ’tajam’ yang ditujukan untuk tulisan saya. Dengan bersemangat dia berkata bahwa saya harus membuat komentar balik.  
                Selama ini, hampir setiap kali selesai menulis tulisan yang ingin saya publikasikan dia adalah editor pertama dan kadang merangkap sukarelawan juru ketik.
Dua minggu lalu, tepatnya hari Kamis. Saya dan dia bersepakat ke Gramedia membeli buku yang mungkin bisa kami jadikan bahan skripsi. Di sana saya membeli dua buku. Salah satunya karangan Christoper Norris:Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida. Sebelum berpisah, di tempat parkir  saya berjanji akan menceritakan isi buku itu padanya.
                Dua hari berikutnya sebelum perkuliahan dimulai saya menepati janji, menceritakan isi buku itu. Saya sampaikan bahwa dekonstruksi adalah sebuah tindakan dari subjek terhadap objek yang tersusun dari berbagai unsur. Yang pada awalnya merupakan cara atau metode untuk membaca teks. Bahwa dekonstruksi ‘biasanya’ ingin menelanjangi tekstualitas laten dalam sebuah teks yang bertujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolute. Saya sampaikan lagi padanya, bahwa pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidak utuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Bahwa teks tidak dipandang sebagai tatanan makna utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya permainan antara penataan dengan chaos,  antara perdamaian dengan peperangan, antara akur dengan cek cok. Bahwa yang terjadi kemudian hanyalah semacam pendewasaan diri.
                Mendengar uraian saya, dia pun mengangguk beberapa kali sambil ber “ooh”. Seperti biasa kami berdiskusi. Tiba-tiba ia bertanya pada saya. ”Bagaimana dengan teks al Quran dan hadits dengan derajat mutawatir (baik sumber maupun maknanya) yang dapat dipastikan kebenarannya? Bagaimana dengan masalah akidah yang menuntut pembenaran secara pasti, tunggal tanpa keraguan sedikitpun?” Dia mengusulkan supaya saya menulis artikel tentang itu. Saya menyanggupi. Diskusi kami berlanjut untuk memilih judul apa yang akan kami pilih.
                ” Sejak awal, ketika seorang mengikrarkan diri dengan syahadat sebagai muslim, ia akan mengakui keberadaan dan keesaan Allah serta kerasulan Muhammad. Itu merupakan kebenaran absolut. Iya kan? Selain itu Wahyu berupa al Quran yang merupakan pertanda kerasulan Muhammad adalah teks yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Kalau begitu emm.., Mari Kita Bunuh Dekonstruksi dengan Kalimat Suci, Gimana?”Kata saya.
                Dia mengangguk setuju. Matanya berbinar, dia tersenyum. Sosok di depan saya saat itu, adalah orang pertama yang saya dengar keritikannya, untuk saya tanpa bangkitnya amarah.Yang menyemangati saya, memberikan motivasi ketika saya tak ingin apa-apa.    
                Ah, rupanya saya harus mencari referensi lebih banyak lagi, menyusun argumen-argumen, supaya teori yang  saya rangkum dari pemikir-pemikir favorit saya akan lebih kuat. Membunuh dekonstruksi dengan akidah Islam hanya akan berlaku bagi penganutnya, tidak bagi yang tidak mengakuinya. Jadi untuk membunuh dekonstruksi,  hanya perlu argumen yang  memuaskan akal alias dalil aqli. Pufhh... Kapan selesainya ya?         
                                                Kado untuk yang kemarin genap  20 tahun