Nafis menemani ummi makan...
May Allah make our imaan stronger, our hearts pure with Your love and our mind knowledged in Your deen
Senin, 24 Desember 2012
Jumat, 14 September 2012
my son
Ramadhan, tahun kemarin berdoa supaya Allah memberi keberkahan Ramadhan sebagai awal mengandung seorang putra, tapi harapan tersebut berlalu....ternyata Allah menjawab doa tersebut dengan kelahiran seorang putra pada Ramadhan berikutnya. Bertepatan tanggal 27 Ramadhan 1333 H atau 15 Agustus 2012 lahir putra pertamaku.... semoga apa yang dicita-citakan padanya sedari awal terwujud. Amin
Nafis umur 2 hari
Nafis umur 2 hari
Sabtu, 12 Mei 2012
Tentang Buku, Seorang Teman, dan Dekonstruksi
Lama banget gak bikin tulisan..., tapi si silmi kemarin ngasih file tulisanku bahari kala, yang dimuat di Radar Banjarmasin Minggu, 25 Desember 2005 atas nama Rain Fajar. kuposting disini saja sebagai kenang-kenangan....
Tentang Buku, Seorang Teman dan
Dekonstruksi
oleh: Rain Fajar
Tiga kali sudah tulisan saya dimuat pada Radar
Banjarmasin rubrik Cakrawala. Tiga kali pula tulisan saya mendapat tanggapan.
Dari tanggapan tersebut, saya menemukan kelemahan-kelemahan dalam tulisan saya.
Saya belajar banyak.
Kali ini tulisan saya tidak akan
mengkritik siapa-siapa (setidaknya ini niat awal saya). Di sini saya hanya
ingin berbagi cerita tentang kecintaan saya pada buku dan seorang teman yang
kehadirannya memberi pengaruh besar dalam hidup saya.
Dari dulu saya
mencintai buku, tentunya buku: Sastra. Sejak SD hingga SMU rasanya tidak ada
buku-buku sastra di perpustakaan sekolah yang tersembunyi dari pengawasan saya.
Semuanya saya baca (agak hiperbol neh!).
Walau begitu
tergila-gila dengan buku-buku sastra, buku teks pemikiran saya malah
sebaliknya. Apalagi tentang politik, ideologi! Dulu, saya tidak suka konflik,
istilah-istilah pelik, riuh manusia, problematika umat. Saya suka terpaan
angin, guyuran hujan, sinar matahari, pepohonan rindang, ikan-ikan di kolam,
semua yang tanpa konflik.
Sampai suatu ketika, semester satu, janji
yang saya buat pada seseorang di perpustakaan universitas, mendamparkan saya
sejenak ke kamar persegi kost-an teman ’sekelas’ saya. Rak-rak yang penuh buku
adalah awal cinta pertama saya pada kamar persegi itu.
Untuk selanjutnya,
setiap dosen terlambat masuk atau tidak masuk sama sekali, saya selalu
mengunjungi kamar persegi itu. Membaca buku-buku sastra: fiksi islami yang
sayangnya jumlahnya hanya sepersepuluh dari keseluruhan buku-buku itu. Selebihnya
buku–buku teks pemikiran Islam; tentang: akidah, syariah, politik dan ideologi
Islam, sirah, hakekat berfikir, dll.
Teman saya itu (yang empunya
kamar) selanjutnya menjadi teman diskusi saya. Kalau saya begitu mencintai buku
sastra dan anti terhadap buku-buku teks pemikiran, dia malah sebaliknya.
Dua tahun awal
pertemanan kami selalu ada beberapa buku teks baru menjadi penghuni kamar
persegi itu. Dengan mata berbinar-binar, teman saya itu selalu menceritakan
pemikiran-pemikiran dalam buku baru itu (sikap dan ekspresi yang sama persis saat saya sedang memegang buku
sastra). Sikap dan ekspresi wajahnya lama-kelamaan seperti menghipnotis saya.
Saya pun kemudian menggandrungi buku-buku semacam itu.
Agar terasa ’adil’ dan diskusi kami bisa
menjangkau banyak aspek, saya pun merekomendasikan buku-buku sastra (yang saya
pinjam dari teman lain) untuk dia baca. Bukan fiksi islami, tapi buku karya
pengarang wanita yang sedang ’hangat’ dibicarakan karena kevulgarannya.
Sayangnya, dia terlalu kaget membaca karya-karya semacam itu. Setelah pusing,
mual, ia pun muntah. Ia lalu mengeluarkan komentarnya, bahwa penerbitan
buku-buku semacam itu lebih pas disebut sebagai era kebangkitan ’sastra bau’.
Sesungguhnyalah,
selain sebagai teman, dia sekaligus guru dan adik bagi saya.
Sebagai teman, dia
adalah orang yang mengerti saya, seseorang yang mampu merobohkan benteng angkuh
yang sejak lama saya bangun di sekeliling saya (jadi ingat lagu Padi: Angkuh).
Ketika mengetahui saya suka lagu-lagu Scorpion, tanpa memberi tahu terlebih
dahulu dia menyengaja membeli MP3-nya, menginstal lagu-lagu itu (padahal dia
suka lagu nasyid). Sehingga setiap kali saya mengunjungi kamar perseginya,
untuk membaca buku, lagu-lagu itu ia perdengarkan untuk saya. Begitu pula ketika saya masih suka menenangkan diri dengan When The
Blind Man Cry-nya Deep Purple, dia memperdengarkannya untuk saya. Ia selalu
bersedia bersama-sama saya mengerjakan tugas (yang kadang terlambat dikumpul), menemani
makan di kantin, bahkan kadang-kadang saya ‘paksa’ bolos ketika perkuliahan
yang membosankan. Dia bersedia mendengarkan cerita-cerita saya, tentang
buku-buku yang saya suka, tentang lagu-lagu favorit dan amper
tua saya, tentang keputusasaan saya, tentang semangat saya. Dia ada.
Sebagai guru, dia adalah tempat
bertanya berbagai hal; keimanan, kebenaran, dll. Pertimbangan-pertimbangannya,
kerasionalannya membuat saya kagum. Pernah suatu ketika setelah membaca cerpen
tentang seekor ayam sakit-sakitan yang dikeroyok sampai mati oleh ayam-ayam
lain yang sehat, tapi sedang kehausan. Cerpen itu agak lama membekas. Saya
ceritakan isi cerpen itu lalu saya bertanya padanya, “Seandainya cerpen itu ada
realitasnya, adakah keadilan Tuhan bagi ayam itu. Kalau ada dalam wujud apa?”
Mendengar pertanyaan saya itu,dia hanya tersenyum dan berkata bahwa ada banyak
hal yang dapat dipikirkan dan memang harus untuk dipikirkan, yaitu masalah umat
yang bejibun banyaknya yang mendesak untuk diperjuangkan solusinya yaitu
berdirinya Khilafah Islam. Dia kemudian menyibukkan saya dengan kajian, diskusi, seminar, tabligh akbar, yang membahas
fakta-fakta real ketertindasan umat Islam saat ini. Dia adalah insfirasi untuk
menjadi baik.
Sebagai
adik, dia pernah membuat saya merasa begitu kehilangan karena dalam mimpi, di
hadapan saya, dia tiba-tiba menghilang, lenyap! Seseorang pada waktu tertentu
dengan rona ceria menceritakan koleksi game barunya, yang sesekali mengajak
saya bermain sega diwaktu luang.
Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, “mengapa cerita beginian
di tuls di sini?” Setidaknya saya punya dua alasan.
Pertama, Saya ingin membingkainya di sini sebagai jejak yang kelak dapat saya
buktikan keberadaannya. Sekaligus
berbagi cerita pada pembaca lain yang mungkin memiliki keadaan atau kecintaan
pada seorang teman: seperti saya.
Kedua, Karena saya tahu, dia hampir setiap hari minggu mengintip halaman Cakrawala
ini melihat kalau-kalau tulisan saya dimuat. Pernah beberapa kali dia berusaha
menelpon saya hanya untuk memberitahukan bahwa ada komentar ’tajam’ yang
ditujukan untuk tulisan saya. Dengan bersemangat dia
berkata bahwa saya harus membuat komentar balik.
Selama ini, hampir setiap kali selesai menulis tulisan yang ingin saya
publikasikan dia adalah editor pertama dan kadang merangkap sukarelawan juru
ketik.
Dua minggu lalu, tepatnya hari Kamis. Saya dan dia
bersepakat ke Gramedia membeli buku yang mungkin bisa kami jadikan bahan
skripsi. Di sana saya membeli dua buku. Salah satunya
karangan Christoper Norris:Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida. Sebelum berpisah, di tempat parkir saya berjanji akan menceritakan isi buku itu
padanya.
Dua hari berikutnya sebelum perkuliahan
dimulai saya menepati janji, menceritakan isi buku itu. Saya sampaikan bahwa
dekonstruksi adalah sebuah tindakan dari subjek terhadap objek yang tersusun
dari berbagai unsur. Yang pada awalnya merupakan cara atau
metode untuk membaca teks. Bahwa dekonstruksi ‘biasanya’ ingin menelanjangi
tekstualitas laten dalam sebuah teks yang bertujuan untuk menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolute. Saya sampaikan lagi
padanya, bahwa pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidak utuhan atau
kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
Bahwa teks tidak dipandang sebagai tatanan makna utuh, melainkan arena
pergulatan yang terbuka, atau tepatnya permainan antara penataan dengan
chaos, antara perdamaian dengan
peperangan, antara akur dengan cek cok. Bahwa yang terjadi
kemudian hanyalah semacam pendewasaan diri.
Mendengar uraian saya, dia pun
mengangguk beberapa kali sambil ber “ooh”. Seperti biasa kami berdiskusi. Tiba-tiba ia
bertanya pada saya. ”Bagaimana dengan teks al Quran dan hadits dengan derajat
mutawatir (baik sumber maupun maknanya) yang dapat dipastikan kebenarannya? Bagaimana dengan masalah akidah
yang menuntut pembenaran secara pasti, tunggal tanpa keraguan sedikitpun?” Dia
mengusulkan supaya saya menulis artikel tentang itu. Saya menyanggupi. Diskusi
kami berlanjut untuk memilih judul apa yang akan kami pilih.
” Sejak awal, ketika
seorang mengikrarkan diri dengan syahadat sebagai muslim, ia akan mengakui
keberadaan dan keesaan Allah serta kerasulan Muhammad. Itu merupakan kebenaran
absolut. Iya kan? Selain itu Wahyu berupa al Quran yang merupakan pertanda
kerasulan Muhammad adalah teks yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.
Kalau begitu emm.., Mari Kita Bunuh Dekonstruksi dengan Kalimat Suci,
Gimana?”Kata saya.
Dia mengangguk setuju.
Matanya berbinar, dia tersenyum. Sosok di depan saya saat itu, adalah orang
pertama yang saya dengar keritikannya, untuk saya tanpa bangkitnya amarah.Yang
menyemangati saya, memberikan motivasi ketika saya tak ingin apa-apa.
Ah, rupanya saya harus
mencari referensi lebih banyak lagi, menyusun argumen-argumen, supaya teori
yang saya rangkum dari pemikir-pemikir
favorit saya akan lebih kuat. Membunuh dekonstruksi dengan akidah Islam hanya
akan berlaku bagi penganutnya, tidak bagi yang tidak mengakuinya. Jadi untuk
membunuh dekonstruksi, hanya perlu
argumen yang memuaskan akal alias dalil
aqli. Pufhh... Kapan selesainya ya?
Kado untuk yang
kemarin genap 20 tahun
Langganan:
Postingan (Atom)