Kamis, 23 April 2009

Cerpen: Franz dan Copu

Franz dan Copu
Oleh: Rismiyana
(cerpen ini sebenarnya sudah aku edit, dan jadi lebih singkat. Endingnya juga berubah. Fokus cerita hanya pada Franz, tapi pas tadi mau aku kirim eh, plashdishnya gak bisa dibuka. sudah deh, aku letakin aja cerpen persi lamanya kesini)
Saat aku memasuki halaman gedung, waktu tepat menunjukkan pukul 08.55 Wita. Beberapa karyawan terlihat sibuk memindahkan kardus-kardus dari dalam gudang ke atas mobil pick up. Sedan merah yang biasa digunakan Mama Franz masih terparkir di garasi, sedang di panaskan. Perlahan kunaiki tangga gedung. Pada belokan kedua aku melepas sepatuku.
“Silakan masuk Bu.” Nenek Franz yang pertama kali menyadari kedatanganku menyambutku hangat sambil tersenyum. Kemudian seperti biasa dia meneriakan nama cucunya. “ Franz! Ini ibu gurunya sudah datang. Ayo belajar!”
Mama Franz yang telah siap dengan tas kerjanya juga melihat kedatanganku. Wanita bersuara lembut itu, seperti biasa menyambutku dengan senyumnya. “Oh, Ibu sudah datang. Frans, ibunya sudah datang.”
“Mbak Mina mana? Mbak Mina!” terdengar teriakan Franz dari dalam kamar.
“Mina, Mina! Kamu temani Franz belajar dulu. Biar nanti Sita yang mengurusi urusan dapur.” Nenek Franz segera memanggil Mbak Mina, pembantu yang bertugas mengasuh Franz.
“Mari Bu, saya pergi dulu.” Pamit mama Franz.
“Ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
Setelah dibujuk-bujuk dan dipenuhi semua permintaannya oleh Mbak Mina, Franz kini siap belajar. Pagi ini dia memakai t-shirt dan celana kuning yang senada dengan warna kulitnya.
Franz masih duduk di TK nol kecil atau TK A. Umurnya 5 tahun. Neneknya menargetkan sebelum masuk SD dia telah lancar membaca. Maka saat membaca iklan baris di surat kabar yang memuat bimbel tempatku bernaung dia segera menghubungi dan meminta sisa 2 minggu libur semester ini cucunya diberi les membaca selama 1 jam setiap pagi.
Franz sangat sensitif dan pemalu. Selama hampir 2 minggu ini dia tidak pernah berbicara langsung padaku. Setiap menginginkan sesuatu dia akan berbisik pada Mbak Mina, dan Mbak Minalah yang akan mengutarakan bisikannya itu padaku. Selain itu, setiap kali ditegur atau dimarahi Mbak Mina yang memintanya untuk konsen pada bacaan, dia akan merajuk menutup mukanya atau tidur menelungkup. Semua itu baru akan berakhir bila Mbak Mina berulang-ulang minta maaf dan membujuk-bujuknya. Mbak Mina yang tamat SD dan baru memasuki usia 20 tahun itu, tidak diragukan lagi tampak sangat menyayangi Franz.
Franz mengalami kemajuan yang mengembirakan. Dalam rentang 3 bulan ke depan dia kutargetkan mampu lancar membaca dan dikte. Dalam 2 minggu ini kutargetkan dia mampu membaca dan dikte suku kata sederhana, yaitu suku kata tanpa huruf mati atau konsonan di ujung kata. Dan kini dia telah lancar membaca kata seperti itu. Bahkan sejak beberapa hari lalu aku mulai mengajarinya membaca kata yang terdiri atas huruf mati di ujung. Dan hari ini setelah memintanya membaca pelajaran yang kuberi hari sebelumnya, aku mulai menulis kata-kata yang berakhiran konsonan ‘t’.
“Coba baca.” Aku menuliskan suku kata ‘ta ma’ dan ‘se mu’ kemudian meminta Franz membacanya.
“Ta ma, se mu” bacanya lancar.
Aku kemudian menulis ‘ta mat, se mut’ dan meminta Franz membacanya lagi.
“Ta ma..” dia mendongak, menatapku. Tampak sekali kalau dia bingung dengan kehadiran huruf ‘t’ pada suku kata yang dibacanya. Poninya yang agak panjang dan menutupi alis kanan hampir menyentuh kelopak matanya yang sipit.
“M temannya a tetap dibaca ma, nah kalau ada huruf yang seperti pedang ini di ujungnya. Baca ‘ma’ terus lidahmu majukan, digigit sedikit. Jadi, bunyinya mat.” Aku menunjukkan cara mengucapkannya.
“Nah coba sekarang Franz baca yang ini.” Aku menunjuk tulisan ‘pa mit’.
“Pa mi…t” Walau agak pelan dia mengucapkan kata yang kutulis itu sambil menunjukkan ujung lidahnya yang dia gigit. Gigi serinya yang beberapa hari lalu lepas tampak meninggalkan rongga yang lucu.
“Ya, pinter!” aku memujinya sambil tersenyum menahan tawa.
Hari ini mood belajar Franz sedang bagus. Dan wanita tua yang dipanggil Franz dengan sebutan Copu itu tertidur di sofa. Ia tampak kelelahan menyiapkan sarapan sejak pagi tadi.
Hari yang menyenangkan!
***
Beberapa waktu lalu aku membaca buku yang menjelaskan bahwa manusia beraktivitas dalam hidupnya karena didorong oleh kebutuhan jasmani dan naluri-naluri atau gharizah yang ada pada dirinya. Bila kebutuhan jasmani, sepeti rasa lapar adalah dorongan yang harus dipenuhi, karena kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kematian, tidak demikian halnya dengan naluri-naluri. Naluri-naluri dapat dibelokkan, dapat diredam dengan pengaturan oleh akal.
Walau perasaan atau emosi manusia sangat beragam. Namun perasaan-perasaan itu hanya bermuara pada 3 jenis naluri, yaitu nau, baqa, dan tadayyun.
Nah, naluri-naluri itu kadang tidak muncul satu persatu. Misalnya, kadang nau muncul bersamaan dengan baqa. Sehingga yang terlihat adalah kasih sayang sebagai penampakan dari gharizah nau muncul bersamaan dengan kemarahan yang adalah penampakan dari gharizah baqa. Begitulah menurut buku yang pernah kubaca.
Kemunculan naluri nau dan baqa yang bersamaan itulah yang kuhadapi siang tadi pada diri copu.
Saat aku tiba, Franz yang pindah les pada siang hari dan memiliki jadwal les 2 kali seminggu suasana hatinya sedang gembira. Dia memperlihatkan mobil-mobilan hadiah ulang tahun yang baru dia dapatkan dari papanya. Kemudian sambil berteriak dan tertawa-tawa dia mendorong mobil-mobilan itu mengelilingi ruangan.
Teriakan-teriakan Mbak Mina yang memintanya belajar tidak dihiraukannya. Setiap kali digendong dan didudukkan di kursi belajar oleh Mbak Mina, Franz kembali melompat ke lantai. Sambil tertawa-tawa dia kembali mendorong, menabrak-nabrakkan mobil-mobilannya ke sofa, meja, dan berputar di ruang tengah.
Copu yang tadi sibuk memasak di dapur kelelahan dan sedang beristirahat mendengar teriakan mbak mini dan mengetahui Franz tidak mau belajar. Beberapa kali dia meneriakan nama Franz dari dalam kamar, menyuruhnya belajar. Tetapi Franz benar-benar sedang gembira. Dia sudah lupa dengan sakitnya cubitan dan kemarahan Copu yang biasanya selalu membuatnya takut. Selalu berhasil mendorongnya untuk konsen pada pelajaran.
Franz sedang mendorong mobilnya mengelilingi ruangan saat menyadari kedatangan Copunya. Segera dia berlari ke kursi dan duduk, siap belajar. Namun, copu sudah terlanjur marah. Di dekatinyaFranz, kemudian ditepuknya dengan keras pantat cucunya itu beberapa kali.
“Anak ini nakal! Nakal anak ini! Heran lho Bu, saya dengan anak ini. Sama sekali tidak memiliki kesadaran untuk belajar! Mau jadi apa! Kalo kamu tidak mau belajar, kamu akan jadi gelandangan, jadi pengemis! Kamu anak laki-laki! Lihat ibumu banting tulang kerja seharian di toko! Ini anaknya disuruh belajar tidak mau!” Dia sekarang menepuk bahu Franz.
“Kalau tidak mau belajar, keluar saja dari rumah ini! Sana ikut papamu! Dasar! Mamamu itu janda! Kamu anak laki-lakinya yang akan membantunya kerja!” Copu marah sambil menunjuk-nunjuk Franz. Suara serak wanita berumur tujupuluhan itu memenuhi ruangan.
“Mama Franz ini janda lho Bu. Kalau Franz nakal cubit dan pukul saja Bu. Tidak apa-apa.” Copu berkata padaku sambil berjalan menuju sopa di sudut ruanga. Dia kemudian merebahkan diri di sana.
Aku mengangguk sambil memaksa tersenyum. Sebenarnya aku sudah tahu mama dan papa Franz bercerai sewaktu Franz berumur 2 bulan. Mbak Mina yang menceritakan. Akan tetapi, mendengar anak umur lima tahun dimarahi dan dinasehati dengan ucapan seperti itu benar-benar membuatku syok.
Franz menunduk menekuri meja. Matanya basah. Sirna sudah kegembiraannya beberapa menit lalu. Mbak Mina segera memeluk dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Franz terisak.
“Copu jahat! Jahat! Franz benci!” teriak Frans lirih disela tangisnya.
“Makanya Frans belajar. Supaya Copu tidak marah.” Suara Mbak Mina berusaha menenangkan.
“Kalau Franz tidak mau belajar hantam saja Bu!” Teriak copu dari balik sopa.
Biasanya aku memulai belajar dengan menyodorkan beberapa kalimat yang berbentuk cerita sederhana yang harus dia baca dan kemudian kudiktekan padanya. Tetapi aku merasa iba pada Franz. Walau aku tahu kosa kata yang dipahaminya masih sedikit, belum mengenal apa arti kata ‘cerai’ dan ‘janda’, memorinya sangat baik. Suatu saat, tidak lama lagi dia akan mengerti. Dan bagi Franz yang sangat sensitif, kata itu pasti akan sangat menyakitkan baginya.
Kugambar bintang yang ukurannya cukup besar dan sebuah mobil di bawahnya. Sejak beberapa waktu lalu aku tahu Franz sangat suka gambar bintang dan mobil. Kuminta mbak mini menyiapka krayon.
“Sekarang, Frans warnai dulu bintang dan mobilnya. Nanti, kalau sudah selesai kita beri judul dan kita buat cerita tentang bintang dan mobil.” Jari tangannya yang lembut dan kecil menghapus sisa air mata dipipinya. Dari pancaran matanya, aku tahu perhatiannya mulai tersita pada gambar yang kubuat.
Saat dia mulai mewanai bintang dengan warna kuning, aku mengeluarkan pemen rasa jeruk di dalam tasku. Kuulurkan padanya.
“Mau?” Dia memandangku sesaat, lalu mengambil permen itu. Dia tampak kesulitan membuka bungkusnya.
“Sini, Ibu bukakan.” Kataku.
Sambil mengunyah permen yang kuberi dia melanjutkan mewarnai gambar itu.
“Copu itu sayang sama Franz. Copu marah karena copu ingin Franz suka belajar. Kalau Franz gak suka belajar, nanti Franz bodoh. Copu gak ingin Franz bodoh. Kata copu, orang bodoh nanti hidupnya susah, jadi gelandangan gak punya rumah, trus kerjanya gini di jalan.” Aku mengubah raut wajahku menjadi terlihat mengenaskan dan menadahkan tangan, meniru pengemis. “Franz mau?”
Melihatku seperti itu Frans menggeleng, “Gak mau.” Katanya.
Aku tertersenyum mendengar jawaban Frans. Di sopa aku tahu copu mendengar pembicaraan kami.
***
Oh ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampai siang nanti
…..
Franz menyanyikan lagu itu dengan pelan. Sejak beberapa hari ini dia ditugaskan guru TKnya menghapalkan lagu itu. Dan Franz terlihat sangat menyukai lagu itu.
“Bu, budiman itu apa” Tiba-tiba dia bertanya padaku. Dia kini sudah berani belajar denganku sendiri tanpa ditemani Mbak Mina.
“Budiman itu artinya baik. Murid budiman artinya murid yang baik. Murid budiman itu murid yang disayang teman, disayang guru, dan emm.. disayang kepala sekolah!” Jawabku sekenanya. Aku tahu bagi anak TK atau SD, kepala sekolah adalah jabatan yang sangat agung dan tak tersentuh. Disayang kepala sekolah bagi mereka tentu hal yang menakjubkan.
Franz mengangguk-angguk.
“Nah, kalau Frans mau jadi murid budiman, harus berkata-kata sopan dan rajin belajar. Yuk, kita membaca lagi.”
Aku mengeluarkan buku cerita bergambar dari dalam tasku.
Dia mengambil buku itu membolak-baliknya. Dia tertarik pada satu halaman. Sambil tersenyum ditunjukkannya padaku gambar 2 orang anak perempuan dan laki-laki yang sedang bermain.
“Ini Franz dan Celi lagi main” aku mengumpamakan gambar itu adalah gambar dia dan kakak perempuannya, Celi. Franz tertawa. Tiba-tiba tangannya menunjuk pada dua orang yang duduk menghadap televisi dibelakang kedua anak itu. Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Ini mama, lagi nonton TV sambil menjahit baju Franz yang sobek.” Aku ingin mengalihkan perhatian Franz pada hal lain, tapi terlambat dia menunjuk gambar laki-laki yang sedang membaca koran disebelah perempuan itu.
“Ini siapa?” Tanyanya. Aku bingung menjawab apa. Sejak mendengar dia menyanyi lagu tentang murid budiman itu, aku sudah merasa tidak nyaman. Sejak dia bayi kedua orang tuanya telah bercerai. Kata copunya, mama Frans memergoki suaminya itu selingkuh dengan babysitter yang merawat Franz. Laki-laki itu memang sebulan sekali dihari minggu datang, menunggu di halaman untuk mengajak Franz jalan-jalan, tapi laki-laki itu tidak pernah mengantar kepergiannya ke sekolah, tidak pernah dilihatnya duduk menonton TV dengan ibunya dalam satu ruangan bersama mereka.
Melihatku hanya diam akhirnya Franz berkata, “Papa ya?”
Aku mengangguk dan berusaha mengelihkan perhatiannya.
“Franz, coba lihat jam.” Aku menunjuk jam didinding.
Dia tersenyum. Aku tadi datang jam 12.45 Wita, saat jarum jam yang paling panjang menunjuk angka 9 dan Franz tau itu artinya aku akan pulang ketika jarum jam berputar menunjuk angka 9 lagi.
“Bilang ke Mbak Mina atau copu, ibu mau pulang.” Baru selesai aku berkata seperti itu, copu keluar dari dapur.
“Sudah selesai ya, Bu. Franz, sebelum tidur siang minum susu dulu. Mbak Mina, tolong ambilkan susu di kulkas untuk Franz.” Franz berlari masuk ke dalam kamar.
“Bu coba cicipi bubur kacang hijau buatan saya. Enak lho Bu, baik untuk diet ibu. Tunggu sebentar saya ambilkan dulu.” Tergopoh-gopoh wanita tua itu masuk ke dapur.
Aku melihat jam. Jadwalku siang ini tidak terlalu padat. Jam 4 sore nanti, baru aku akan mengajar lagi.
Sejak jadwal belajar Franz dipindah siang, aku merasa sedikit tidak nyaman. Setiap kali baru tiba, copu akan menarik tanganku ke meja makan. Mengambilkan piring dan sendok untukku. Dia berkata dengan meyakinkan kalau makanan dirumah itu halal karena dua pembantunya yang ikut tinggal bersama mereka muslim juga sepertiku. Berbeda dengan daerah yang mengharuskan menolak pada tawaran pertama, aku dibesarkan dalam budaya yang menganggap penolakan terhadap sebuah tawaran (tanpa alas an yang kuat) adalah hal tabu.
Copu senang memasak. Masa tuanya dilaluinya dengan menyiapkan rantang untuk anak-anaknya yang sibuk bekerja, bahkan walaupun mereka telah berkeluarga dan tinggal ditempat lain. Pernah dia marah besar karena mama Franz tidak sempat sarapan di rumah. Berkali-kali dia berkata padaku bahwa masakan yang dijual di luar banyak penyedap rasa dan bahan pengawetnya. Itu tidak sehat. Masakan yang dibuatnya jauh lebih baik, karena terjamin kebersihannya, enak, tidak mengandung bahan pengawet dan penyedap rasa, alami dan sehat.
Setiap aku datang dia memintaku makan atau minimal mencicipi hasil masakannya. Pernah dia menawariku sup bakso ayam yang dicampur kembang tahu. Saat aku bercerita bahwa itu adalah pengalaman pertama aku makan kembang tahu, copu terlihat sangat gembira. Dia menyebutkan tempat-tempat yang menjual kembang tahu tersebut, harganya, cara mengolahnya dan terbuat dari bahan apa saja. Bahkan dia menyempatkan pergi kedapur untuk memperlihatkan kembang tahu yang belum dimasak dan menawariku. Lain waktu saat aku berkata sambal yang dibuatnya enak, copu mengajakku ke dapur memperlihatkan cara memisahkan ampas cabe agar sambal yang dibuat sehat untuk lambung, tidak terlalu pedas. Dia juga mengajari cara merebus ayam dengan baik, cara memasak mie rebus yang sehat, dan lainnya.
Aku sebenarnya yakin masakan yang dibuat copu tidak mengandung daging yang diharamkan. Tapi, saat dia beberapa kali menawariku masakan daging ayam dan sapi yang dicampur rempah-rempah, aku menduga bumbu-bumbu yang digunakannya mengandung arak, bukankah difilm-film kungfu yang kutonton koki-koki memasak daging tersebut dengan campuran arak. Setahuku dalam Islam arak sama dengan khamer dan mengkonsumsi zatnya adalah haram.
Akhirnya, aku menolak tawaran makan siangnya dengan beralasan sedang ingin diet. Maka copu memberikan pendapatnya tentang sayuran apa saja yang baik kukonsumsi. Berkali-kali dia menyarankan agar aku banyak mengkonsumsi kecambah, sangat baik bagi kulit katanya sambil memperlihatkan kulitnya yang tampak awet muda. Dan hampir setiap aku akan pulang copu memasukkan beberapa apel merah besar ke dalam tasku. Supaya tetap tidak kelaparan walau tidak makan nasi, katanya.
Tiga bulan telah berlalu. Franz kini telah lancar membaca dan dikte. Dia juga bisa berhitung sederhana. Namun, copu tetap memintaku untuk melanjutkan memberi pelajaran pada Franz.
Kalau dulu setip aku datang copu selalu meneriakan nama Franz, cucunya untuk siap-siap belajar, sekarang setiap aku tiba copu akan menggiringku kemeja untuk mencicipi kue-kue buatannya. Copu akan menungguku makan sambil bercerita tentang pengalamannya yang berjuang keras sejak kecil untuk mencapai kehidupannya yang nyaman seperti saat ini. Copu juga bercerita tentang kondisi politik yang kacau, tentang pantasnya Amerika bangkrut karena orangnya malas-malas, tentang perekonomian Jepang yang maju, tentang perasaan herannya akan sifat pemimpin negeri ini yang doyan korupsi, tentang banjir dimana-mana, tentang perbaikan jalan yang tak selesai-selesai. Sementara copu bercerita, kulihat Franz berteriak-teriak kesal dimeja belajar.
Dan bila saat belajar, terdengar suaraku meninggi, meminta Franz untuk memperhatikan apa yang kutulis terdengar teriakan dari balik sopa.
“Pukul saja Bu!” Atau
“Cubit saja Bu!” Atau
“Hantam saja Bu!”
Awal April, 2009

Cerpen: Luka Hati Isam

Luka Hati Isam
Oleh: Rismiyana
Suara jam weker di atas meja membangunkanku. Kukucek-kucek mata sambil mencari sandal di bawah ranjang. Hal yang paling berat kulakukan disini adalah sholat Subuh! Bukan melaksanakan ritual sholatnya, tapi mengmbil air wudlu sebelum sholat Subuh. Suhu udara menjelang pagi pada musim dingin di negeri Belanda yang minus 0 derajat ini benar-banar seperti membekukan aliran darah!
Ada satu lagi yang membuatku agak berat mengambil air wudlu. Kamar mandi wanita ada di lantai bawah. Waktu subuh seperti ini, saat penghuni lain tertidur di bawah selimut tebal mereka, aku harus terseok-seok melawan udara dingin menyusuri koridor dan tangga gedung..
Sebenarnya tepat di sebelah kanan kamarku ada kamar mandi yang cukup luas. Akan tetapi sesuai kesepakatan penghuni gedung, kamar mandi itu khusus diperuntukkan untuk penghuni laki-laki.
Gedung yang kutempati sekarang adalah gedung yang disediakan untuk menampung mahasiswa-mahasiswa seperti kami yang berasal dari berbagai Negara. Penghuninya ada 30 orang. Ada yang dari Jepang, Kanada, Jerman, Brazil, Itali, Inggris, dan masih ada beberapa yang belum kukenal.
Selesai berwudlu, sambil menggigil aku kembali ke kamarku. Aku hampir sampai saat satu sosok hitam, tinggi besar keluar dari kamar mandi di sebelah kamarku.. Kami hampir bertabrakan.
“Sorry.” Sosok itu rafleks mundur sambil menjauhkan tangannya. Seperti begitu takut mengenaiku.
Hei, tangannya basah! Kaki, rambut dan wajahnya juga!
“Wudlu?” Aku memberanikan diri menegurnya.
Dia meringis sebentar kemudian tertawa.
“Yeah… You?” Dia pasti bisa menebak aku seorang muslimah. Kerudung yang kupakai sebagai tanda.
“Yeah.” Aku mengangguk sambil menggemeretakkan gigiku. “It’s so cold!” Kataku lagi.
“Where do you come from?” Dia menanyakan negeri asalku.
Indonesia.”
Dia tampak surprise. Kemudian sambil tersenyum dalam bahasa Inggris dia berkata, “Indonesia negeri tropis dan penduduknya merupakan umat muslim terbanyak di dunia.”
Setelah berbasa-basi sebentar dia menuju kamarnya yang berada paling pojok di sebelah kiri. Uups, tadi aku lupa menanyakan namanya!
Lia, Sari, dan Mita, beberapa temanku dulu pernah bercerita bagaimana mereka menilai seseorang saat pertama kali bertemu. Lia mengatakan bahwa hal pertama yang dia nilai dari seseorang yang baru ditemuinya adalah cara berpakaian kenalan barunya. Seseorang yang baik meurutnya pasti akan memakai pakaian yang sopan. Tidak harus memakai pakaian yang mahal, tetapi rapi dan serasi.
Sedangkan Sari, sangat memperhatikan suara dan cara kenalan barunya menyusun kata-kata. Kualitas kepribadian dan intelektual seseorang menurutnya dapat diukur dari kata-kata yang disusun dan intonasi saat berbicara.
Lain lagi dengan Mita, dia malah mengandalkan nalurinya. Menurutnya walaupun penampilan orang yang baru dikenalnya rada aneh, bila hatinya merasa tenang saat berkomunikasi dengan kenalan barunya, itu menandakan kenalan barunya dapat dipercaya. Mungkin itu karena pembawannya yang sangat sensitive. Mungkin itu pula yang menyebabkan dia memiliki beberapa teman akrab yang jarang atau malah belum pernah ditemuinya.
Nah, penilaianku terhadap Isam (laki-laki yang hampir menabrakku Subuh itu ternyata bernama Isam) merupakan gabungan dari penilaian teman-temanku itu. Sebagai seorang Muslim dia memakai pakaian sopan dan menutup aurat, kata-kata dan intonasi suaranya menyenangkan. Bertemu dengannya membuat hatiku merasa lega dan saat bersamanya aku merasa aman.
Isam termasuk penghuni lama di gedung. Dia baru tiba dari Inggris. Selama hamper satu bulan dia pulang menengok ibunya yang sakit. Dia lahir dan menjadi remaja di Amerika. Saat memasuki usia 20 tahun ibunya mengajaknya pindah ke Inggris.
Aku kemudian mengetahui bahwa di gedung ini dialah yang paling dihormati oleh penghuni lainnya. Seperti telah menjadi kesepakatan bersama bahwa dialah yang diangkat menjadi ketua. Keputusan-keputusan, kesepakatan dan peraturan yang diterapkan bagi penghuni gedung biasanya diberlakukan setelah melakukan musyawarah yang dipimpin olehnya.
Walau ditakuti dan dihormati oleh seisi gedung, sebenarnya Isam bukanlah sosok yang mengerikan. Usianya terpaut 3 tahun di bawahku. Tubuhnya memang hitam dan tinggi besar, tapi siapapun tahu dia sangat ramah dan humoris. Kalau saja badannya lebih kurus, niscaya dia akan menjadi yang paling tampan di gedung ini!
Selain suaranya yang cukup membahana, keberadaan Isam biasanya dapat terdeteksi dengan mengendus baunya. Minyak harum yang digunakannya benar-benar made in Arab! Seandainya dia melewati depan kamarku, kemudian aku membuka pintu 15 menit setelahnya, niscaya wangi minyak harum yang dipakainya masih tercium di sepanjang koridor yang dilewatiya.
Isam juga ternyata senang memasak. Biasanya ia memasak masakan Timur Tengah. Ibunya yang mengajari, katanya. Sambil memasak dia menyenandungkan lagu yang terdengar lucu.Tapi aku tidak mengerti makna lagu itu. Isam menyanyikannya dengan bahasa Arab.
Siang itu aku baru saja selesai maka bersama Elly mahasiswa dari Itali, saat Isam yang membawa laptopku datang bersama Thomas. Thomas adalah mahasiswa dari Kanada. Dia pengagum panatik Isam. Bagi Thomas, Isam adalah guru kehidupan. Ya, semacam orang yang cara hidup, pola pikir dan sikap yang dijadikannya panutan. Aku bahkan memprediksi, Thomas akan masuk Islam!
“Farah, ini laptopmu. Kerusakkanya sudah diperbaiki.”
“Terima kasih. Berapa biaya perbaikannya?”
“Tidak usah. Yang memperbaikinya temanku. Dia juga muslim.”
Isam memang banyak memiliki teman yang muslim. Umumnya mereka berasal dari Timur Tengah. Beberapa waktu lalu dia mengantarku ke Islamic Center di Selatan kota Amsterdam. Di sana aku diperkenalkannya dengan beberapa muslimah Timur Tengah yang dikenalnya.
“Farah, bagaimana kamu mengetahui waktu sholat?”
“Dari jam weker.” Di negeri Kincir Angin ini waktu sholat selalu berubah-ubah. Perubahannya kadang sangat drastis. Sementara suara adzan kecuali di Islamic Center tidak pernah terdengar olehku. Aku agak kesulitan mengetahui jadwal sholat secara tepat.
“Kalau kamu?” aku balik bertanya.
“Dari laptopku. Aku mendownload situs yang menyediakan layanan adzan sholat lima waktu. Kita hanya perlu mendownload sekali. Setelah itu setiap waktu sholat akan terdengar adzan. Cara kerjanya seperti weker. Waktu sholatnya akan menyesuaikan dengan domisili kita.”
“Bagaimana mendownloadnya? Situs apa?” Aku merasa tertarik dengan penjelasan Isam.
“Kalau kamu mau, sekarang kita bisa mendownloadnya.”
Aku mengangguk. Isam segera meletakkan laptop di atas meja dan mengakses situs yang dia ceritakan.
Di sini Isam banyak membantuku. Dia seperti kakak laki-laki bagiku. Saat Stevie mahasiswa dari Kanada menyelesaikan pendidikan dan kembali ke negara asalnya, dia mewariskan satu rak buku cukup besar padaku. Sesuai peraturan pemilik gedung, kamar yang ditinggalkan harus dalam keadaan sama dengan pada waktu baru ditempati, baik keadaan ruangan maupun peralatan yang ada di dalamnya. Maka, dengan bersusah payah Isam mengangkut rak buku itu dari lantai atas menuju kamarku.
Begitu juga ketika aku menceritakan kemampuan membaca Al Quranku yang masih terbata-bata dan minatku untuk belajar bahasa Arab, Isam segera merespon ceritaku. Ia meminjamkan beberapa VCD surah-surah pendek yang disertai tulisan Arab dan latin dicertai pelafalannya. Isam mengaku walau mahir berbicara dalam bahasa Arab, dia tidak bisa membaca Al Quran. Pergaulan masa remaja yang di laluinya di Amerika serta perceraian orang tuanya membuatnya jadi pecandu alcohol. Menurutnya akan lebih bersemangat belajar membaca Al Quran bila memiliki teman belajar sebagai pembanding.
Tanpa kuminta Isam pula yang melobi para penghuni gedung sehingga kamar mandi laki-laki dan wanita ditukar. Dan aku merasa sangat terbantu atas pertolongannya itu. Karena, ternyata kamar mandi di sebelah kamarku itu memiliki wastafel yang menyediakan pengatur suhu air.
Hari ini adalah yang ke 8 kalinya aku dan Golda teman kampusku mengerjakan proyek tesis di gedung kami. Aku dan dia membahas tema yang dari beberapa variabel memiliki kesamaan.
Menjelang malam dia pamit pulang. Gedung kontrakkannya berjarak beberapa blok kea rah Timur. Tiba-tiba kulihat Isam masuk. Aku menyapanya.
“Dia teman yang kau ceritakan menggarap tesis bersamamu itu?” Tanya Isam sambil tersenyum pada Golda.
“Ya, kenalkan namanya Golda Meier.” Isam mengerutkan keningnya saat aku menyebutkan nama Golda. Tanpa memperdulikan ekspresi wajah Isam aku beralih menatap Golda. “ Golda ini Isam yang sering kuceritakan padamu.”
Aku menoleh pada Isam. Isam tampak mundur beberapa langkah. Rahangnya mengeras. “Where is she from?” Isam menanyakan asal Golda padaku.
“Tel Aviv, Israel.” Golda langsung menyahut sambil mengulurkan tangannya.
Isam mundur beberapa langkah kemudian dia berjalan ke samping kiri untuk melewati kami. Tanpa berkata apa-apa dia melewati kami.
Mulanya aku merasa tersinggung dan marah atas perlakuan Isam pada Golda. Akan tetapi, beberapa hari kemudian aku mendapat penjelasan dari Isam. Isam memang lahir di Amerika, tetapi kedua orang tuanya asli Palestina. Mereka terpaksa mengungsi, menjadi imigran setelah rumah dan kampung halaman mereka dirampas orang-orang Yahudi Israel.
Awalnya, aku membela Golda. Aku katakan pada Isam untuk tidak membenci Golda karena negaranya. Isam tidak boleh membenci rakyat Israel secara pukul rata. Namun, jawaban Isam membuatku terdiam.
Menurut Isam, Israel adalah keseluruhan Yahudi yang berduyun-duyun datang merampas tanah rakyat Palestina. Mereka bermukim, mendirikan Negara di atas kucuran darah dan puing-puing tempat tinggal Muslim Palestina. Beberapa kali mereka berusaha membakar dan menghancurkan Mesjid Al Aqsa. Bahkan sekarang atas nama Negara Israel, mereka mengisolir jalur Gaza membiarkan kaum Muslim di sana kelaparan. Mereka melarang bantuan makanan dan obat-obatan diberikan pada penduduk Gaza. Suara Isam terdengar lirih. Wajahnya muram. Sekilas aku juga melihat luka yang dalam pada tatapan matanya.
Isam akhirnya memberikan pilihan padaku. Untuk memilih dirinya atau Golda. Bila aku tetap berteman dan mengajak Golda ke gedung kami, maka dia meminta supaya aku tidak lagi menegur dan berbicara dengan dirinya.
Aku terenyuh mendengar permintaan Isam. Aku dan dia adalah saudara. Kami diikat oleh akidah yang sama, Islam! Bukan hanya pada Isam yang sudah kukenal dekat, pun pada semua rakyat Palestina sudah seharusnya aku merasakan satu tubuh dengan mereka. Sesuatu yang membuat mereka terluka, menahan sakit, pun perihnya akan terasa olehku.
Ah, Isam…, sosok yang pembawaannya ceria dan humoris itu, ternyata dalam hatinya menyimpan luka.
Untuk Sepupuku yang manis:
Terima kasih untuk inspirasinya!
Penghujung 2008

Rabu, 15 April 2009

Pelajaran dari Perang Hunain

Mengukur Kadar Cinta Kita Kepada Rasulullah Saw

(Tulisan yang aku tulis dengan serius)

“The history of the world is but the biography of great man”, sejarah adalah tak lebih merupakan kumpulan biografi orang-orang besar. Pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Thomas Carlyle tersebut adalah pernyataan yang tepat untuk melukiskan makna sejarah. Karena ketika membaca sejarah, kita akan menemukan sepak terjang dan aksi orang-orang besar yang ada di dalamnya. Yaitu mereka yang pernah melakukan pekerjaan yang besar. Pekerjaan yang mampu merubah mata angin dan pola pikir umat manusia.

Dalam buku yang berjudul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Hart mendudukan Rasulullah Saw. pada urutan pertama sebagai sosok yang paling berpengaruh di dunia. Peletakan tersebut tidak hanya didasarkan pada banyaknya jumlah manusia yang dipengaruhinya, tetapi juga kualitas pengaruh yang beliau berikan pada diri setiap manusia yang menjadi muslim karena menerima dakwah beliau.

Di kalangan umat Islam sendiri, ada banyak buku-buku sejarah (sirah )yang meceritakan kehidupan Rasulullah Saw. Baik dari sisi pejalanan hidupnya sejak kecil, akhlaknya yang terpuji, kehidupan rumah tangganya yang harmonis, dakwah politis yang ditempuhnya dalam membangun pondasi Daulah Islam, dan dari sisi-sisi lain kehidupan beliau. Sepanjang hayat beliau selalu ada pelajaran sejarah yang bisa dipetik.

Beliau adalah pembawa wahyu Allah Swt dan uswatun hasanah, teladan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Kecintaan kaum Muslim pada beliau, telah dan akan terus ada. Kecintaan pada beliau adalah perkara yang wajib ditanamkan dan dimiliki pada diri setiap muslim dan keluarganya. Kecintaan pada Allah Swt dan Rasulullah Saw. harus berada pada derajat teratas, melebihi kecintaan pada yang lain.

Untuk mengetahui kadar kecintaan kita kepada Rasulullah Saw., kita dapat melakukan banyak cara. Salah satunya dengan mencoba mengukur seberapa besar pengorbanan yang kita berikan untuk agama yang beliau bawa. Caranya yaitu dengan membandingkan pengorbanan kita dengan pengorbanan yang pernah diberikan segolongan umat Islam terdahulu semasa beliau hidup. Salah satu golongan itu adalah kaum Anshar. Anshar adalah julukan yang diberikan Rasulullah pada umat Islam di Madinah yang menerima hijrah Rasulullah dan para sahabat. Bagaimana kecintaan, ketaatan, dan pengorbanan kaum Anshar terhadap Rasulullah Saw. tergambar jelas pada masa perang Hunain.

Dalam perang Hunain yang sangat terkenal itu, Malik bin ‘Auf al-Nashriy memimpin orang-orang Hawazin dan Tsaqif melawan pasukan kaum Muslimin yang saat itu dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. Malik menggunakan strategi yang cemerlang dengan mengajak pasukannya menghadang pasukan Rasulullah di sebuah lorong sempit pada sebuah lembah. Mereka akan menggunakan serbuan tiba-tiba dan mematikan untuk mengacau-balaukan musuh.

Maka malam harinya dalam kegelapan menjelang fajar, ketika melewati celah itu kaum muslimin diserang tikaman dan dihujani anak panah dari berbagai penjuru arah. Pasukan yang berjumlah 12.000 personil itupun kocar-kacir. Dalam kegelapan, masing-masing berusaha mencari perlindungan. Para Sahabat yang ikut beperang dengan ikhlas karena Allah, mencari perlindungan didorong oleh naluri kemanusiaannya yang alami. Sedangkan mereka yang baru masuk Islam dan berangkat berperang tanpa tujuan yang jelas mencari perlindungan karena takut dan berbisik-bisik menunggu kekalahan pasukan Islam bahkan ada yang berencana membunuh Rasulullah saw. Tidak ada yang tersisa di celah itu kecuali Rasulullah Saw dan pamannya Abbas, serta sekelompok kecil kalangan Muhajirin dan Anshar. Pada saat yang sulit dan kritis itu Rasulullah Saw tetap memutuskan untuk tetap maju sambil berusaha bertahan di atas bagal putihnya.

Di saat yang genting itu Abbas yang memiliki suara yang nyaring dan berat, berteriak, “ Hai kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon!” suara teriakan Abbas itu menggema karena dipantulkan celah lembah yang sempit.

Mendengar teriakan yang menggema itu, pasukan dari golongan Anshar yang kocar-kacir itu tersadar. Mereka ingat peristiwa bai’at Aqabah kedua yang berlangsung di bawah sebuah pohon sebelum terjadinya peristiwa Hijrah (kepindahan Rasulullah dari Makkah ke Madinah). Baiat itu untuk memastikan kesiapan mereka menerima hijrah Rasulullah dan kaum muslim yang waktu itu mendapat intimidasi yang sangat keras dari kafir Mekkah dan bahkan rencana pembunuhan pun telah didengungkan untuk mereka.

Saat itu mereka datang ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah Saw. Dalam kegelapan dan dilakukan secara diam-diam karena ancaman kafir Qurais mereka menanti kedatangan Rasulullah Saw. Kemudian datang Abbas (yang waktu itu belum masuk Islam) menemani Rasulullah Saw. Dia datang untuk mengawasi dan menjaga keponakannya itu. Sebelum baiat terjadi, Abbas berkata kepada mereka (yang berjumlah 75 orang), “Wahai Kaum Khazraj sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami (kafir Qurais) yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya . Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelantarkannya setelah kalian keluar bersamanya menuju tempat kalian (Hijrah dari Mekkah ke Madinah), maka mulai saat ini tinggalkan dia.”

Mereka sendiri saat itu berkata kepada Rasulullah Saw, “Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami mewarisinya dengan penuh kebanggaan.”

Abbas kembali bertanya pada mereka, “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna membai’at laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membaiatnya untuk memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya, itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambillah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat.”

Kaum Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski denga resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka.” Kemudian mereka berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu?” Rasulullah saat itu menjawab dengan suara tenang, “Surga”.

Seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tanggannya masing-masing lalu menggenggam tangan beliau dan membaiatnya dengan berkata-kata, “Kami membaiat Rasulullah Saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci, maupun musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari pemiliknya serta mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga tidak akan takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.”

Setelah sadar dan mengingat isi bai’at itu, pasukan kaum muslim terutama golongan Anshar keluar dari perlindungan. Mereka maju dan terus mendesak ke tengah medan perang sambil menganggap kematian di jalan Allah (syahid) adalah kenikmatan. Walau kehilangan banyak anggota pasukan, perang itupun akhirnya dimenangkan kuam Muslim. Orang-orang Hawazin dan Tsakif akhirnya melarikan diri. Harta dan milik mereka, yang meraka kumpulkan dan dibawa ke medan perang, menjadi Ghanimah bagi pasukan Muslim.

Ghanimah (harta rampasan perang) Hunain itu jumlahnya terbilang besar. Rasulullah Saw. seperti biasa dengan sifat dermawan, arif dan kegeniusan sikap politisnya membagikan ghanimah itu. Dalam pembagian itu, Orang-orang muallaf yang dulunya memiliki pemusuhan yang keras terhadap kaum muslimin seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Suhail bin Amru dan yang lainnya mendapat bagian yang jauh lebih banyak daripada kaum Anshar.

Kaum Anshar yang belum paham akan hikmah di balik cara pembagian dan pendistribusian ghanimah itu membicarakan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw. tersebut. Sebagian mereka berkata diantara mereka, “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak pada kaumnya!” perkataan itu berpengaruh dalam jiwa mereka. Mereka merasa Rasulullah pilih kasih dan tidak adil. Rasulullah dan para mualaf itu memang sama-sama dari suku Quraisy. Bahkan pemimpin Anshar, Sa’ad bin Ubadah berucap sama. Rasulullah yang mendengarnya kemudian bertanya pada Saad, “Dimanakah posisimu dalam hal ini hai Saad?” Saad menjawab, “Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku.” Rasulullah lalu berkata, “Kalau begitu kumpulkan kaummu (kaum Anshar) untukku di tempat penginapan unta!”

Saad kemudian mengumpulkan kaumAnshar, lalu Rasulullah berbicara kepada mereka, “Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan kalian hidayah; dan dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian.” Mereka menjawab, ‘Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasulullah berkata lagi, “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?” Mereka menjawab, “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-nya segala keamanan dan keutamaan.”

Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka, “Apa pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang (hijrah) kepada kami dalam keadaan didustakan (oleh kaum Qurais di Makkah), lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan pada diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian, aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan kambing-kambing dan unta-unta, sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka.” Belum selesai ucapan Rasulullah itu, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. Mereka berkata, “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami)”.

Dari peristiwa sejarah di atas tergambar pada kita bagaimana kecintaan para sahabat Anshar terhadap Rasulullah Saw. Mereka lebih mencintai Rasulullah dibanding yang lain. Bahkan ketika diberi pilihan apakah memilih harta rampasan perang yang bejumlah sangat banyak, atau hanya mendapat bagian sekedarnya namun dengan Rasulullah tetap berada diantara mereka, mereka memilih pilihan yang kedua.

Bagaimana dengan kita? Sudah maksimalkah pengobanan sebagai wujud cinta kita kepada beliau? Beliau telah tiada dan hanya meninggalkan Al Quran dan As Sunnah sebagai panduan syariat dalam menjalani kehidupan ini. Inginkah kita menerapkan syariat itu tidak hanya dalam hubungan kita dengan Allah (ibadah mahdoh), tetapi juga dalam penyelesaian berbagai masalah: kriminal (qishas) perekonomian jual beli (muamalah), pendidikan, pergaulan sosial sehari-hari, pengurusan pemerintahan dan lain-lain.

Semoga kedepannya, apa yang kita serahkan, yang kita korbankan untuk risalah, syariat Islam yang beliau bawa, lebih maksimal lagi. Semoga.