Kamis, 23 April 2009

Cerpen: Franz dan Copu

Franz dan Copu
Oleh: Rismiyana
(cerpen ini sebenarnya sudah aku edit, dan jadi lebih singkat. Endingnya juga berubah. Fokus cerita hanya pada Franz, tapi pas tadi mau aku kirim eh, plashdishnya gak bisa dibuka. sudah deh, aku letakin aja cerpen persi lamanya kesini)
Saat aku memasuki halaman gedung, waktu tepat menunjukkan pukul 08.55 Wita. Beberapa karyawan terlihat sibuk memindahkan kardus-kardus dari dalam gudang ke atas mobil pick up. Sedan merah yang biasa digunakan Mama Franz masih terparkir di garasi, sedang di panaskan. Perlahan kunaiki tangga gedung. Pada belokan kedua aku melepas sepatuku.
“Silakan masuk Bu.” Nenek Franz yang pertama kali menyadari kedatanganku menyambutku hangat sambil tersenyum. Kemudian seperti biasa dia meneriakan nama cucunya. “ Franz! Ini ibu gurunya sudah datang. Ayo belajar!”
Mama Franz yang telah siap dengan tas kerjanya juga melihat kedatanganku. Wanita bersuara lembut itu, seperti biasa menyambutku dengan senyumnya. “Oh, Ibu sudah datang. Frans, ibunya sudah datang.”
“Mbak Mina mana? Mbak Mina!” terdengar teriakan Franz dari dalam kamar.
“Mina, Mina! Kamu temani Franz belajar dulu. Biar nanti Sita yang mengurusi urusan dapur.” Nenek Franz segera memanggil Mbak Mina, pembantu yang bertugas mengasuh Franz.
“Mari Bu, saya pergi dulu.” Pamit mama Franz.
“Ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
Setelah dibujuk-bujuk dan dipenuhi semua permintaannya oleh Mbak Mina, Franz kini siap belajar. Pagi ini dia memakai t-shirt dan celana kuning yang senada dengan warna kulitnya.
Franz masih duduk di TK nol kecil atau TK A. Umurnya 5 tahun. Neneknya menargetkan sebelum masuk SD dia telah lancar membaca. Maka saat membaca iklan baris di surat kabar yang memuat bimbel tempatku bernaung dia segera menghubungi dan meminta sisa 2 minggu libur semester ini cucunya diberi les membaca selama 1 jam setiap pagi.
Franz sangat sensitif dan pemalu. Selama hampir 2 minggu ini dia tidak pernah berbicara langsung padaku. Setiap menginginkan sesuatu dia akan berbisik pada Mbak Mina, dan Mbak Minalah yang akan mengutarakan bisikannya itu padaku. Selain itu, setiap kali ditegur atau dimarahi Mbak Mina yang memintanya untuk konsen pada bacaan, dia akan merajuk menutup mukanya atau tidur menelungkup. Semua itu baru akan berakhir bila Mbak Mina berulang-ulang minta maaf dan membujuk-bujuknya. Mbak Mina yang tamat SD dan baru memasuki usia 20 tahun itu, tidak diragukan lagi tampak sangat menyayangi Franz.
Franz mengalami kemajuan yang mengembirakan. Dalam rentang 3 bulan ke depan dia kutargetkan mampu lancar membaca dan dikte. Dalam 2 minggu ini kutargetkan dia mampu membaca dan dikte suku kata sederhana, yaitu suku kata tanpa huruf mati atau konsonan di ujung kata. Dan kini dia telah lancar membaca kata seperti itu. Bahkan sejak beberapa hari lalu aku mulai mengajarinya membaca kata yang terdiri atas huruf mati di ujung. Dan hari ini setelah memintanya membaca pelajaran yang kuberi hari sebelumnya, aku mulai menulis kata-kata yang berakhiran konsonan ‘t’.
“Coba baca.” Aku menuliskan suku kata ‘ta ma’ dan ‘se mu’ kemudian meminta Franz membacanya.
“Ta ma, se mu” bacanya lancar.
Aku kemudian menulis ‘ta mat, se mut’ dan meminta Franz membacanya lagi.
“Ta ma..” dia mendongak, menatapku. Tampak sekali kalau dia bingung dengan kehadiran huruf ‘t’ pada suku kata yang dibacanya. Poninya yang agak panjang dan menutupi alis kanan hampir menyentuh kelopak matanya yang sipit.
“M temannya a tetap dibaca ma, nah kalau ada huruf yang seperti pedang ini di ujungnya. Baca ‘ma’ terus lidahmu majukan, digigit sedikit. Jadi, bunyinya mat.” Aku menunjukkan cara mengucapkannya.
“Nah coba sekarang Franz baca yang ini.” Aku menunjuk tulisan ‘pa mit’.
“Pa mi…t” Walau agak pelan dia mengucapkan kata yang kutulis itu sambil menunjukkan ujung lidahnya yang dia gigit. Gigi serinya yang beberapa hari lalu lepas tampak meninggalkan rongga yang lucu.
“Ya, pinter!” aku memujinya sambil tersenyum menahan tawa.
Hari ini mood belajar Franz sedang bagus. Dan wanita tua yang dipanggil Franz dengan sebutan Copu itu tertidur di sofa. Ia tampak kelelahan menyiapkan sarapan sejak pagi tadi.
Hari yang menyenangkan!
***
Beberapa waktu lalu aku membaca buku yang menjelaskan bahwa manusia beraktivitas dalam hidupnya karena didorong oleh kebutuhan jasmani dan naluri-naluri atau gharizah yang ada pada dirinya. Bila kebutuhan jasmani, sepeti rasa lapar adalah dorongan yang harus dipenuhi, karena kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kematian, tidak demikian halnya dengan naluri-naluri. Naluri-naluri dapat dibelokkan, dapat diredam dengan pengaturan oleh akal.
Walau perasaan atau emosi manusia sangat beragam. Namun perasaan-perasaan itu hanya bermuara pada 3 jenis naluri, yaitu nau, baqa, dan tadayyun.
Nah, naluri-naluri itu kadang tidak muncul satu persatu. Misalnya, kadang nau muncul bersamaan dengan baqa. Sehingga yang terlihat adalah kasih sayang sebagai penampakan dari gharizah nau muncul bersamaan dengan kemarahan yang adalah penampakan dari gharizah baqa. Begitulah menurut buku yang pernah kubaca.
Kemunculan naluri nau dan baqa yang bersamaan itulah yang kuhadapi siang tadi pada diri copu.
Saat aku tiba, Franz yang pindah les pada siang hari dan memiliki jadwal les 2 kali seminggu suasana hatinya sedang gembira. Dia memperlihatkan mobil-mobilan hadiah ulang tahun yang baru dia dapatkan dari papanya. Kemudian sambil berteriak dan tertawa-tawa dia mendorong mobil-mobilan itu mengelilingi ruangan.
Teriakan-teriakan Mbak Mina yang memintanya belajar tidak dihiraukannya. Setiap kali digendong dan didudukkan di kursi belajar oleh Mbak Mina, Franz kembali melompat ke lantai. Sambil tertawa-tawa dia kembali mendorong, menabrak-nabrakkan mobil-mobilannya ke sofa, meja, dan berputar di ruang tengah.
Copu yang tadi sibuk memasak di dapur kelelahan dan sedang beristirahat mendengar teriakan mbak mini dan mengetahui Franz tidak mau belajar. Beberapa kali dia meneriakan nama Franz dari dalam kamar, menyuruhnya belajar. Tetapi Franz benar-benar sedang gembira. Dia sudah lupa dengan sakitnya cubitan dan kemarahan Copu yang biasanya selalu membuatnya takut. Selalu berhasil mendorongnya untuk konsen pada pelajaran.
Franz sedang mendorong mobilnya mengelilingi ruangan saat menyadari kedatangan Copunya. Segera dia berlari ke kursi dan duduk, siap belajar. Namun, copu sudah terlanjur marah. Di dekatinyaFranz, kemudian ditepuknya dengan keras pantat cucunya itu beberapa kali.
“Anak ini nakal! Nakal anak ini! Heran lho Bu, saya dengan anak ini. Sama sekali tidak memiliki kesadaran untuk belajar! Mau jadi apa! Kalo kamu tidak mau belajar, kamu akan jadi gelandangan, jadi pengemis! Kamu anak laki-laki! Lihat ibumu banting tulang kerja seharian di toko! Ini anaknya disuruh belajar tidak mau!” Dia sekarang menepuk bahu Franz.
“Kalau tidak mau belajar, keluar saja dari rumah ini! Sana ikut papamu! Dasar! Mamamu itu janda! Kamu anak laki-lakinya yang akan membantunya kerja!” Copu marah sambil menunjuk-nunjuk Franz. Suara serak wanita berumur tujupuluhan itu memenuhi ruangan.
“Mama Franz ini janda lho Bu. Kalau Franz nakal cubit dan pukul saja Bu. Tidak apa-apa.” Copu berkata padaku sambil berjalan menuju sopa di sudut ruanga. Dia kemudian merebahkan diri di sana.
Aku mengangguk sambil memaksa tersenyum. Sebenarnya aku sudah tahu mama dan papa Franz bercerai sewaktu Franz berumur 2 bulan. Mbak Mina yang menceritakan. Akan tetapi, mendengar anak umur lima tahun dimarahi dan dinasehati dengan ucapan seperti itu benar-benar membuatku syok.
Franz menunduk menekuri meja. Matanya basah. Sirna sudah kegembiraannya beberapa menit lalu. Mbak Mina segera memeluk dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Franz terisak.
“Copu jahat! Jahat! Franz benci!” teriak Frans lirih disela tangisnya.
“Makanya Frans belajar. Supaya Copu tidak marah.” Suara Mbak Mina berusaha menenangkan.
“Kalau Franz tidak mau belajar hantam saja Bu!” Teriak copu dari balik sopa.
Biasanya aku memulai belajar dengan menyodorkan beberapa kalimat yang berbentuk cerita sederhana yang harus dia baca dan kemudian kudiktekan padanya. Tetapi aku merasa iba pada Franz. Walau aku tahu kosa kata yang dipahaminya masih sedikit, belum mengenal apa arti kata ‘cerai’ dan ‘janda’, memorinya sangat baik. Suatu saat, tidak lama lagi dia akan mengerti. Dan bagi Franz yang sangat sensitif, kata itu pasti akan sangat menyakitkan baginya.
Kugambar bintang yang ukurannya cukup besar dan sebuah mobil di bawahnya. Sejak beberapa waktu lalu aku tahu Franz sangat suka gambar bintang dan mobil. Kuminta mbak mini menyiapka krayon.
“Sekarang, Frans warnai dulu bintang dan mobilnya. Nanti, kalau sudah selesai kita beri judul dan kita buat cerita tentang bintang dan mobil.” Jari tangannya yang lembut dan kecil menghapus sisa air mata dipipinya. Dari pancaran matanya, aku tahu perhatiannya mulai tersita pada gambar yang kubuat.
Saat dia mulai mewanai bintang dengan warna kuning, aku mengeluarkan pemen rasa jeruk di dalam tasku. Kuulurkan padanya.
“Mau?” Dia memandangku sesaat, lalu mengambil permen itu. Dia tampak kesulitan membuka bungkusnya.
“Sini, Ibu bukakan.” Kataku.
Sambil mengunyah permen yang kuberi dia melanjutkan mewarnai gambar itu.
“Copu itu sayang sama Franz. Copu marah karena copu ingin Franz suka belajar. Kalau Franz gak suka belajar, nanti Franz bodoh. Copu gak ingin Franz bodoh. Kata copu, orang bodoh nanti hidupnya susah, jadi gelandangan gak punya rumah, trus kerjanya gini di jalan.” Aku mengubah raut wajahku menjadi terlihat mengenaskan dan menadahkan tangan, meniru pengemis. “Franz mau?”
Melihatku seperti itu Frans menggeleng, “Gak mau.” Katanya.
Aku tertersenyum mendengar jawaban Frans. Di sopa aku tahu copu mendengar pembicaraan kami.
***
Oh ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampai siang nanti
…..
Franz menyanyikan lagu itu dengan pelan. Sejak beberapa hari ini dia ditugaskan guru TKnya menghapalkan lagu itu. Dan Franz terlihat sangat menyukai lagu itu.
“Bu, budiman itu apa” Tiba-tiba dia bertanya padaku. Dia kini sudah berani belajar denganku sendiri tanpa ditemani Mbak Mina.
“Budiman itu artinya baik. Murid budiman artinya murid yang baik. Murid budiman itu murid yang disayang teman, disayang guru, dan emm.. disayang kepala sekolah!” Jawabku sekenanya. Aku tahu bagi anak TK atau SD, kepala sekolah adalah jabatan yang sangat agung dan tak tersentuh. Disayang kepala sekolah bagi mereka tentu hal yang menakjubkan.
Franz mengangguk-angguk.
“Nah, kalau Frans mau jadi murid budiman, harus berkata-kata sopan dan rajin belajar. Yuk, kita membaca lagi.”
Aku mengeluarkan buku cerita bergambar dari dalam tasku.
Dia mengambil buku itu membolak-baliknya. Dia tertarik pada satu halaman. Sambil tersenyum ditunjukkannya padaku gambar 2 orang anak perempuan dan laki-laki yang sedang bermain.
“Ini Franz dan Celi lagi main” aku mengumpamakan gambar itu adalah gambar dia dan kakak perempuannya, Celi. Franz tertawa. Tiba-tiba tangannya menunjuk pada dua orang yang duduk menghadap televisi dibelakang kedua anak itu. Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Ini mama, lagi nonton TV sambil menjahit baju Franz yang sobek.” Aku ingin mengalihkan perhatian Franz pada hal lain, tapi terlambat dia menunjuk gambar laki-laki yang sedang membaca koran disebelah perempuan itu.
“Ini siapa?” Tanyanya. Aku bingung menjawab apa. Sejak mendengar dia menyanyi lagu tentang murid budiman itu, aku sudah merasa tidak nyaman. Sejak dia bayi kedua orang tuanya telah bercerai. Kata copunya, mama Frans memergoki suaminya itu selingkuh dengan babysitter yang merawat Franz. Laki-laki itu memang sebulan sekali dihari minggu datang, menunggu di halaman untuk mengajak Franz jalan-jalan, tapi laki-laki itu tidak pernah mengantar kepergiannya ke sekolah, tidak pernah dilihatnya duduk menonton TV dengan ibunya dalam satu ruangan bersama mereka.
Melihatku hanya diam akhirnya Franz berkata, “Papa ya?”
Aku mengangguk dan berusaha mengelihkan perhatiannya.
“Franz, coba lihat jam.” Aku menunjuk jam didinding.
Dia tersenyum. Aku tadi datang jam 12.45 Wita, saat jarum jam yang paling panjang menunjuk angka 9 dan Franz tau itu artinya aku akan pulang ketika jarum jam berputar menunjuk angka 9 lagi.
“Bilang ke Mbak Mina atau copu, ibu mau pulang.” Baru selesai aku berkata seperti itu, copu keluar dari dapur.
“Sudah selesai ya, Bu. Franz, sebelum tidur siang minum susu dulu. Mbak Mina, tolong ambilkan susu di kulkas untuk Franz.” Franz berlari masuk ke dalam kamar.
“Bu coba cicipi bubur kacang hijau buatan saya. Enak lho Bu, baik untuk diet ibu. Tunggu sebentar saya ambilkan dulu.” Tergopoh-gopoh wanita tua itu masuk ke dapur.
Aku melihat jam. Jadwalku siang ini tidak terlalu padat. Jam 4 sore nanti, baru aku akan mengajar lagi.
Sejak jadwal belajar Franz dipindah siang, aku merasa sedikit tidak nyaman. Setiap kali baru tiba, copu akan menarik tanganku ke meja makan. Mengambilkan piring dan sendok untukku. Dia berkata dengan meyakinkan kalau makanan dirumah itu halal karena dua pembantunya yang ikut tinggal bersama mereka muslim juga sepertiku. Berbeda dengan daerah yang mengharuskan menolak pada tawaran pertama, aku dibesarkan dalam budaya yang menganggap penolakan terhadap sebuah tawaran (tanpa alas an yang kuat) adalah hal tabu.
Copu senang memasak. Masa tuanya dilaluinya dengan menyiapkan rantang untuk anak-anaknya yang sibuk bekerja, bahkan walaupun mereka telah berkeluarga dan tinggal ditempat lain. Pernah dia marah besar karena mama Franz tidak sempat sarapan di rumah. Berkali-kali dia berkata padaku bahwa masakan yang dijual di luar banyak penyedap rasa dan bahan pengawetnya. Itu tidak sehat. Masakan yang dibuatnya jauh lebih baik, karena terjamin kebersihannya, enak, tidak mengandung bahan pengawet dan penyedap rasa, alami dan sehat.
Setiap aku datang dia memintaku makan atau minimal mencicipi hasil masakannya. Pernah dia menawariku sup bakso ayam yang dicampur kembang tahu. Saat aku bercerita bahwa itu adalah pengalaman pertama aku makan kembang tahu, copu terlihat sangat gembira. Dia menyebutkan tempat-tempat yang menjual kembang tahu tersebut, harganya, cara mengolahnya dan terbuat dari bahan apa saja. Bahkan dia menyempatkan pergi kedapur untuk memperlihatkan kembang tahu yang belum dimasak dan menawariku. Lain waktu saat aku berkata sambal yang dibuatnya enak, copu mengajakku ke dapur memperlihatkan cara memisahkan ampas cabe agar sambal yang dibuat sehat untuk lambung, tidak terlalu pedas. Dia juga mengajari cara merebus ayam dengan baik, cara memasak mie rebus yang sehat, dan lainnya.
Aku sebenarnya yakin masakan yang dibuat copu tidak mengandung daging yang diharamkan. Tapi, saat dia beberapa kali menawariku masakan daging ayam dan sapi yang dicampur rempah-rempah, aku menduga bumbu-bumbu yang digunakannya mengandung arak, bukankah difilm-film kungfu yang kutonton koki-koki memasak daging tersebut dengan campuran arak. Setahuku dalam Islam arak sama dengan khamer dan mengkonsumsi zatnya adalah haram.
Akhirnya, aku menolak tawaran makan siangnya dengan beralasan sedang ingin diet. Maka copu memberikan pendapatnya tentang sayuran apa saja yang baik kukonsumsi. Berkali-kali dia menyarankan agar aku banyak mengkonsumsi kecambah, sangat baik bagi kulit katanya sambil memperlihatkan kulitnya yang tampak awet muda. Dan hampir setiap aku akan pulang copu memasukkan beberapa apel merah besar ke dalam tasku. Supaya tetap tidak kelaparan walau tidak makan nasi, katanya.
Tiga bulan telah berlalu. Franz kini telah lancar membaca dan dikte. Dia juga bisa berhitung sederhana. Namun, copu tetap memintaku untuk melanjutkan memberi pelajaran pada Franz.
Kalau dulu setip aku datang copu selalu meneriakan nama Franz, cucunya untuk siap-siap belajar, sekarang setiap aku tiba copu akan menggiringku kemeja untuk mencicipi kue-kue buatannya. Copu akan menungguku makan sambil bercerita tentang pengalamannya yang berjuang keras sejak kecil untuk mencapai kehidupannya yang nyaman seperti saat ini. Copu juga bercerita tentang kondisi politik yang kacau, tentang pantasnya Amerika bangkrut karena orangnya malas-malas, tentang perekonomian Jepang yang maju, tentang perasaan herannya akan sifat pemimpin negeri ini yang doyan korupsi, tentang banjir dimana-mana, tentang perbaikan jalan yang tak selesai-selesai. Sementara copu bercerita, kulihat Franz berteriak-teriak kesal dimeja belajar.
Dan bila saat belajar, terdengar suaraku meninggi, meminta Franz untuk memperhatikan apa yang kutulis terdengar teriakan dari balik sopa.
“Pukul saja Bu!” Atau
“Cubit saja Bu!” Atau
“Hantam saja Bu!”
Awal April, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar