Kamis, 07 Mei 2009

Puisi Tentang Laki-laki yang Terluka (Cerpen)

Puisi Tentang Laki-laki yang Terluka
Oleh: Rismiyana
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu (1)
Aku sedang terlelap saat telepon genggam di samping komputer meneriakan lagu itu. Kuangkat wajahku dari meja. Sambil memaksa kedua kelopak mataku menyesuaikan diri dengan cahaya komputer, kuangkat panggilan itu.
Assalamualaikum! Hei, lagi sibuk apa?”
Ternyata telepon dari Nisa. Tetangga kamar kostku.
“Waalaikumsalam. Lagi jawab telepon kamu.” Jawabku malas. Aku merasa agak terganggu dengan telponnya.
“Serius uey!”
“Lagi nyari inspirasi! Tapi malah ketiduran di depan komputer. Kamu sendiri lagi apa? Nelpon jam 3 kayak gini?”
“Lagi nyari ladang buat menyemai pahala! Bangunin elu, biar Sholat Tahajud kayak gua he, he… Emang nyari inspirasi buat apa.” Kadang-kadang Nisa ber-elu gua kalau sedang kumat isengnya.
“Aku sedang tidak sholat. Biasa, buat bikin puisi, cerpen, atau esai.”
“Oh. Fitri, kita main tebak-tebakkan yuk! Coba kamu tebak sekarang hari apa?”
“Cari teman lain saja main tebak-tebakannya ya. Aku ngantuk banget!” Segera kututup telepon. Mengajukan tebak-tebakan. Apalagi tentang nama hari pada saat larut malam seperti ini adalah benar-benar pertanyaan yang tidak serius!
Dia masih berusaha menelpon. Tidak kuangkat. Malah telepon genggam kumatikan.
***
Laki-Laki Itu Sangat Terluka
Tak satu pun kata mampu menggambarkannya (2)
Tanpa sadar aku mengernyitkan keningku kemudian tersenyum saat membaca puisi yang disodorkan Nisa. Puisi yang pendek, hanya terdiri atas satu baris, namun mampu mewakili perasaan.
“Gimana?” Tanya Nisa sambil mengamati ekspresi wajahku.
Sesaat aku berpikir mencari kata-kata untuk mengomentari puisi itu.
“Bila puisi didefinisikan sebagai sebuah wadah, tempat menampung luapan perasaan, maka puisi ini adalah sebuah wadah yang baik.”
“Apa sih maksud elu? Gua nggak ngerti. Jelasin pakai bahasa biasa aja deh!” Nisa anak Fakultas Hukum, jadi wajar kalau bahasa yang dipahaminya seputar bahasa hukum! Bahasa yang jelas tanpa kiasan.
Maksudku, puisi ini bagus. Bagus karena definisi puisi yang kupahami adalah sarana pengungkapan perasaan dengan media bahasa yang indah. Emosi atau perasaan yang diungkapkan cukup dalam dan dapat dipahami. Namun, menurutku jenis puisi seperti ini biasa. Umumnya sastrawan yang sedang tersentuh hatinya atau sedang berduka karena putus cinta bisa menghasilkan puisi yang seperti ini. Jadi walau pun bagus, tetapi biasa, tidak istimewa.”
“Bener tidak istimewa? “ Nisa menatap jahil kepadaku.
“Maksudmu?”
“Kalau kamu tahu siapa laki-laki dalam puisi itu, penilaianmu pasti berubah.” Nisa berkata yakin. Dia sekarang berhenti ber-elu gua, tandanya dia mulai serius.
“Coba tebak siapa laki-laki yang terluka itu?” Sambungnya lagi.
Aku mulai merasa penasaran dengan sikap Nisa. Nisa bukanlah penyuka sastra, apalagi puisi. Jadi kalau tiba-tiba pagi minggu ini dia menyodorkan sebuah puisi dan meminta komentarku tentang puisi itu, kemudian bersikukuh puisi itu istimewa, pasti ada sebab yang melatarinya.
Tidak ada petunjuk apapun yang mengarah pada siapa sosok laki-laki dalam puisi itu. Emm, aku ada ide!
Clark Kent! Saat menyaksikan Lana Lang menikah dengan Lex Luthor!” Jawabku yakin. “ Waktu menyaksikan itu kau menangis untuk Clark dan mengatakan skripwritter dan sutradara Smallvile tidak bisa mengarahkan cerita.” Aku menahan tawa.
“Bukan!” Wajah Nisa memerah, malu. “Puisi ini bukan karyaku. Ani yang bikin. Lagi pula laki-laki dalam puisi ini nyata, real!”
Taktikku berhasil. Nisa memakan pancinganku. Kalau emosinya terpengaruh, dia sering kelepasan bicara.
“Emm, Jadi puisi itu karya Ani.” Setahuku anak itu juga bukan penyuka sastra dan untuk anak seperti dia, patah hati dan menderita karena putus cinta belum ada dalam kamusnya. “Coba beri petunjuk agar akalku bisa menelusuri jejak sosok laki-laki itu.”
Di depanku Nisa senyum-senyum.. Tampaknya dia bersiap-siap akan meninggalkan kamarku.
“Aku, kamu, dan Nisa sama-sama mengenal dan mengaguminya. Sudah ya, aku mau nyuci, nanti aku balik lagi. Kalau bisa jawab, aku kasih buku!” Teriaknya dari luar kamar.
***
Sepeninggal Nisa, aku segera mengangkat kursi ke pinggir jendela. Sambil melepas pandangan ke rerumputan setinggi lutut di seberang halaman, mulai kupikirkan siapa sosok laki-laki yang terluka dalam puisi itu.
Aku tertarik mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu. Bukan karena tergiur buku yang dijanjikan Nisa, tetapi aku memang senang menganalisis tulisan yang berkaitan dengan sastra.
Judulnya, Laki-laki Itu Sangat Terluka, maknanya jelas. Ada seorang laki-laki yang hatinya merasa sangat terluka. Juga isinya, Tak satu kata pun mampu menggambarkannya. Saking terlukanya laki-laki itu, tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan, melukiskan rasa kecewanya, pedihnya, sakitnya perasaannya. Dan kami bertiga, aku, Nisa, Ani mengenal dan mengaguminya.
Siapa ya? Memang dari kecil ada beberapa sosok laki-laki yang kukenal dan kuketahui pernah kecewa, terluka perasaannya. Tapi, hanya aku yang mengenalnya. Nisa dan Ani tidak.
Laki-laki itu terluka? Terluka karena apa?
Apakah karena bertepuk sebelah tangan, atau ditolak cintanya? Tapi, bukankah ada begitu banyak wanita lain di dunia ini yang masih pantas untuk dicintai.
Miskin tidak memiliki harta atau jatuh bangkrut? Selama helaan nafasnya masih ada, selama dia yakin rizki Allah luas, dia tak usah terlalu kecewa atau terluka karena pasti akan ada bagian untuknya.
Atau telah dihina, diusik kehormatannya? Dengan mulut, kaki, tangan dan akalnya, laki-laki itu dapat berusaha mempertahankan, mengembalikan kehormatannya. Bahkan sampai tetesan darah penghabisan! Bukankah laki-laki seharusnya begitu?
Atau, mungkinkah luka hatinya itu karena penghianatan? Bisa jadi! Bila kemarahan, sakit hati, dan kekecewaan muncul karena musuh atau orang yang dibenci, perasaan seperti itu justru memunculkan energi. Energi untuk melawan atau mempertahankan diri. Tetapi, bila kemarahan, sakit hati, dan kekecewaan ditorehkan orang yang disayangi dan dipercayai, perasaan seperti itu menghisap energi, bagaikan tusukan pisau belati tepat di ulu hati, menikam diri sendiri.
***
“Gimana?” Nisa tiba-tiba muncul di belakang dan menepuk bahuku. Aku tersedak. Puding dingin rasa jeruk buatanku yang baru saja hendak kutelan hampir keluar dari mulutku.
“Jangan membuatku kaget. Kamu kan tahu aku berpotensi kena serangan jantung.”
“Dari tadi aku memanggilmu, tapi kamunya saja yang asik melamun.” Nisa mengambil tempat duduk di seberangku. Dia lalu mengambil sendok, ikut menyendok puding di depanku.
“Asem banget!” Dia kaget dengan rasa puding buatanku itu.
Aku tertawa menyaksikan ekspresi wajahnya.
“Sudah dapat menebak siapa laki-laki itu?” Dia menanyakan tentang puisi yang dipelihatkannya kemarin.
“Belum.” Jawabku pendek. Dari kemarin hingga tadi saat dia mengagetkanku, aku masih memikirkan siapa sosok laki-laki dalam puisi yang diperlihatkannya itu.
“Tapi biasanya dari beberapa peristiwa atau teori kamu bisa menarik benang merah untuk menghubungkannya, menganalisis, dan menghasilkan sebuah kesimpulan.” Kali ini Nisa berkata dengan bersungguh-sungguh..
“Petunjuk yang kau berikan terlalu umum.” Kilahku. Aku sedang memikirkan cara bagaimana menggali informasi darinya.
Tiba-tiba dia tersenyum. Kutangkap binar usil di matanya.
“Yang jelas sosok laki-laki itu bukan Snape!” Nisa terkekeh.
Dia membalas guyonanku tentang Clark. Dua bulan yang lalu Nisa memergokiku membaca buku terakhir Harry Potter. Bukan hanya jenis bacaanku itu yang membuatnya kaget, tetapi wajahku yang basah karena air mata! Dikiranya aku sedang sedih dan menyembunyikan wajahku di balik buku itu. Dia berusaha menghiburku. Dibujuknya supaya aku bercerita tentang masalah yang membuatku menangis. Akhirnya dengan malu kuceritakan sebab air mataku jatuh.
Namun, setelah kuceritakan tentang nasib Snape, kisah cinta dan akhir hidupnya yang membuat mataku basah, Nisa bukannya ikut bersimpati. Dia terkekeh menertawaiku. Aku yang biasanya membaca novel-novel realis, kok bisa-bisanya membaca Harry Potter dan menagisi Snape yang fiktif, katanya. Waktu itu aku membela diri dengan mengatakan bahwa pendeskripsian dan pengaluran J. K Rowling lah yang kusukai dan kupelajari, bukan pemikiran yang dimuat dalam buku itu.
“Mungkin perkiraanmu salah. Hanya kamu dan Ani yang kagum padanya. Soalnya, setahuku beberapa laki-laki yang kukagumi tidak ada yang menanggung penderitaan seberat itu.” Aku merasa menemukan jalan buntu.
Ada dalam sejarah.” Kata Nisa pendek.
Dalam sejarah. Tokoh yang aku, Nisa, dan Ani kagumi! Siapa?
Sang Uswatun Hasanah kah? Tidak, bukan beliau. Walau di awal dakwah yang dilakukannya berbagai kebencian, permusuhan, dan penindasan melukai hatinya, menjelang masa kehidupan beliau seluruh jazirah Arab telah menerima dakwahnya. Pilar-pilar peradaban telah beliau bangun dengan kokoh, sahabat-sahabat pengikutnya bersedia mengorbankan apa saja untuk membela apa yang beliau bawa.
Umar dan Usman yang terbunuh? Tidak, bukan mereka. Umar menemukan syahid, cita-cita yang telah lama diidamkannya. Sedangkan Usman, beliau tidak hanya syahid, tetapi juga berkesempatan berbuka puasa ditempat-Nya. Akhir yag membahagiakan.
Pemimpin di negeri ini? Walau mereka berakhir tragis, jalan hidup dan pemikiran yang mereka emban bukanlah hal yang sepakat kami kagumi.
“Beri aku petunjuk yang lebih spesifik .” kataku pada Nisa.
Nisa menangkap keseriusan di suaraku. Ekspresi wajahnya kini ikut menampakkan keseriusan.
“1924.” Katanya lirih.
Secepat telingaku mendengar gelombang bunyi suaranya, secepat itu pula bunyi angka-angka itu mengasosiasikannya dengan sosok laki-laki itu. Sosok laki-laki yang perjuangannya, pemikirannya, jalan hidupnya sepakat kami kagumi.
Sosok laki-laki yang dengan segenap pemikiran dan usahanya, berusaha mempertahankan marcusuar peradaban yang pondasi-pondasinya telah dibangun Sang Uswatun Hasanah. Sosok laki-laki yang mengancam Perancis, bersiap akan melaksanakan jihad akbar pada Inggris yang berani mencoba mementaskan teater penghinaan terhadap Sang Uswatun Hasanah. Sosok laki-laki yang tidak tergiur dengan gunungan emas pemberian Zionis, untuk sekedar melepaskan sejengkal tanah Palestina. Laki-laki yang telah dikhianati, laki-laki yang terusir tanpa ada yang membela, laki-laki yang merasa bertanggung jawab membendung kehancuran yang akan dialami umat yang dipimpinnya….
Kami saling menatap. Nisa menangguk. Kegetiran dalam tatapan matanya menyiratkan perasaan yang serupa denganku. Tanpa kukatakan, dia telah paham kalau aku telah mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu.
“Puisi yang bagus dan sangat istimewa.” Kataku lirih. Setelah mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu, kekaguman pada kejelian memilih kata-kata, memadatkan makna ungkapan, dan keuniversalan perasaan yang diwakili puisi itu, membuat sosok Ani tiba-tiba berada sederajat dengan satrawan-sastrawan yang kukenal selama ini.
Ada sesuatu untukmu, tunggu ya.” Nisa masuk ke dalam kamarnya yang ada di seberang kamarku.
Ada kaitannya dengan Khalifah Abdul Hamid II?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum. Beberapa menit kemudian dia membawa plastik hitam dan meletakkannya di atas meja makan, di depanku.
“Untukmu.” Katanya.
Kubuka plastik hitam itu. Sebuah buku hardcover warna biru, setebal 5 cm membuatku tak dapat menyembunyikan senyumku. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, buku yang kuidam-idamkan! Aku memang sangat menginginkannya, tetapi melihat label harganya yang hampir menyentuh seratus ribu, membuatku harus menahan diri.
“Dua bulan lalu, saat kita di toko buku aku melihat kamu menimangnya. Lama sekali kamu tidak beranjak dari tempat itu. Sebenarnya aku ingin menyerahkannya malam kemarin, pas kamu genap 24 tahun. Tapi, saat aku masuk ke kamarmu, kamu sedang terlelap di depan Komputer. Aku tidak ingin mengganggumu. Pukul 3, sambil membangunkanmu untuk sholat Tahajud, aku ingin menyerahkannya lagi. Tapi kamu malah marah-marah dan mematikan Hp-mu.” Dia nampak kesal, tetapi kemudian tersenyum menatapku.
“Terima kasih.” Kataku pelan. Kelopak mataku kurasakan mulai memanas.
1: Lagu Puisi, Jikustik
2: Puisi karya Mariani
Pertengahan April 2009
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar