Senin, 18 Mei 2009

Mungkin akan Menjadi Ingatan

(Tulisan yang mungkin akan menjadi ‘ingatan’ di kemudian hari)

Minggu Pertama Mengajar Di SMPN 4 Aranio

Minggu siang, 10 Mei 2009, pekan lalu setelah memastikan temanku menyanggupi mengeposkan novel untuk kuikutkan ke sayembara penulisan buku pengayaan untuk guru, dengan mengendarai sepeda motor aku berangkat dengan tujuan menuju SMPN 4 Aranio. Rencananya bersama tiga guru lain yang juga ditugaskan mengajar di SMPN 4 Aranio, untuk pertama kalinya aku akan mengunjungi sekolah itu, sekolah yang beralamat di Desa Rantau Bujur. Sesuai kesepakatan hari Kamis sebelumnya, kami akan berkumpul di rumah kepsek yang rumahnya ada di dekat Simpang Empat Banjarbaru.

Aku berangkat dari Banjarmasin pukul 11.45 Wita dengan membawa ransel dan tas berisi perbekalan selama beberapa hari. Sekitar pukul 12.30 Wita aku sampai di Banjarbaru dekat daerah Bandara mampir di rumah sepupuku, Kak Sarah untuk sholat Zuhur.

Sekitar jam 13 Wita melanjutkan ke rumah kepsek. Di sana teman-teman sesama guru sudah menunggu. Bersama kami akan berangkat 2 orang guru lama, yaitu Ibu Fatmi dan Ibu Maya. Ibu Fatmi kemudian membonceng padaku. Ibu Maya diantar oleh suaminya.

Tidak sampai 10 menit berjalan hujan dengan lebat mengguyur. Sempat mampir beberapa kali akhirnya aku dengan jaket seadaanya memilih menerobos hujan. Menurut infomasi dai Bu Fatmi, Pak Sadi pemilik kelotok yang akan kami tumpangi sebentar lagi akan bertolak.

Medan jalan dari rumah kepsek menuju bendungan PLTA Riam Kanan baru pertama kali itu kutempuh.Aku masih belum hapal arah jalan dan letak belokan dan tempat yang rusak. Jadinya aku mengendarai sepeda motor sekenanya. Genangan air hujan yang membentuk lumpur membuat lobang-lobang di atas jalan tidak terlihat. Jalan yang terus menanjak dan berkelok-kelok menjadi tantangan cukup berat.

Setelah mengendarai sepeda motor hampir satu jam, kami tiba di tempat penyeberangan yang ada di samping bendungan PLTA Riam Kanan. Sepeda motor kami titipkan di tempat parkir khusus penitipan selama beberapa hari. Kemudian satu-persatu kami menaiki kelotok Pak Sadi. Ternyata penumpang kelotok itu hanya berdelapan. Pak Sadi sendiri, keempat kami guru baru, dua guru pemandu, dan satu orang pemuda yang kuduga semacam karnet kelotok.

Dari Bu Fatmi juga kudapatkan informasi kalau kelotok yang mengangkut penumpang ke Desa Rantau Bujur hanya ada satu, rutenyapun hanya sekali, yaitu antara pukul 14.00 dan pukul 16.00 Wita. Begitu pula dari Desa Rantau Bujur ke daerah Bendungan PLTA Riam Kanan hanya ada satu kali, yaitu pada pagi hari sekitar pukul 06.00 Wita.

Kira-kira pukul 14.30 Wita kami bertolak ke Rantau Bujur. Pemandangan pada sore hari, setelah hujan di atas waduk Riam Kanan sangat eksotis. Air waduk sangat jernih dan berwarna kehijauan. Lebar waduk, kira-kira 1 Km, membuat waduk seperti sebuah danau. Pohon-pohon rindang tumbuh rimbun di sepanjang pinggir waduk, di belakang pohon-pohon itu, bukit-bukit dari gugusan pegunungan Maratus yang berwarna hijau tua menjadi latar yang sangat indah. Di atas bukit-bukit itu kabut putih tipis tampak melayang-layang.

Dari beberapa cerita yang kudengar, waduk itu dulunya adalah 12 desa yang ditenggelamkan karena pembuatan bendungan. Dalam waduk mencapai hampir 90 M. Dengan kata lain, sepanjang tepi waduk yang kami lihat ditumbuhi pepohonan tersebut sebenarnya adalah puncak-puncak bukit yang tidak tenggelam. Kelotok tidak berani berjalan terlalu laju. Kelotok juga hanya berjalan di tengah waduk karena batang-batang pohon menyembul di sepanjang tepi waduk. Walau telah mati, pohon-pohon itu masih terlihat belum rapuh, sangat mungkin untuk melobangi bagian bawah lambung kelotok.

Satu jam pertama setelah puas menyaksikan pemandangan di sepanjang tepi waduk, aku teringat niatku menulis sebuah artikel tentang sastra islami. Kukeluarkan buku Hakekat Berpikir karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, dan mulai serius membaca. Udara sejuk dan sepoi angin yang bertiup kuharapkan mampu menjernihkan pikiran sehingga isi buku itu benar-benar kupahami. Walau beberapa kali menamatkan buku itu, terkadang aku perlu mengulangi membacanya pada bagian-bagian tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang mengkristal.

Baru kira-kira setengah jam membaca, udara di atas waduk menjadi sangat dingin. Angin bertiup juga lebih kencang. Gerimis kecil yang menyertai laju kelotok sejak dari bendungan PLTA Riam Kanan beubah menjadi hujan lebat. Jendela kelotok pun segera ditutup mengindari air yang merembes masuk.

Tiga orang temanku yang tadinya tampak cerah ceria, sama sepertiku tampak mulai bosan berada di dalam kelotok. Pak Badrun dan Pak Rifani yang duduk di dekat mesin kelotok seperti tak terganggu dengan nyaringnya bunyi mesin yang ada di dekat mereka. Mereka tampak mulai terlelap. Pak Firdaus yang duduk berseberangan denganku sejak sebelumnya sibuk dengan radio di Hp-nya beberapa kali merubah tempat duduk, tampak gelisah. Dua guru pemandu kami masih ramai dengan celotehannya. Mereka berdua dan Pak Sadi terlibat obrolan di dekat kemudi, sesekali gelak tawa mereka bersaing dengan bunyi mesin kelotok. Di pojok paling belakang, pemuda yang kukira karnet kelotok tampak melamun. Sejak setengah jam lalu sinyal operator Hp telah hilang sama sekali. Kelotok melaju agak melambat karena hujan dan angin kencang.

Setengah jam kemudia aku merasa makin bosan, walau hujan masih lebat angin tidak lagi bertiup kencang. Setelah meminta pesetujuan teman-temanku itu, kubuka terpal yang menutupi sisi kiri kelotok. Pemandangan eksotis sepanjang tepi waduk tersaji lengkap dengan jarum-jarum tabir air hujan, titik-titik air yang membentuk ribuan lobang di atas arus waduk. Pemandangan dan suasana yang sejak lama kusenangi.

Kuusir kebosanan dengan mendengarkan lagu Padi yang kurekam dan kujadikan nada dering Hp-ku. Suara mesin dan air hujan yang jatuh menyentuh bagian atas kelotok yang terbuat dari seng, membuat Hp harus kuletakkan dibelik teliga seperti sedang menelpon.

Kira-kira pukul 17.00 WITA, sepetinya kami telah sampai di ujung waduk, kelotok yang kami tumpangi masuk ke sebuah anak sungai. Sepuluh menit kemudian, kelotok merapat ke sebuah dermaga sederhaa tempat beberapa perahu di tambatkan. Kami telah sampai di Desa Rantau Bujur. Tempat yang (selama paling tidak dalam kurun 5 tahun) akan kami akrabi, kami kunjungi, dan kami tinggali.

Setelah membayar ongkos masing-masing Rp 10.000, kami bergantian naik ke tepian sungai. Kami kemudian diajak berjalan kaki. Tanah merah yang baru saja disiram air hujan membentuk lumpur di telapak alas kaki yang kami pakai. Jalan terus menanjak ke atas. Sekolah dan rumah yang menjadi pondokan kami ada di atas bukit perkampungan desa Rantau Bujur.

Untuk sebuah desa, Rantau Bujur memiliki insfrastruktur yang cukup baik. Rumah-rumah terbuat dari papan kayu hampir berbentuk seragam, tampak sederhana dan nyaman. Jalan utama desa cukup lebar, kira-kira 4 M. Yang mengagumkan, walau rumah-rumah mereka sederhana, mesjid yang dibangun di tengah kampung cukup besar dan sangat indah, lantai dan dindingnya terbuat dari semacam batu marmer (mungkin). Di dekat mesjid berdiri madrasah yang beroperasi pada siang hari, setelah selesai menimba ilmu di sekolah umum, anak-anak kampung ini akan bersekolah di sekolah agama Islam ini. Di belakang perkampungan penduduk, berbagai pohon buah-buahan menjulang, tumbuh subur membentuk hutan. Dilihat sekilas saja, tanah di desa ini sangat subur.

Pukul 17.30 Wita, kami tiba di komplek sekolah. Dinding bangunan sekolah tebuat dari papan kayu sedangkan lantainya ubin dari keramik. Untuk sementara kami menempati rumah (atau tepatnya pondok) dinas. Sebuah rumah panggung terbuat dari kayu. Rumah itu dibagi dua, dengan sekat diniding di tengahnya sehingga seolah menjadi dua rumah kembar. Aku, Bu fatmi, dan Bu Maya menempati rumah bagian kiri yang memang biasanya diperuntukkan untuk guru perempuan. Sedangkan ketiga temanku yang lain menempati rumah bagian kanan yang biasanya ditempati kepala sekolah dan isterinya.

Sesaat setelah kami tiba, listrik dinyalakan. Di sini listrik hanya beropeasi pada malam hari. Perjalanan yang cukup melelahkan dari Banjarmasin ke Rantau Bujur membuat malam cepat belalu.

Besoknya pukul 08.00 sekolah baru dimulai. SMPN 4 Aranio adalah sekolah satu atap, artinya memiliki bangunan satu komplek dengan SD dan kepala sekolahnya hanya satu orang saja. Pagi itu murid-murid SD sedang libur karena anak-anak kelas 6 sedang menghadapi UAN di sekolah SD yang berada di dekat Bendungan PLTA Riam Kanan, selama beberapa hari mereka menginap di sana.

Bekas hujan pada hari sebelumnya membuat lapangan di halaman sekolah tanahnya mejadi gembur. Sepatu yang kukenakan tebal dengan tanah kemerahan itu. Dan ternyata siswa-siswa di sekolah tempatku ditugaskan mengajar ini tidak memakai sepatu, semuanya menggunakan sandal jepit. Kelas VII bejumlah 9 orang. Kelas VIII berjumlah sekitar 12 orang. Kelas IX libur karena telah menghadapi UAN, mereka membantu keluarganya yang sekarang sedang panen padi di sawah tadah hujan yang tersebar di lereng dan atas bukit.

Ada perbedaan yang kontras dalam menghadapi siswa-siswa yang tinggal di perkotaan dengan siswa-siswa di pedesaan seperti yang sedang kuhadapi ini. Murid-murid yang pernah kuhadapi diperkotaan, dalam hal ini Banjarmasin, terbiasa hidup dalam persaingan dan ritme yang cepat, sumber dan arus informasi yang tersedia lancar, rasa percaya diri yang cukup dan media belajar yang mendukung. Kendala utama yang dihadapi guru perkotaan adalah mensuasanakan kondisi belajar yang tenang dan kondusif. Ini dikarenakan siswa diperkotaan memiliki kecenderungan untuk sibuk dengan ‘gossip’ mereka masing-masing.

Sedangkan siswa-siswa yang kuhadapi di Desa Rantau Bujur ini adalah siswa-siswa yang tinggal di alam pedesaan yang sunyi. Ritme hidup agak monoton, lambat, dan tenang. Arus informasi (dikarenakan listrik yang ada hanya malam hari dan letaknya yang terisolir) lambat. Di dalam kelas, mereka dengan kepolosan, keluguan, menyiapkan diri menerima informasi-informasi dari guru mereka. Masalah yang dihadapi guru sebagai pengajar adalah membiasakan siswa-siswa ini berfikir cepat. Karena informasi yang mereka terima terbatas, kosa kata yang mereka kuasai juga terbatas.

Padahal kemampuan berfikir siswa sangat ditentukan oleh penguasaan kosa kata yang dipahami siswa tersebut.. Ini dikarenakan bahasa adalah alat yang digunakan dalam berfikir. Keterbatasan mereka itu menuntut guru agar menggambarkan dengan gamblang realitas dari informasi-informasi (bahasa) sebagai maklumat awal untuk proses berfikir yang akan mereka lakukan.

Demikianlah, selain mengajar di sekolah, pergi ke puncak bukit yang lebih tinggi untuk mendapat sinyal Hp, melapor pada kepala desa, dan melakukan kegiatan lainnya, hari Rabu kami kembali ke Banjarmasin. Untuk sementara kami akan bergantian mengajar di sana, tiap orang memiliki kewajiban 3 hari mengajar, sisanya yang tidak kena tugas mengajar dibolehkan kembali ke Martapura atau Banjarmasin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar