Selasa, 26 Mei 2009

Tentang Laskar Pelangi dan The Kite Runner


ini esai yang kutulis tahun 2008 lalu. sudah dimuat di Radar Banjarmasin rubrik Cakrawala.


Tentang Laskar Pelangi dan The Kite Runner

(Rismiyana)

PUZZLE 1

Di tengah lalu lalang lalu-lintas Jalan A Yani KM3 Banjarmasin mata saya penangkap tulisan tidak lazim THINGKING. Tulisan itu tercetak besar-besar di kaca depan sebuah truk pengangkut barang. Tidak lazim karena biasanya sebuah truk bertulisan “Kutunggu Jandamu”, “Doa Ibu”, “Titipan Ilahi” dan tulisan-tulisan berisi pesan sejenis. Bagi saya kata ‘thingking’ identik dengan kata ‘thinking’ yang berarti berpikir. Kata ‘thinking” identik dengan sebuah buku karya pemikir cemerlang yang saya kenal. Karena "The Thinking", adalah versi terjemahan dari kitab ‘At Tafkir” atau dalam bahasa Indonesia “Hakekat Berpikir” dari pemikir yang saya kagumi itu, maka truk bertulisan THINGKING tersebut melekat dalam ingatan, disertai sebaris pertanyaan “Mengapa truk itu bertuliskan THINGKING bukan Thinking?”

PUZZLE 2

April 2007, Di Sebuah Toko Buku

Dalam ketenggelaman pikiran pada judul buku-buku yang berderet, dari pengeras suara dipromosikan buku yang sedang bestseller, Laskar Pelangi. Beberapa kali promosi itu diulang. Mata saya langsung menemukan buku itu. Ada beberapa seri. Saya baca ringkasan di sampul belakang buku. Tak lama, saya alihkan pandangan pada buku lain. Diantaranya, Winnetou II Si Pencari jejak, Karl May yang kemudian saya bawa pulang.

PUZZLE 3

Desember 2007, Kontrakan Sepupu

Berkunjung ke kontrakan sepupu. Teman sekontrakannya yang juga seorang dosen kedatangan seorang tamu. Tamu itu menyebut-nyebut nama Ikal, tokoh dalam buku yang sedang ia ceritakan. Saya terpesona . Bukan pada isi buku yang ia ceritakan, tetapi wajahya yang terlihat sangat bahagia saat menceritakan isi buku tersebut. Samar-samar saya dengar perkataannya, “Laskar Pelangi…., Lintang…, Sang Pemimpi….”

PUZZLE 4

Januari 2008 Perpustakaan Daerah A Yani KM 7

Membaca koran-koran yang terbit hari Minggu. Di salah satu koran itu, Jawa Pos dimuat artikel yang berisi ulasan tentang buku. Ditulisnya bahwa sepanjang 2007 ada 2 buku yang sangat berkesan baginya. Yang seandainya penulis buku itu adalah muridnya, dia pasti akan sangat bahagia. Buku itu, menurutnya seringkali dia promosikan bahkan kadang-kadang ia hadiahkan pada teman-temannya yang berprofesi guru. Buku itu menurutnya memuat kejujuran dan mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan pada kondisi yang memprihatinkan sekalipun.

Buku itu adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Dan saya yang membaca artikel itu , sungguh, merasa jatuh hati pada buku itu. Buku yang belum saya baca!

PUZZLE 5

Perpustakaan STKIP

Mungkin karena saatnya telah tiba. Dan mungkin pula kerena keberuntungan ada di pihak saya, saat mengunjungi seorang teman yang berprofesi sebagai pustakawan, mata saya terfokus pada buku yang ia pegang. Sang pemimpi, buku kedua Laskar Pelangi.

Kurang lebih seminggu kemudian ketiga novel karya Andrea Hirata; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor ditambah 1 buku karya TetsukoKuroyanag, Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela, saya barter dengan 1 buku karya Pram, Bumi Manusia.

Ternyata, membaca Laskar Pelangi, apalagi bagi saya yang melewati masa kanak-kanak di lingkungan melayu pedalaman, Sumatera Selatan, seperti kembali ke masa lalu. Pertemanan, permainan, keadaan sekolah yang memprihatinkan, bahkan pigur ayah, membuat kenangan seperti dihadirkan.

Saat membaca Laskar Pelangi saya seolah diajak Andrea untuk turut merasakan keceriaan dan kegembiraan masa kecil anggota Laskar Pelangi, sekaligus merasakan kesedihan dan penyesalan saat Lintang sang jenius harus putus sekolah. Pun membaca Sang Pemimpi, saya seolah berada bersama Arai yang bocah, yatim piatu di tengah belantara ladang tebu tak terurus, merasakan kepiluannya saat menanti ayah Ikal yang akan menjemputnya. Membaca Edensor, menertawakan Arai yang menerima hukuman atas kejahilan masa kecilnya, makin menguatkan saya bahwa sekecil apapun peristiwa yang kita perbuat, lalui, saling memiliki keterkaitan dengan masa depan.

Sebuah kegembiraan harus dibagi! Terutama bagi mereka yang saya ketahiu juga menyukai buku. Saya kirimkan sms yang sama pada mereka. Balasannya macam-macam. Yang telah membaca mengiyakan kalau buku itu bagus (walau tuturannya bukan jenis yang disukainya), yang belum membaca menanyaka penerbit, took yang menjual dan berjanji akan membeli atau minimal meminjamnya.

Dan beberapa hari kemudian saat masuk SMS dari seorang sastrawan dan esais senior yang tinggal di Yogyakarta, yang berisi komentar meninggalnya mantan Presiden Soeharto, kegembiraan itu masih ingin saya bagi. “Saya baru bca Laskar Pelangi, Andrea Hirata, bkin ktawa2, bkn sedh.bhkan bkin nangis saat Lintang sang jenius harus putus skolah. Jd supir truk. Bda bnget nsibx dgn Taiji yg jdi ilmuan dlm Totto-Chan..2 novel yg menggmbarkan prbedaan realitas pndidikn Indonsia-Jepang. Sudah bca bukunya?” Demikianlah isi SMS saya.

Satu bulan sebelumnyaterjadi perdebatan antara kami. Saat itu saya mengatakan bahwa kritik dalam sastra adalah penguat. Beliau membantah pendapat saya itu, menurutnya kritik dalam sastra adalah penyadaran.

Saya terima balasannya, “Anda belom ngerti apa itu seni, apa itu sastra. Semuanya dicampur aduk! Tidak semua yang dinovelkan itu seni Sastra! Kalo gak ngerti gak usah masuk dunia sastra, ikut dunia …..(beliau menyebutkan nama penerbit buku) dkk aja!” (16:17:29)

Kritik untuk Laskar Pelangi

Saya sependapat dengan pernyataan An Nabhani dalam Hakekat Berfikir yang menyatakan bahwa karya sastra berkaitan dengan rasa (taste). Seperti hanya masakan, ia ditentukan oleh selera. Saya bisa berpendapat bahwa sarden, merek apa saja akan terasa lezat bila saat memasaknya ditambahkan satu sendok teh garam dan beberapa potong cabe. Akan tetapi, saya tidak dapat memaksakan selera saya itu kepada seorang teman yang justru memasak sarden dengan menambah satu sendok teh gula dan kecap manis. Karena itulah masakan yang lezat menrutnya.

Jadi, saya tidak marah atau pun kesal (karena diungkapkan dengan cara yang baik) saat seorang teman menyatakan bahwa Laskar Pelangi hanya mampu membuatnya bertahan di Bab 4. Bahwa dia menemukan ada beberapa bagian dalam cerita itu yang tidak bisa diterima logikanya.Bahwa percakapan antara Ikal (panggilan untuk Andrea kecil) dengan teman-temannya anggota Laskar Pelangi, tidak mencerminkan percakapan yang keluar dari mulut kanak-kanak (tetapi lisan Andrea yang jebolan S2). Itu menurutnya sangat berbeda dengan percakapan antara Amir dan Hassan dalam The Kite Runner. Walau begitu. Saya tetap berpendapat justru dari segi bahasa yang digunakannya lah, Andrea mampu menjadikan cerita sehari-hari masa kecil menjadi bermakna dan menarik.

Antara Laskar Pelangi dan The Kite Runner

Novel The Kite Runner yang ditulis Khaled Hossein memang bagus. Dari segi penokohan, di dalam novel ini pembaca akan menemukan tokoh-tokoh utuh. Amir yang ditampilkan dari berbagai sisi; baik dan buruk. Sosok Hassan yang tanpa pamrih dan bernasib memedihkan, Ayah Amir, ayah Hassan dan sosok bocah anak laki-laki Hasan adalah tokoh-tokoh yang mampu ‘dihidupkan’ pengarang.

Dari sisi konflik, novel ini memuat tragedi kemanusian dengan cara yang manis sekaligus pedih. Persahabatan yang dikhianati, ketegangan hubungan ayah-anak, penyesalan, ketakutan yang manusiawi, semuanya tersaji lengkap. Demikian pula bila dilihat dari segi setting cerita, deskripsi pengarang mampu membawa imaji pembaca pada tanah Afganistan dan berbagai konflik di sana. Pembaca seolah menyaksikan bukit kecil yang biasa dikunjungi oleh Amir dan Hassan, layang-layang yang di mainkan Amir, dan menyaksikan Amir yang ketakutan di persembunyian saat Hassan di Sodomi.

Penokohan, konflik, setting, dalam novel itu dijalin dengan alur yang menarik. Sepanjang cerita, secara bertahap, rahasia demi rahasia terbuka, membuat keterkejutan pembaca, saat Hassan diberitahukan bersaudara dengan Amir, sama dengan yang dialami tokoh dalam cerita.

Menamatkan The Kite Runner kemungkinan besar menarik pembaca pada cara pandang yang lebih dewasa. Sayangnya, Taliban yang mewakili representasi dari Islam Fundamentalis, dalam novel ini dilihat dari 1 sisi, kekejamannya. Sehingga opini yang terbangun tentang Afganistan dan Taliban sama dengan yang tergambar dalam buku ini. Dan akhirnya, pembumihangusan AS terhadap Afganistan yang dikuasai Taliban menjadi sebuah pemakluman. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan penerbitan dan penyebaran buku ini didukung oleh banyak pihak (pihak-pihak yang memiliki kepentingan ideologi dan politik tentunya).

Sedangkan pada Laskar Pelangi, antar tokoh, misalnya kesepuluh Laskar Pelangi, hamper tidak ada konflik yang cukup berarti. Tidak ada penghianatan. Tidak ada alur yang mengejutkan. Kesepuluh anggota Laskar Pelangi, kecuali Ikan dan Bondenga (yang diceritakan sekilas) adalah sosok-sosok yang menjalani masa kecil tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain yang kehidupannya terpinggirkan, melarat, di negeri yang kaya sumber daya alam yang melimpah ini.

Yang, menurut saya istimewa dan membuat saya menikmati buku ini adalah bahasa yang digunakan Andrea Hirata. Andrea (setelah saya uji coba dengan teman-teman saya) mampu mengajak pembaca ikut nyengir, tertawa, meneteskan air mata. Bahkan saat saya sengaja menyodorkan buku kedua Laskar Pelangi, yaitu Sang Pemimi, langsung pada Bab 2 yang berjudul Simpai Keramat, sama seperti saya dia juga meneteskan airmata.

Andrea mampu menjadikan cerita pengalaman masa kecinya, keseharian bersama teman-temannya, dengan alur cerita yang biasa-biasa saja, menjadi bermakna, tak kalah menarik dengan novel The Kite Runner yang ditulis Khaled Hosseini. Kalau Hosseini menampilkan karya yang kompleks, dalam dan lumayan berat sehingga menurut saya hanya cocok untuk dibaca anak SMU ke atas; Andrea justru sebaliknya, cerita Laskar Pelangi ringan, mudah dicerna namun membekas, dan cocok untuk segala usia.

Karena dalam pemahaman saya, sebuah karya sastra adalah tulisan yang menggunakan pilihan bahasa tertentu, yang ditujukan agar mampu mempengaruhi perasaan pembaca, maka The Kite Runner dan Laskar Pelang (termasuk Sang Pemimpi dan Edensor) terkategori dua karya sastra. Karya sastra yang terkategori bagus. Pendapat saya itu tidak akan berubah. Tidak peduli seandainya ada sastrawan tingkat internasional sekalipun menyatakan kedua buku itu jelek atau bukan terkategori karya sastra!

PUZZLE 6

Kira-kira beberapa minggu lalu, di kawasan Kayutangi, truk bertulisan THINGKING yang saya ceritakan di bagian awal saya temui terparkir manis. Kata ‘thingking’ itu mengusik ingatan. Bukan hanya pada buku Thinking karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang saya kagumi, tetapi juga pada sosok Lintang salah satu tokoh dalam Laskar Pelangi (yang dibagian akhir diceritakan menjadi supir truk pengangkut pasir). Di benak saya muncul pertanyaan baru, “Mungkinkah Lintang memiliki kaitan dengan truk yang bertulisan THINGKING itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar