Minggu, 13 Februari 2011

Cerita Dua Dosenku Tentang Pram

Sejak tiga bulan terakhir anak-anak Haqo (Haraqah el-Qalam) cabang STKIP Banjarmasin beberapa kali memintaku menjadi pemateri dalam pertemuan mereka. Semangat mereka untuk menulis berbagai jenis tulisan berupa esai populer, cerpen, artikel opini mengingatkan bagaimana dulu bersemangatnya aku membuat berbagai tulisan dengan karakter yang berbeda-beda. Tulisan-tulisan yang bila kubaca sekarang membuatku menyadari bahwa aku dulu 'sesemangat itu'. Tulisan-tulisan yang kadang membuatku mengingat kembali masa-masa yang hanya bisa ditelusuri jejaknya dalam rentetan huruf-huruf yang tereja....
salah satunya esai ini yang kukirim ke Radar Banjarmasin tanggal 25 November 2006 dan dimuat di RB (kalau tidak salah) keesokan harinya.

Cerita Dua Dosenku Tentang Pram
(Satu Dari Beberapa Esai Tentang Pramodya Ananta Toer)

Dalam sebuah perkuliahan, seorang dosen dalam paparannya menceritakan tentang Pram; karya-karyanya, nasib karya-karyanya tersebut, dan ketidakadilan yang diterimanya baik dari pihak sesama sastrawan maupun rezim yang berkuasa.

Entah disadari atau tidak oleh dosen tersebut (selanjutnya ditulis sebagai Sang Dosen), seorang mahasiswa (selanjutnya ditulis sebagai Si Mahasiswa) yang berada di barisan depan dan baru beberapa bulan menyandang predikat mahasiswa, menangkap dengan jelas pancaran kekaguman Sang Dosen pada sosok Pram dan karya yang dihasilkannya. Di awal perkuliahan Si Mahasiswa telah mendengar sepak terjang dan keeksentrikan dosen yang hobi berjins ria ini. Dan minggu-minggu di awal perkuliahan, ego usia mudanya dan semangat untuk menunjukkan eksistensi diri mendorongnya untuk duduk di urutan depan, dan saat Sang Dosen menjelaskan materi perkuliahan, dengan berani ia tentang mata Sang Dosen, dalam dan lama. Setelah mencoba beberapa kali, ia akhirnya berkesimpulan: walau tak mampu membuat mata itu menunduk, mata itupun tak membuatnya gentar. Dan setelah menangkap kekaguman Sang Dosen pada sosok Pram, ia kembali berkesimpulan, untuk mengetahui kualitas pemahaman Sang Dosen terhadap sastra dan kehidupan, ia akan melihat pada kualitas karya-karya yang dihasilkan sastrawan yang dikagumi dosen tersebut, yaitu Pram.

Sayangnya, seiring bergulirnya waktu dan menginjak tahun ketiga perkuliahan, tetralogi Pulau Buru karya Pram yang pernah diceritakan Sang Dosen belum juga ia baca. Termasuk karya-karya Pram yang lain. Ia malah disibukkan dengan kajian intensif yang mentransfer pemikiran dalam kitab-kitab terjemahan karya An Nabhani. Dari kitab-kitab itu, ia belajar bagaimana membangun landasan berfikir dan berbuat dengan pondasi akidah, juga bagaimana membentuk kerangka berfikir dalam memandang manusia, alam semesta dan kehidupan, sekaligus cara memetakan ketiga realitas tersebut. Ia pun mulai belajar mencermati konstelasi politik dunia sejak zaman Rasulullah Saw. hingga George W Bush berkuasa. Dasar-dasar pemikiran ideologi-ideologi yang pernah dan sedang mendominasi dunia mulai tercakup di benaknya.

Pemahaman yang mulai tumbuh tentang ideologi itu pula yang kemudian mengilhami Si Mahasiswa itu dan teman-temannya untuk memanfaatkan kedatangan seorang aktivis LSM yang berskala nasional dan memiliki jalan hidup cukup fenomenal, menjadi pembicara dalam semacam seminar yang mereka adakan. Seminar tersebut, tentu saja bertemakan tentang pengaruh ideologi terhadap karya sastra. Dan sebagai pembicara tandingan, Sang Dosen, pengagum Pram lah yang dipilih.

Sebelum seminar dimulai, Si Mahasiswa telah mereka-reka dan berharap, pastilah Sang Dosen akan mengutip pikiran-pikiran politik dalam karya-karya Pram sebagai bahan presentasi. Si Mahasiswa berkeinginan membandingkan pikiran-pikiran Pram tersebut dengan pikiran-pikiran sastrawan dunia yang telah ia baca dan dikaguminya, seperti John Steinback, Yoshikawa, C Neither, dan yang lainnya. Karena, bukankah Sang Dosen pernah menceritakan bahwa penghargaan bertarap internasional telah dianugerahkan pada karya-karya Pram. Pemikiran-pemikiran besar telah tergambar di benaknya.

Akan tetapi, entah atas pertimbangan apa, Sang Dosen yang menggunakan makalah dan LCD, dalam presentasinya sama sekali tidak membahas Pram dan karya-karyanya. Saat membahas tentang karya sastra yang bersifat sosial dan humanis, beliau hanya mengutip beberapa bagian dari isi sebuah buku kumpulan cerpen yang masih fresh, baru terbit dan ditulis oleh pengarang-pengarang yang telah dikenal oleh Si Mahasiswa.

Mendekati akhir seminar itu, di depan Sang Dosen, di urutan belakang barisan peserta seminar, Si Mahasisa tampak kecewa. Ia kini merasa telah mengetahui kualitas pengarang yang dikagumi Sang Dosen. Terbentuklah asumsi di kepalanya; “Karya-karya Pram hanya selevel karya pengarang-pengarang dalam kumpulan cerpen yang dikutip Sang Dosen. Pram bukan apa-apa, hanya pengarang biasa. Bahkan, kalau aku menghasilkan karya sasta, mungkin karyaku itu akan lebih baik darinya.”

Mendekati akhir perkuliahan, Si Mahasiswa mulai bingung. Ia akan menulis skripsi, tapi tentang apa? Ia pun mendatangi seorang dosen lain, yang rajin mengkritisi tulisan-tulisan sastrawan di daerah ini. Walau menurut Si Mahasiswa, dosen muda itu (selanjutnya disebut sebagai Dosen Muda) tampak sering kali berusaha mematahkan pendapat dan pemikiran yang diutarakannya, tokh beliau selalu bersedia berdiskusi dengannya, bahkan ketika Si Mahasiswa mengutarakan ide-idenya yang ekstrim tentang sastra sekalipun.

Entah mengapa, ketika ditemui di ruang dosen, Dosen Muda menyebut-nyebut Pram. Ia menceritakan tentang karya-karya Pram yang sangat terkenal dan banyak mendapat penghargaan di luar negeri, tetapi tidak dikenal dan diasingkan di negeri sendiri. Namun, Si Mahasiswa tidak tertarik mendengar uraian tentang Pram, apalagi untuk menelitinya. Untuk apa meneliti karya Pram, tokh ia pengarang biasa-biasa saja, pikir Si Mahasiswa. Beberapa waktu kemudian, Si Mahasiswa mengutarakan niat untuk membahas pengaruh pemikiran pengarang terhadap karya yang dihasilkannya, setelah mendebat keinginan Si Mahasiswa habis-habisan, Dosen Muda itu kemudian meminjamkan tesis seorang akademisi Malaysia yang meneliti karya-karya Pram. Walau membuat buku yang dipinjamkan itu lecek, Si Mahasiswa hanya membaca di bagian kerangka teori dan sedikit paparan riwayat hidup Pram.

Akhirnya, tibalah saat bagi Si Mahasiswa, diberi hak untuk mengikuti yudisium. Ia pun telah menghasilkan beberapa karya sastra. Ada yang memenangkan lomba. Ada pula yang sekadar dimuat di media massa lokal.

Beberapa minggu setelah pelaksanaan yudisium, ia berkunjung ke salah satu kost seorang kawan. Keluar dari kost itu, tas yang dijinjingnya terasa lebih berat karena dimuati oleh buku setebal 412 halaman.

Dan malamnya, saat membuka dua halaman pertama buku setebal 412 halaman itu, Si Mahasiswa terpukau. Malam itu, dia hanya mencukupkan untuk membaca dua halaman pembuka. Pembuka yang memukau, pikir si mahasiswa, bahasanya sederhana, indah dan memiliki kedalaman makna.

Malam-malam berikutnya, saat membaca lembar demi lembar isi buku tersebut tampak kening Si Mahasiswa berkerut-kerut, bibirnya menahan senyum, dan di beberapa bagian isi buku itu ia tak dapat menahan tawa terkekehnya. Ya! Buku cetakan ke-6, yang sampulnya didominasi warna biru, berjudul Anak Semua Bangsa bagian kedua tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer tersebut, benar-benar membuatnya menyadari bahwa betapa naifnya asumsi yang tertanam di benaknya terhadap Pram selama ini. Munculnya rasa kagum saat menemukan bagian-bagian memukau dalam buku Pram itu, juga dibarengi dengan munculnya kesadaran diri bahwa karya-karya yang dihasilkannya selama ini bila dihadapkan dengan karya Pram laksana kacang Ijo VS raksasa Buto Ijo. Dirinya dan karya yang dihasilkannya masih bau kencur di hadapan Sang Master sastra itu.

Saat itu rasanya ingin sekali diketiknya pesan untuk Sang Dosen, “Pak…! Karya Pram, Anak Semua Bangsa, Bagus!” Juga kepada Dosen muda, “Pak, saya mau menulis esai tentang Pram!” Tapi, itu tak dilakukannya. Selain tidak sopan, kedua dosen itu mungkin akan kaget dan tidak mengerti duduk permasalahan.

Akhirnya, Si Mahasiswa yang adalah penulis esai ini mengakui, di bidang teks sastra, Pram adalah The Master. Tidak percaya? Jangan berasumsi! Baca saja sendiri.





.