Kamis, 24 September 2009

Curhat

Tadinya, aku mau menulis pengalaman pulkam pas liburan lebaran kemaren. Tapi, pas datang ke warnet, kata pamannya warnetnya sudah penuh. Padahal kedatanganku ini yang ke dua kalinya! Tadi siang juga datang tapi penuh. Karena males turun ke bawah, capek dan haus banget (lagi puasa, bayar denda Ramadhan kemaren), aku dan temanku duduk saja di depan warnet. Kurang 10 menit, penjaga warnet satunya datang. Kemudian setelah duduk beberapa menit, dia nyuruh masuk. Ternyata, bagian dalam ruangan yang ber AC, tadi sengaja gak di buka, mungkin karena listrik baru saja nyala. Nah, terus paman warnetnya wanti-wanti, "Sampe jam 6 saja ya. Abis itu tutup." :( Padahalkan sudah jam 5 lewat! Jadinya, mood nulisku jadi ilang! Tapi karena sudah niat dari awal mau ngisi tulisan di blog ini yah sudah aku tulis saja tulisan yang ngak perlu waktu lama dan ngak terlalu serius mikirnya. Apa ya...
Tadi sebelum ke sini aku ke toko buku islami, Al Azhar. Ngeliat-liat buku yang mungkin menarik, belum aku baca, aku belum punya, dan teman kostku juga belum punya (kedua teman kostku punya buku banyaaak banget! Sudut-sudut kost penuh dengan buku-buku mereka. Tidak jarang 1 buku ada tiga eksemplar, soalnya kami sama-sama pengen beli). Nah, tanpa sengaja aku melihat bagian VCD, tercantum nama Syaikh Sa'ad Al Ghamidy (penulisan namanya lupa, tadi VCD nya sudah aku taruh di kost) dan ada gambar orangnya. Dia Itukan yang suaranya sering aku putar di winamp komputer di kost. Walau di komputer ada beberapa orang pelantun Al Quran yang sering tersedia di winamp, Syaikh Sa'ad Al Ghamidy ini menurutku yang paling keren, apalagi pas beliau membaca surah An Nisa. Mendengarkannya membuat hati tenang. Dari pada mendengarkan lagu When a blind man cries-nya Deep Purple, kayaknya dengerin suaranya Syaikh ini lebih menenangkan, apalagi mendengarkannya pas lewat tengah malem. Nah, balik lagi ke VCD-nya, akhirnya VCD-nya aku beli. Isinya tentang wawancara dia dan kiat-kiat biar mudah menghapal al Quran beserta doa-doanya.
Sudah jam 6!

Selasa, 01 September 2009

Momen

(Ini esayku memperingati Maulid Nabi SAW. Dimuat di Radar Banjarmasin Agustus 2006)
Ekspresi Cinta Terhadap Rasulullah SAW
Oleh: Rismiyana*
Peradaban adalah sekumpulan pemahaman tentang kehidupan. Artinya peradaban adalah sekumpulan pemikiran yang sangat besar jumlahnya, yang mencakup berbagai aspek kehidupan maupun masyarakat, seperti pemerintahan, perekonomian, sosial, undang-undang, politik, kesenian, dan sebagainya.
Berdasarkan penyelidikan dan pembahasan ahli sejarah, pada suatu peradaban tidak pernah ditemukan periode tertentu yang dapat ditetapkan sebagai permulaan atau tanggal kelahiran peradaban tersebut. Tidak pula dapat ditentukan batas pemisah yang akan membedakan antara satu peradaban yang tenggelam dan yang baru muncul. Melainkan peradaban baru tersebut pasti mengalami keterpengaruhan dengan peradaban sebelumnya. Misalnya antara peradaban Asiria dan Babilonia, termasuk Sumeria begitu juga adanya keterpengaruhan peradaban Romawi terhadap peradaban Yunani, atau keterpengaruhan peradaban Yunani terhadap peradaban Mesir.
Demikian pula halnya akan peradaban Eropa pada abad pertengahan dengan peradaban Barat kontemporer “Liberalisme”. Termasuk pula keterpengaruhan antara peradaban Liberalisme dengan “peradaban terpimpin”-nya Komunisme, yang keterpengaruhan keduanya bersifat saling meniadakan, dalam arti saling bertolak belakang. Keduanya pun muncul setelah mengalami penguatan selama beberapa abad, setelah para filosof dan para pemikir mengonsepkan pandangan mereka satu demi satu.
Namun, untuk uraian di atas ada sebuah pengecualian, sebuah peradaban asing yang untuk tumbuh, berdiri tegak di atas pondasinya memerlukan periode yang sangat singkat dari sejarah manusia. Suatu peradaban yang memiliki bentuk ide maupun pola pemikiran khas (berbeda dengan yang lain), lahir tanpa banyak campur tangan pemikir dan filosof manapun.
Suatu peradaban yang menghimpun berbagai unsur medasar untuk menjelma menjadi sebuah peradaban yang sempurna dan lengkap, memiliki sistem peraturan dan metode tersendiri untuk mengatur hubungan diantara individu satu sama lain dalam sebuah masyarakat. Keberadaannya bukan sebagai hasil mencontoh keindahan peradaban sebelumnya bukan pula muncul dari warisan pemikir-pemikir dan filosof-filosof. Akan tetapi, peradaban ini lahir dari peristiwa sejarah tersendiri, yaitu turunnya al-Qur’an Karim, sebagai kitab yang menjadi dasar-dasar konsep peradaban tersebut.Peradaban tersebut adalah peradaban Islam.

Sebentuk Pertanyaan

Lalu siapakah gerangan manusia yang menjadi pengemban dan penyebar dari konsep-konsep peradaban tersebut? Seperti apakah dia? Bagaimana pengikut-pengikutnya seharusnya meneladaninya?
Sosok Muhammad Saw.
Bagi kaum muslim, Muhammad Saw. Jelas menempati posisi yang sangat istimewa. Beliaulah yang membawa risalah Islam yang diturunkan oleh Allah Swt. Dengan risalah yang diperjuangkan, diemban, dan diterapkan oleh Rasulullah Saw, Islam hadir menjadi sebuah peradaban ditengah-tengah umat manusia.
Rasulullah Saw.adalah pemimpin di segala bidang. Beliau adalah pemimpin umat di mesjid, di dalam pemerintahan, juga di medan pertempuran. Beliau adalah pendidik yang telah mengubah tingkah laku yang biadab dan jahiliy menjadi beradab dan terhormat. Beliau seorang politikus ahli siasat yang berhasil menyatukan suku-suku bangsa hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Beliau juga pemimpin ruhani daalam aktivitas peribadahan terhadap Allah yang telah membawa jiwa pengikutnya ke suasana ilahiyah.
Tentang bagaimana akhlak Rasulullah, para sahabat sendiri di zaman Rasulullah sendiri sulit menceritakannya. Seorang Yahudi pernah datang kepada Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk bertanya tentang akhlak Rasulullah. Umar tidak mampu menjawabnya dan menyuruh Yahudi itu menemui Bilal ra. Bilal pun sama. Dia menyuruh Yahudi itu mendatangi Ali bin abi Thalib ra. yang sejak kecil sudah mengenal Rasulullah Saw. Bahkan ia sering tidur di rumah beliau. Ali malah balik bertanya kepada Yahudi itu, “Lukiskanlah keindahan dunia ini, akan aku gambarkan kepadamu akhlak Nabi Muhammad Saw.”
Laki-laki itu menyatakan ia tidak sanggup. Ali pun berkata, “Kamu tidak mampu melukiskan keindahan dunia ini, padahal Allah Swt. telah menyaksikan betapa kecilnya dunia ini ketika Dia berkata:Katakanlah: Keindahan dunia ini kecil. (TQS:an-Nisa:77).” Artinya, menggambarkan keindahan dunia yang sebenarnya kecil ini saja sulit, apalagi menggambarkan keluhuran dan kemuliaan Rasulullah Saw.
Bahkan para penulis non-Muslim pun-lepas bagaimana sikap mereka kepada Rasulullah Saw.-mengakui kebesaran Rasulullah sebagai, “Dia datang seperti sepercik sinar dari langit jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa sejak Delhi sampai Granada,” demikian yang ditulis Thomas Carlyle dalam On Heros and Hero Workship. Demikian juga Michael Hart dalam bukunya, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia, ia menempatkan Rasulullah pada urutan pertama. “Dia adalah orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan manusia lebih dari Newton dan Yesus atau siapapun di dunia ini,” tulisnya.
Sikap Kita Meneladani Rasulullah Saw.
Bulan Rabiul Awal adalah bulan Rasulullah dilahirkan. Sebagian besar kaum muslimin menunjukkan ekspresi kecintaan mereka terhadap Rasulullah dengan cara memperingati hari lahirnya, yaitu Maulid-an. Di masyarakat kita juga, wujud kecintaan kita kepada Rasulullah dengan upaya meniru akhlak beliau.
Namun, apakah cukup dengan itu saja? Terkadang ada di antara kaum muslim ketika pelanggaran terhadap hukum syara’ terjadi, yang di bawa-bawa untuk melupakan pelanggaran tersebut adalah sifat Rasulullah yang pemaaf.
Demikian pula ketika Rasulullah dihina dengan menggambar karikatur beliau, dan menimbulkan gejolak, penyelesaian yang disodorkan adalah dengan membawa-bawa sifat Rasulullah yang pemaaf. Dan yang paling menyakitkan ketika negeri-negeri muslim seperti Afghanistan, Irak, diluluhlantakkan Amerika, kaum muslimin diserukan untuk hanya berdoa bersama untuk kemenangan saudara mereka yang dihina dan dianiaya sembari berkata, “Islam cinta damai, kita lebih baik memaknai jihad adalah bersungguh-sungguh bukan perang.”
Padahal Rasulullah ketika berada di Madinah menghadapi serangan kafir Qurais dari Mekah demikian serius mempersiapkan strategi perang, beliau meminta pendapat Hubab bin al-Mundzir tentang strategi yang terbaik, menatur pasukan dan mempersiapkan persenjataan yang terbaik. Kemudian setelah itu beliau baru masuk ke bangsalnya meminta pertolongan kepada Allah denan doa yang banyak sekali. Untuk mempertahankan Madinah beliau bekerja keras membangun parit (khandak). Dalam enam hari Rasulullah Saw turun langsung bercucuran keringat, dan bekerja keras; tidak hanya berdoa.
Selain itu, Rasulullah juga menyelesaikan kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Beliau tidak menyandarkan pada doa atau ibadah, apalagi pada seruan moralitas atau akhlak mereka. Rasulullah Saw memberikan sanksi hukum yang tegas atas pelakunya. Saat ada seorang wanita muda yanng cantik dan terhormat mencuri dan oleh peradilan diputuskan untuk dipotong tangannya, salah seorang sahabat mengusulkan agar sanksinya diubah dengan yang lain karena kasihan dan wanita itu adalah kalangan terhormat. Akan tetapi apa yang beliau katakan, bahwa seandainya Fatimah putri Rasulullah yang mencuri niscaya beliau akan tetap akan memotong tangannya. Karena memang ketika Allah telah menentukan suatu hukum baik status mengenai perbuatan atau benda, maka manusia tidak ada yang berhak mengubahnya sedikitpun apalagi membuat hukum baru.

Yang Semestinya

Saat ini di negeri-negeri muslim (bukan negara karena negara Islam saat ini tidak ada), peradaban yang dijalani oleh kaum muslim bukanlah peradaban Islam, melainkan peradaban kufur buah dari penerapan ideologi Kapitalis-Sekuler. Peradaban kufur tersebut (yaitu berupa sistem ekonomi kapitalis, sistem pemerintahan demokrasi, sistem hukum peninggaalan penjajah kolonial, sistem sosial yang liberal, sistem pendidikan yang sekuleristik, dll) yang seolah-olah telah menjadi lumpur keruh yang beracun, yang menggenang dalam sebuah lautan dan kaum muslim menjadi ikan pesakitan di dalamnya.
Untuk itu, tidak kah sebagai Muslim kita ingin kembali hidup dalam peradaban yang konsep-konsepnya diturunkan oleh Allah Swt.dan dibawakan oleh Rasulullah Saw untuk kita? Atau adakah yang lebih baik dari itu? Sesungguhnya seperti ikan yang memang semestinya berhabitat di dalam air sehat, demikian pula halnya kaum Muslim, habitat aslinya adalah Peradaban Islam. Dan kita tentunya memahami bahwa peradaban Islam hanya akan terwujud dalam suatu masyarakat islami dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

*Mahasiswa PBSID FKIP Unlam &
SC BK LDK Unlam Korwil Kalimatan

Esay Tentang Sastra

(Ini esay yang aku tulis pas aku lagi suka menggunakan nama Rain Fajar. Waktu itu aku lagi ngebet banget dengan buku Tafkir atau Hakikat Berpikir karyanya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani . aku kirim ke Cakrawala Radar Bjm, tanggal 22 Mei 2006 dan kira2 sehari atau seminggu setelahnya dimuat di Cakrawala.)


Sebuah Karya Sastra Saja
(Rain Fajar*)
“Beapaan ke situ, beli buku yang ada manfaatnya!”
Begitulah komentar seorang ibu di toko buku dalam salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Ibu yang saya taksir berusia 45 tahun itu berkata pada remaja putri yang berjalan bersamanya. Remaja putri itu (saya yakin anaknya, karena wajah keduanya mirip) baru saja dengan ekspresi ceria berjalan ke arah saya yang saat itu sedang melihat-lihat novel baru. Sebelum mendengar perkataan ibunya, matanya berbinar saat melihat ke rak-rak novel remaja di hadapan saya.
Saat mendengar perkataan ibu disampingnya itu, serta merta ia menghentikan langkah, memandang kepada saya sesaat. Lalu sambil menunduk ia berbalik mengikuti ibunya.
Tanpa perlu uraian panjang lebar melalui analisis wacana, tentu komentar ibu tersebut dapat kita pahami maksudnya. Bahwa ia beranggapan membeli novel untuk dibaca adalah perbuatan yang tidak ada manfaatnya sama sekali, sia-sia saja.
Komentar ibu tersebut pastilah memiliki latar belakang anggapan. Ada alasan mengapa ia sampai berkata seperti itu. Mungkin ia beranggapan bahwa novel hanyalah buku yang berisi cerita khayalan, fiksi, bukan kenyatan yang sebenarnya. Sehingga membeli novel; buang-buang uang saja. Membaca novel hanya menghabiskan waktu, membuat si pembaca tenggelam dalam khayalan. Novel baginya berbeda dengan buku matematika, IPA, IPS, yang berisi pemahaman ilmiah, yang dengan membacanya seseorang akan bertambah pintar.
Namun, bagi kita yang sering membeli novel, memanfaatkan waktu berjam-jam untuk membaca novel. Atau malah berprofesi/bercita-cita sebagai penulis novel, tidak usah berkecil hati. Cerita tentang ibu dan seorang remaja putri di atas hanya salah satu dari fakta yang ada. Masih ada fakta lain yang memperlihatkan sikap berbeda terhadap novel.
Salah seorang tetangga saya, yang sekarang menjadi teman dekat saya adalah seorang ibu-ibu. Usianya 4 tahun dan memiliki tiga orang anak. Anak pertama, seorang remaja putri, dua adiknya laki-laki.
Berbeda dengan ibu yang saya ceritkan di awal tulisan, ibu yang menjadi teman saya itu begitu antusias; tidak hanya memberikan novel, mendorong anaknya untuk membaca novel Islami, ia juga memdfasilitasi agar anaknya menghasilkan karya apakah puisi atau esai. Memang saat ini ketiga anaknya belum ada yang menulis novel, tapi itu karena mereka masih memiliki kemampuan terbatas dalam menulis. Suatu saat saya yakin ia ingin anak-anaknya itu minimal salah satu dari mereka dapat menulis sebuah karya, berupa novel.
Dari percakapan-percakapan kami, saya ketahui pendapatnya terhadap novel (tentu saja novel yang bersifat mendidik). Bahwa menurutnya, dengan membaca novel seseorang akan belajar tentang kehidupan, mengetahui banyak tentang sifat-sifat manusia, mematangkan emosi, memperluas wawasan. Begitulah….

Peta Perjalanan Hidup

Dalam sebuah esai di majalah favorit saya, diceritakan bahwa penulis esai itu sangat mencintai buku terutama novel: Musashi. Dijelaskannya novel tebal karya Eiji Yoshikawa tersebut dijadikan ‘kitab’ psikologi yang memberikan pencerahan kepada tokoh-tokoh spiritual seperti Gede Prama dan Sindunatha. Dijelaskannya lagi, menamatkan novel Musashi merupakan suatu pencapaian ambisius prestisius. Membaca Musashi seperti halnya memasuki pusaran waktu, seperti masuk ke dalam noktah di penghujung umur alam semesta. Maka setelah menyengajakan diri terserap ke dalam novel tersebut selama beberapa hari (novelnya tebel banget sih!), tiba-tiba saat dia selesai membaca novel tersebut, benar-benar kembali ke alam nyata, kehidupan ini menjadi begitu menakjubkan. Dan saya menyetujui apa yang dia tuliskan karena saat saya menamatkan novel tersebut, saya merasakan hal yang serupa.
Menurut penulis esai tersebut, ia merasa betapa kuatnya pengaruh novel yang ia selesaikan selama tujuh hari itu. Ketika berjalan-jalan menuju sebuah air terjun di Bogor, ia mengkhayalkan keindahan alam berupa makro kosmos (alam semesta) dan keindahan mikro kosmos (petani yang bercocok tanam, rumah-rumah beratap rumbia dan tegalan yang masih basah oleh hujan) seolah-olah memiliki ruang waktu yang sama ketika Tokugawa berkuasa. Padahal dia berada di Indonesia! Abad 21!
Dalam novel Musashi tersebut ia belajar tentang pemetaan kondisi manusia yang dituliskan Yoshikawa, bahwa: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan pikirannya maka ia mejadi individu yang berkarakter, individu yang merdeka. Sehingga setalah menamatkan novel itu ia berani tampil beda, merdeka, bebas dari anggapan orang lain, yaitu dalam hal-hal yang memang tidak bertentangan dengan hukum syara.
Dari fakta yang dialami penulis esai tersebut, si Divan, saya semakin meyakini bahwa dengan membeca novel (tertentu), kita sebagai pembaca dapat memiliki pandangan, wawasan yang lebih luas saat memandang manusia, alam semesta, dan kehidupan yang ada di sekeliling kita.

Karya Sastra Sebagai Hasil Berpikir Serius

An-Nabhani dalam Hakekat Berpikir (Tafkir) menjelaskan bahwa, “Keseriusan (dalam berpikir) adalah adanya maksud, (dan) adanya usaha untuk merealisasikan maksud tersebut, disertai dengan adanya gambaran yang baik tentang fakta yang dipikirkan”. Dengan kata lain, keseriusan dalam berpikir itu ditandai dengan adanya objek yang dipikirkan, tujuan dan usaha yang ‘nyambung’ atau dapat menghantarkan apa yang dipikirkan pada tujuan yang diinginkan (hasil).
Oleh karena itu, ia mengkategorikan, pada sastrawan-sastrawan tertentu terjadi aktivitas berpikir serius. Ini dikarenakan, walaupun objek yang ditulis oleh para sastrawan adalah terkadang sesuatu yang bersifat simbol/perlambang saja, mereka menempuh usaha untuk mewujudkan tujuan yaitu membuat orang yang membaca karyanya terkesan, tergerak hati dan akalnya. Usaha yang mereka tempuh antara lain dengan merenungkan, memilih kata-kata yang indah, yang mampu mengerakkan hati dan akal pembaca. Dan hasil berpikirnya adalah sesuatu yang memiliki fakta: sebuah karya sastra.

Arti Karya Bagi Sastrawan

Sastrawan (dalam tulisan ini adalah orang yang menghasilkan karya sastra) ketika mencari, menemukan inspirasi, memilih kata-kata yang ia anggap mampu mengeluarkan kesan yang sastrawi, mampu membangkitkan perasaan, menggerakkan akal pembaca, semua proses kreatif itu adalah usaha yang mereka tempuh untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra tersebut dapat berupa novel, cerpen, dan puisi. Bahkan dapat diumpamakan novel, cerpen, dan puisi adalah anak yang telah dengan susah payah dirawat hingga tumbuh menjadi cantik, indah oleh sang sastrawan. Untuk kemudian barulah dapat disaksikan oleh khalayak ramai. Apabila anak yang telah dilepas itu dikritisi oleh orang lain sebagai karya yang jelek, tidak indah, belum sempurna, walaupun dengan rasa kecewa Sang Sastrawan akan berusaha menerima dan berusaha menciptakan karya yang lebih baik lagi. Namun, apabila anak yang dilepasnya itu: dianiaya hingga lebam, berdarah-darah, dipotong-potong, kemudian bagian-bagian yang terpotong-potong itu disambung dengan posisi yang berbeda dengan posisi semula adalah wajar Sang Sastrawan menjadi marah, kecewa, bahkan terluka. Tapi,… bila orang yang ingin mengadakan mutilasi tersebut sebelumnya minta izin terlebih dahulu kepada Sang Sastrawan mungkin akan berbeda (?).
Akhirnya, tidak lain tidak bukan, tulisan ini adalah wujud kecintaan saya pada sastra. Semoga karya-karya yang akan dihasilkan oleh para sastrawan adalah karya sastra yang mampu membangkitkan hati, menggerakkan akal kita, para pembacanya. Sehingga kita senantiasa ingat akan tujuan penciptaan kita oleh Dia, Sang Pencipta.
*Penyuka sastra tinggal di Bajarmasin