Selasa, 01 September 2009

Esay Tentang Sastra

(Ini esay yang aku tulis pas aku lagi suka menggunakan nama Rain Fajar. Waktu itu aku lagi ngebet banget dengan buku Tafkir atau Hakikat Berpikir karyanya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani . aku kirim ke Cakrawala Radar Bjm, tanggal 22 Mei 2006 dan kira2 sehari atau seminggu setelahnya dimuat di Cakrawala.)


Sebuah Karya Sastra Saja
(Rain Fajar*)
“Beapaan ke situ, beli buku yang ada manfaatnya!”
Begitulah komentar seorang ibu di toko buku dalam salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Ibu yang saya taksir berusia 45 tahun itu berkata pada remaja putri yang berjalan bersamanya. Remaja putri itu (saya yakin anaknya, karena wajah keduanya mirip) baru saja dengan ekspresi ceria berjalan ke arah saya yang saat itu sedang melihat-lihat novel baru. Sebelum mendengar perkataan ibunya, matanya berbinar saat melihat ke rak-rak novel remaja di hadapan saya.
Saat mendengar perkataan ibu disampingnya itu, serta merta ia menghentikan langkah, memandang kepada saya sesaat. Lalu sambil menunduk ia berbalik mengikuti ibunya.
Tanpa perlu uraian panjang lebar melalui analisis wacana, tentu komentar ibu tersebut dapat kita pahami maksudnya. Bahwa ia beranggapan membeli novel untuk dibaca adalah perbuatan yang tidak ada manfaatnya sama sekali, sia-sia saja.
Komentar ibu tersebut pastilah memiliki latar belakang anggapan. Ada alasan mengapa ia sampai berkata seperti itu. Mungkin ia beranggapan bahwa novel hanyalah buku yang berisi cerita khayalan, fiksi, bukan kenyatan yang sebenarnya. Sehingga membeli novel; buang-buang uang saja. Membaca novel hanya menghabiskan waktu, membuat si pembaca tenggelam dalam khayalan. Novel baginya berbeda dengan buku matematika, IPA, IPS, yang berisi pemahaman ilmiah, yang dengan membacanya seseorang akan bertambah pintar.
Namun, bagi kita yang sering membeli novel, memanfaatkan waktu berjam-jam untuk membaca novel. Atau malah berprofesi/bercita-cita sebagai penulis novel, tidak usah berkecil hati. Cerita tentang ibu dan seorang remaja putri di atas hanya salah satu dari fakta yang ada. Masih ada fakta lain yang memperlihatkan sikap berbeda terhadap novel.
Salah seorang tetangga saya, yang sekarang menjadi teman dekat saya adalah seorang ibu-ibu. Usianya 4 tahun dan memiliki tiga orang anak. Anak pertama, seorang remaja putri, dua adiknya laki-laki.
Berbeda dengan ibu yang saya ceritkan di awal tulisan, ibu yang menjadi teman saya itu begitu antusias; tidak hanya memberikan novel, mendorong anaknya untuk membaca novel Islami, ia juga memdfasilitasi agar anaknya menghasilkan karya apakah puisi atau esai. Memang saat ini ketiga anaknya belum ada yang menulis novel, tapi itu karena mereka masih memiliki kemampuan terbatas dalam menulis. Suatu saat saya yakin ia ingin anak-anaknya itu minimal salah satu dari mereka dapat menulis sebuah karya, berupa novel.
Dari percakapan-percakapan kami, saya ketahui pendapatnya terhadap novel (tentu saja novel yang bersifat mendidik). Bahwa menurutnya, dengan membaca novel seseorang akan belajar tentang kehidupan, mengetahui banyak tentang sifat-sifat manusia, mematangkan emosi, memperluas wawasan. Begitulah….

Peta Perjalanan Hidup

Dalam sebuah esai di majalah favorit saya, diceritakan bahwa penulis esai itu sangat mencintai buku terutama novel: Musashi. Dijelaskannya novel tebal karya Eiji Yoshikawa tersebut dijadikan ‘kitab’ psikologi yang memberikan pencerahan kepada tokoh-tokoh spiritual seperti Gede Prama dan Sindunatha. Dijelaskannya lagi, menamatkan novel Musashi merupakan suatu pencapaian ambisius prestisius. Membaca Musashi seperti halnya memasuki pusaran waktu, seperti masuk ke dalam noktah di penghujung umur alam semesta. Maka setelah menyengajakan diri terserap ke dalam novel tersebut selama beberapa hari (novelnya tebel banget sih!), tiba-tiba saat dia selesai membaca novel tersebut, benar-benar kembali ke alam nyata, kehidupan ini menjadi begitu menakjubkan. Dan saya menyetujui apa yang dia tuliskan karena saat saya menamatkan novel tersebut, saya merasakan hal yang serupa.
Menurut penulis esai tersebut, ia merasa betapa kuatnya pengaruh novel yang ia selesaikan selama tujuh hari itu. Ketika berjalan-jalan menuju sebuah air terjun di Bogor, ia mengkhayalkan keindahan alam berupa makro kosmos (alam semesta) dan keindahan mikro kosmos (petani yang bercocok tanam, rumah-rumah beratap rumbia dan tegalan yang masih basah oleh hujan) seolah-olah memiliki ruang waktu yang sama ketika Tokugawa berkuasa. Padahal dia berada di Indonesia! Abad 21!
Dalam novel Musashi tersebut ia belajar tentang pemetaan kondisi manusia yang dituliskan Yoshikawa, bahwa: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan pikirannya maka ia mejadi individu yang berkarakter, individu yang merdeka. Sehingga setalah menamatkan novel itu ia berani tampil beda, merdeka, bebas dari anggapan orang lain, yaitu dalam hal-hal yang memang tidak bertentangan dengan hukum syara.
Dari fakta yang dialami penulis esai tersebut, si Divan, saya semakin meyakini bahwa dengan membeca novel (tertentu), kita sebagai pembaca dapat memiliki pandangan, wawasan yang lebih luas saat memandang manusia, alam semesta, dan kehidupan yang ada di sekeliling kita.

Karya Sastra Sebagai Hasil Berpikir Serius

An-Nabhani dalam Hakekat Berpikir (Tafkir) menjelaskan bahwa, “Keseriusan (dalam berpikir) adalah adanya maksud, (dan) adanya usaha untuk merealisasikan maksud tersebut, disertai dengan adanya gambaran yang baik tentang fakta yang dipikirkan”. Dengan kata lain, keseriusan dalam berpikir itu ditandai dengan adanya objek yang dipikirkan, tujuan dan usaha yang ‘nyambung’ atau dapat menghantarkan apa yang dipikirkan pada tujuan yang diinginkan (hasil).
Oleh karena itu, ia mengkategorikan, pada sastrawan-sastrawan tertentu terjadi aktivitas berpikir serius. Ini dikarenakan, walaupun objek yang ditulis oleh para sastrawan adalah terkadang sesuatu yang bersifat simbol/perlambang saja, mereka menempuh usaha untuk mewujudkan tujuan yaitu membuat orang yang membaca karyanya terkesan, tergerak hati dan akalnya. Usaha yang mereka tempuh antara lain dengan merenungkan, memilih kata-kata yang indah, yang mampu mengerakkan hati dan akal pembaca. Dan hasil berpikirnya adalah sesuatu yang memiliki fakta: sebuah karya sastra.

Arti Karya Bagi Sastrawan

Sastrawan (dalam tulisan ini adalah orang yang menghasilkan karya sastra) ketika mencari, menemukan inspirasi, memilih kata-kata yang ia anggap mampu mengeluarkan kesan yang sastrawi, mampu membangkitkan perasaan, menggerakkan akal pembaca, semua proses kreatif itu adalah usaha yang mereka tempuh untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra tersebut dapat berupa novel, cerpen, dan puisi. Bahkan dapat diumpamakan novel, cerpen, dan puisi adalah anak yang telah dengan susah payah dirawat hingga tumbuh menjadi cantik, indah oleh sang sastrawan. Untuk kemudian barulah dapat disaksikan oleh khalayak ramai. Apabila anak yang telah dilepas itu dikritisi oleh orang lain sebagai karya yang jelek, tidak indah, belum sempurna, walaupun dengan rasa kecewa Sang Sastrawan akan berusaha menerima dan berusaha menciptakan karya yang lebih baik lagi. Namun, apabila anak yang dilepasnya itu: dianiaya hingga lebam, berdarah-darah, dipotong-potong, kemudian bagian-bagian yang terpotong-potong itu disambung dengan posisi yang berbeda dengan posisi semula adalah wajar Sang Sastrawan menjadi marah, kecewa, bahkan terluka. Tapi,… bila orang yang ingin mengadakan mutilasi tersebut sebelumnya minta izin terlebih dahulu kepada Sang Sastrawan mungkin akan berbeda (?).
Akhirnya, tidak lain tidak bukan, tulisan ini adalah wujud kecintaan saya pada sastra. Semoga karya-karya yang akan dihasilkan oleh para sastrawan adalah karya sastra yang mampu membangkitkan hati, menggerakkan akal kita, para pembacanya. Sehingga kita senantiasa ingat akan tujuan penciptaan kita oleh Dia, Sang Pencipta.
*Penyuka sastra tinggal di Bajarmasin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar