Minggu, 16 Agustus 2009

Pemimpin Terbaik dari Guru Terbaik

Pemimpin Terbaik dari Guru Terbaik.
(Oleh: Rismiyana)
Guru dan murid adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Seseorang baru bisa menjadi guru apabila dia memiliki seorang murid yang menyerap, menimba ilmu, dan belajar tentang sesuatu darinya. Seorang murid pun demikian, dia baru bisa menjadi atau memegang predikat sebagai seorang murid bila memiliki seorang guru yang memberikan ilmu pengetahuan pada dirinya.
Dalam hubungan mereka, guru dan murid saling timbal balik. Harus ada kesediaan memberi dan menerima pada diri kedua belah pihak. Seorang guru terlebih dahulu harus menerima dan menyadari kedudukannya sebagai pentransfer ilmu dan pendidik bagi muridnya. Dia menerima, memahami baik karakter pribadi maupun kondisi murid yang akan didiknya. Dia pun dengan ikhlas mentransfer pengetahuan yang dimilikinya, meluruskan pribadi yang terus tumbuh dalam diri muridnya tersebut.
Seorang murid pun demikian, harus ada kerelaan dalam dirinya untuk menerima ilmu dan didikan dari gurunya. Harus ada kesediaan untuk memberikan pehatian, konsentrasi, kepatuhan pada apa yang diajarkan oleh gurunya. Walau mungkin pada tahap awal, guru lah yang memiliki peran besar untuk membentuk kesediaan menerima dan memberi dalam diri muridnya itu.
Kesuksesan seorang guru dapat diukur dengan melihat kualitas murid yang telah dia didik. Semakin bagus kualitas pribadi yang terbentuk pada seorang murid berarti semakin bagus pula kualitas guru yang mendidik murid tersebut.
Dalam sejarah Islam kita mengenal Muhammad Al Fatih sang penakluk Konstantinopel. Dialah yang membuka jalan masuknya dakwah Islam ke benua Eropa. Bagaimana sosok Al Fatih dan guru yang senantiasa mendidik dan mendampinginya adalah hal yang dapat dipelajari untuk dijadikan teladan dalam membentuk hubungan antara guru dan murid.
Muhammad Al Fatih Penakluk Kota Konstantinopel
Pada masa permulaannya, Islam muncul dan disebarkan di pedalaman Arab di Mekkah, kota gurun yang gersang. Pada saat itu telah berdiri imperium Byzantium yang beribukota Konstantinopel, kota yang pada saat itu dianggap sebagai kota paling strategis di dunia.
Beberapa tahun dari awal kemunculan Islam, setelah melakukan Hijrah ke Madinah, pada saat terjadi Perang Khandak (parit), Rasulullah Saw. mengabarkan sebuah kabar gembira, “Konstantinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik pemimpin (penguasa) dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.”
Sejak itu hingga berabad-abad kemudian pemimpin kaum muslimin dan pasukannya berlomba untuk merealisasikan kabar gembira tersebut. Mereka ingin mewujudkan diri untuk menjadi sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik tentara yang telah dijanjikan Rasulullah Saw tersebut.
Seiring bergulirnya waktu, kepemimpinan umat Islam terus mengalami pergantian. Setelah Rasulullah Saw. wafat, para khalifah setelahnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bergantian melanjutkan kepemimpinan terhadap kaum muslimin. Setelah masa Khulafahurrasyidin itu, wilayah kekhilafaan Islam terus berkembang diatas kendali bani Umayah. Kemudian, setelah Kekhilafaan Umayah melemah, muncul bani Abbasiyah yang memegang tampuk kekhilafaan menjadi pusat peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Setelah serangan tentara Tar-Tar yang melemahkan pemerintahan Abbasiyah, muncul bani Utsmani yang menduduki kekhilafaan, memimpin kaum muslimin menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Demikianlah….
Di antara pemimpin-pemimpin kaum muslimin itu, silih berganti membawa maupun mengirim pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel. Mereka ingin mewujudkan diri sebagai pemimpin terbaik yang dikabarkan Rasulullah. Dan Muhammad Al Fatih atau dikenal dengan Sultan Mehmed II adalah salah satunya.
Dalam buku “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmani” disebutkan bahwa Al Fatih adalah pemimpin yag cerdas, pemberani, dan berpendirian teguh. Bagaimanapun kota Konstantinopel pada saat itu adalah kota yang dilihat dari segi pertahanan militer merupakan kota paling strategis di dunia. Pertahanan alami dan benteng-benteng disekelilingnya seolah tidak memungkinkan untuk dikalahkan baik dengan pasukan berkuda lewat darat ataupun armada kapal perang lewat jalan laut.
Dikatakan bahwa, “Kota Konstantinopel dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, laut Marmarah, dan Tanduk Emas yang dijaga dengan menggunakan rantai yag demikian besar, hingga sangat tidak memungkinkan untuk masuknya kapal ke dalamnya. Disamping itu, dari daratan juga dijaga pagar-pagar yang sangat kokoh yang terbentang dari laut Marmarah hingga Tanduk Emas yang hanya diselingi oleh sungai Likus. Di antara dua pagar, terdapat ruang kosong yang berkisar sekotar 60 kaki, sedangkan bagian dalamnya ada sekitar 40 kaki dan memiliki satu menara dengan ketinggian 60 kaki benteng setinggi 60 kaki. Sedangkan pagar bagian luarnya memiliki ketinggian sekitar 25 kaki, selain tower-tower pemantau yang terpancar dan dipenuhi tentara pengawas”
Namun, Al Fatih yang cerdas benar-benar meneguhkan pendiriannya untuk mewujudkan dirinya sebagai laki-laki terbaik yang pernah diberitakan Rasulullah Saw. Dengan kecemerlangan berfikirnya dia membuat strategi perang yang jenius. Dia memerintahkan pasukannya untuk meratakan tanah pegunungan yang belum terjamah manusia, dengan kayu-kayu yang dilapisi lemak, kapal-kapal armada perang pasukannya ditarik melintasi jarak 3 mil dan dilabuhkan di Tanduk Emas. Dalam satu malam lebih dari 70 kapal berhasil dipindahkan.
Seorang ahli sejarah Byzantium bahkan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al Fatih, telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang. Sungguh perbuatannya ini jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Iskandar yang Agung.”
Tidak berhenti di situ saja, selain perang urat syaraf saat melakukan pengepungan, dari luar benteng-benteng yang mengelilingi kota, Al Fatih dan pasukannya membuat strategi baru yaitu memerintahkan pasukannya menggali banyak terowongan untuk dapat masuk ke dalam kota.
Akhirnya, Selasa 29 Mei 1453 M bertepatan dengan 20 Jumadil Ula 857 H, 800 tahun lebih setelah kabar yang dijanjikan, Muhammad Al Fatih berhasil menaklukan Konstantinopel. Pada hari penaklukan itu dia berjalan berkeliling untuk menemui pasukannya dan panglima-panglima perangnya yang selalu mengucapkan, “Masyaallah”. Al Fatih menoleh pada mereka dan mengucapkan, “Kalian telah menjadi orang-orang yang mampu menaklukkan kota Konstantinopel yang telah Rasulullah kabarkan.” Dia mengucapkan selamat pada pasukannya, melarang mereka membunuh rakyat sipil, berpesan agar mereka berlaku lembut pada semua manusia dan berbuat baik pada mereka. Kemudian Al Fatih turun dari kudanya dan bersujud kepada Allah sebagai ungkapan syukur dan pujian serta bentuk kerendahan diri di hadapan-Nya.
Sosok Guru Terbaik
Muhammad Al Fatih berhasil mewujudkan dirinya sebagai laki-laki yang dikabarkan Rasulullah sebagai penakluk Konstantinopel dan menjadi pemimpin terbaik di sana. Seperti apakah pendidikan yang diperolehnya sehingga dia menjadi pemimpin yang cerdas, pemberani, tak kenal menyerah dan tawaduk? Siapakah yang membentuk sosoknya sehingga menjadi seperti itu?
Al Fatih adalah anak dari Murad II. Sewaktu bocah, ayahnya telah mendatangkan sejumlah pengajar padanya, namun ia tidak menaati perintah guru-gurunya. Bahkan dia tidak membaca apapun hingga tidak mampu menghatamkan Al Quran. Melihat kelakuan anaknya itu, Sultan Murad II mencari informasi tentang siapa di antara guru yang memiliki kharisma dan sifat tegas. Orang-orang menyebutkan nama Al-Kurani yang bernama lengkap Ahmad bin Ismail Al-Kurani, seorang ulama yang banyak memiliki keutamaan. Maka Murad II mengangkat Al-Kurani menjadi pengajar anaknya dan memberinya tongkat yang bisa dipergunakan, jika anaknya tidak menaati perintahnya..
Menerima mandat demikian maka Al-Kurani pergi menemui murid barunya dengan memegang tongkat di tangannya. “Ayahmu menyuruhku datang menemuimu untuk mengajarimu. Jika kamu tidak menurut apa yang aku katakan, maka kamu akan mendapat pukulan.” Mendengar itu Muhammad Khan (Al Fatih) tertawa dan Al-Kurani memukulnya di majelis itu dengan pukulan yang keras, hingga membuat Muhammad Khan jera. Akibatnya, dalam jangka waktu yang sangat pendek dia mampu mengkhatamkan Al Quran.
Dengan ketegasan yang dimilikinya Al Kurani mampu meluruskan pribadi dalam diri anak didiknya. Al Kurani juga tidak pernah merundukkan kepalanya di hadapan muridnya itu dan hanya memanggil nama tanpa gelar. Setiap bertemu Muhammad Khan selalu mencium tangan gurunya itu tanda hormat.
Kemudian hadir untuk Muhammad Khan seorang guru yang akan sangat berpengaruh dalam hidupnya. Guru tersebut bernama Muhammad bin Hamzah Al-Dimasyiqi Ar-rumi atau yang sering dipanggil Syaikh Aaq Syamsuddin. Dia adalah guru yang mengajar Quran, Sunah Nabawiyah, Fikih, bahasa-bahasa (Arab, Persia dan Turki), Ilmu Hitung, Falak, Sejarah, Seni Perang, Tata Cara Pemerintahan, dan Pokok-Pokok Pemerintahan.
Syaikh Aaq selalu meyakinkan Muhammad Khan kecil, bahwa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah yang berbunyi, “Konstantinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik pemimpin (penguasa) dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara,” adalah dirinya. Beliau pula yang mendorong dan memotivasi untuk menaklukkan Konstantinopel.
Pada serangan pertama, tatkala orang-orang Byzantium berhasil memenangkan peperangan dan Al Fatih merasa tidak yakin dan ragu-ragu, Aaq Syamsuddin berkata, “Pasti Allah akan memberikan kemenangan.” Saat Al Fatih masih dilanda keragu-raguan beliau menulis pesan untuk al Fatih, “…. Sesungguhnya masalah yang pasti adalah ahwasanya seorang hamba itu sekadar merancang, sedangkan yang menentukan adalah Allah…. Kita telah berserah pada Allah dan ketentuan kita telah membaca Al Quran. Itu semua tak lebih dari rasa kantuk di dalam tidur setelah ini. Sesungguhnya telah terjadi kelemutan kekuasaan Allah, dan muncullah kabar gembira- kabar gembira tentang kemenangan itu, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Membaca pesan itu Al Fatih dan pasukannya merasa ringan, tenang dan kembali termotivasi. Al Fatih sendiri kemudian pergi ke kemah gurunya itu dan meminta diajari sebuah doa untuk meraih kemenangan.
Saat dilancarkan serangan berikutnya Al Fatih menginginkan guruya berada di sampingnya. Untuk itu dia segera mengutus seseorang untuk menjemputnya. Akan tetapi Syaikh Aaq telah berpesan tidak ada yang boleh memasuki kemahnya. Al Fatih pun marah dia mendatangi kemah gurunya, saat penjaga kemah melarangnya masuk, dengan pedang disobeknya sisi kemah itu. Ternyata yang dilihatnya adalah gurunya tersebut sedang bersujud kepada Allah dalam sebuah sujud yang sangat panjang. Sorbannya terlepas dari kepalanya sehingga membuat rambutnya yag putih memantul sinar laksana cahaya. Kemudian Al Fatih melihat sang Guru bangkit dari sujudnya dengan air mata berlinangan dari kedua pipinya. Dia telah bermunajat pada Tuhan-Nyadan memohon pada-Nya agar kemenangan dikaruniakan dan dia meminta penakluka kota dalam jangka waktu dekat. Al Fatih kembali pada pasukannya. Dia saksikan bagaimana pasukannya telah berhasil melobangi benteng-benteng musuh.
Saat penaklukan terjadi, dalam kegembiraannya Al Fatih berkata, “Kegembiraan saya bukan karena penaklukan kota ini. Namun kegembiraan saya adalah karena adanya laki-laki ini (maksudnya Syaikh Aaq Syamsuddin) di zaman saya.”. Gurunya itu lah yang menasehatinya untuk memberikan hak-hak kaum yang ditaklukkan sebagaimana yang diatur dalam syariat Islam.
Hubungan antara kedua guru dan murid, antara Syaikh Aaq dan Al Fatih tergambar pada percakapan keduanya setelah penaklukan Konstantinopel. Saat itu Al Fatih datang ke kemah gurunya. Al Fatih menghampiri gurunya yang tengah berbarig dan mencium tangan gurunya itu.
“Saya datang menemuimu utuk sebuah keperluan.”
“Keperluan apakah itu?” Tanya Syaikh.
Al Fatih mengatakan keinginannya untuk bercakap-cakap dengan gurunya dalam keadaan berdua saja, sebagaimana halnya percakapan antara guru dan murid, “Bagaimana jika saya masuk bersama dalam keadaan hanya berdua?”
Namun Syaikh menolak dan Al Fatih memaksanya terus menerus. Namun Syaikh selalu berkata, “Tidak!”
Maka Al Fatih pun marah dan berkata, “Sesungguhnya telah datang padamu salah seorang dari orang-orang Turki, dan kau masukkan dia sendirian, namun tatkala saya datang kau menolak melakukan itu.”
Maka Syaikh berkata, “Sesungguhnya jika engkau masuk padaku sendirian, maka kamu akan merasakan satu kenikmatan sehingga kesultanan akan jatuh dalam pandangan kedua matamu dan akan berantakanlah perkaranya, dan Allah akan murka kepada kita semua. Sedangkan maksud dari menyendiri itu adalah agar timbul rasa keadilan. Maka hendaklah engkau melakukan demikian dan demikian…” Syaikh memberikan nasihat padanya.
Al Fatih memberikan pada gurunya uang sebanyak seribu dinar. Namun tidak diterima gurunya. Maka tatkala keluar dari kemah gurunya itu dengan sedih Al Fatih berkata pada pembantunya, “Syaikh tidak berdiri untukku.”
Pembantunya itu berusaha menghiburnya dengan berkata, “Mungkin dia melihat dalam dirimu perasaan sombong karena penaklukan kota ini, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh para sultan yang lain. Dengan demikian dia menginginkan untuk menghapus agar rasa sombong itu hilang darimu….”
Aaq Syamsudin adalah guru yang telah membentuk priadi Al Fatih. Dia adalah ulama pertama yang menyampaikan khutbah di Aya Sofia. Dan dialah orang pertama yang mendefinisikan kuman penyakit, pada abad kelima belas Masehi, empat abad sebelum ahli kimia dan biologi dari Perancis, Louis Pasteur melakukan penelitian yang sama.
Demikianlah dua pihak, guru dan murid. Guru terbaik yang menghasilkan murid terbaik, pemimpin terbaik.
Menjadi Guru Terbaik
Untuk menjadi guru terbaik, ‘terbaik’ dalam arti berkedudukan paling baik diantara guru lainnya mungkin akan sangat sulit kita realisasikan pada diri kita. Akan tetapi menjadi guru terbaik, ‘terbaik’ dalam arti memaksimalkan potensi yang ada dalam diri kita serta memaksimalkan usaha kita dalam mentransfer pengetahuan, pemikiran, dan pemahaman yang kita miliki kepada murid kita, walau cukup sulit namun dengan usaha yang sungguh-sungguh tentu dapat kita wujudkan. InsyaAllah!
(Separuh tulisan ini, bagian awal, kutulis di kapal saat mengarungi waduk Riam Kanan ketika berangkat dari Rantau Bujur menuju kembali ke Banjarmasin, 31 Juli-16 Agustus 09))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar