Selasa, 26 Mei 2009

Tentang Laskar Pelangi dan The Kite Runner


ini esai yang kutulis tahun 2008 lalu. sudah dimuat di Radar Banjarmasin rubrik Cakrawala.


Tentang Laskar Pelangi dan The Kite Runner

(Rismiyana)

PUZZLE 1

Di tengah lalu lalang lalu-lintas Jalan A Yani KM3 Banjarmasin mata saya penangkap tulisan tidak lazim THINGKING. Tulisan itu tercetak besar-besar di kaca depan sebuah truk pengangkut barang. Tidak lazim karena biasanya sebuah truk bertulisan “Kutunggu Jandamu”, “Doa Ibu”, “Titipan Ilahi” dan tulisan-tulisan berisi pesan sejenis. Bagi saya kata ‘thingking’ identik dengan kata ‘thinking’ yang berarti berpikir. Kata ‘thinking” identik dengan sebuah buku karya pemikir cemerlang yang saya kenal. Karena "The Thinking", adalah versi terjemahan dari kitab ‘At Tafkir” atau dalam bahasa Indonesia “Hakekat Berpikir” dari pemikir yang saya kagumi itu, maka truk bertulisan THINGKING tersebut melekat dalam ingatan, disertai sebaris pertanyaan “Mengapa truk itu bertuliskan THINGKING bukan Thinking?”

PUZZLE 2

April 2007, Di Sebuah Toko Buku

Dalam ketenggelaman pikiran pada judul buku-buku yang berderet, dari pengeras suara dipromosikan buku yang sedang bestseller, Laskar Pelangi. Beberapa kali promosi itu diulang. Mata saya langsung menemukan buku itu. Ada beberapa seri. Saya baca ringkasan di sampul belakang buku. Tak lama, saya alihkan pandangan pada buku lain. Diantaranya, Winnetou II Si Pencari jejak, Karl May yang kemudian saya bawa pulang.

PUZZLE 3

Desember 2007, Kontrakan Sepupu

Berkunjung ke kontrakan sepupu. Teman sekontrakannya yang juga seorang dosen kedatangan seorang tamu. Tamu itu menyebut-nyebut nama Ikal, tokoh dalam buku yang sedang ia ceritakan. Saya terpesona . Bukan pada isi buku yang ia ceritakan, tetapi wajahya yang terlihat sangat bahagia saat menceritakan isi buku tersebut. Samar-samar saya dengar perkataannya, “Laskar Pelangi…., Lintang…, Sang Pemimpi….”

PUZZLE 4

Januari 2008 Perpustakaan Daerah A Yani KM 7

Membaca koran-koran yang terbit hari Minggu. Di salah satu koran itu, Jawa Pos dimuat artikel yang berisi ulasan tentang buku. Ditulisnya bahwa sepanjang 2007 ada 2 buku yang sangat berkesan baginya. Yang seandainya penulis buku itu adalah muridnya, dia pasti akan sangat bahagia. Buku itu, menurutnya seringkali dia promosikan bahkan kadang-kadang ia hadiahkan pada teman-temannya yang berprofesi guru. Buku itu menurutnya memuat kejujuran dan mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan pada kondisi yang memprihatinkan sekalipun.

Buku itu adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Dan saya yang membaca artikel itu , sungguh, merasa jatuh hati pada buku itu. Buku yang belum saya baca!

PUZZLE 5

Perpustakaan STKIP

Mungkin karena saatnya telah tiba. Dan mungkin pula kerena keberuntungan ada di pihak saya, saat mengunjungi seorang teman yang berprofesi sebagai pustakawan, mata saya terfokus pada buku yang ia pegang. Sang pemimpi, buku kedua Laskar Pelangi.

Kurang lebih seminggu kemudian ketiga novel karya Andrea Hirata; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor ditambah 1 buku karya TetsukoKuroyanag, Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela, saya barter dengan 1 buku karya Pram, Bumi Manusia.

Ternyata, membaca Laskar Pelangi, apalagi bagi saya yang melewati masa kanak-kanak di lingkungan melayu pedalaman, Sumatera Selatan, seperti kembali ke masa lalu. Pertemanan, permainan, keadaan sekolah yang memprihatinkan, bahkan pigur ayah, membuat kenangan seperti dihadirkan.

Saat membaca Laskar Pelangi saya seolah diajak Andrea untuk turut merasakan keceriaan dan kegembiraan masa kecil anggota Laskar Pelangi, sekaligus merasakan kesedihan dan penyesalan saat Lintang sang jenius harus putus sekolah. Pun membaca Sang Pemimpi, saya seolah berada bersama Arai yang bocah, yatim piatu di tengah belantara ladang tebu tak terurus, merasakan kepiluannya saat menanti ayah Ikal yang akan menjemputnya. Membaca Edensor, menertawakan Arai yang menerima hukuman atas kejahilan masa kecilnya, makin menguatkan saya bahwa sekecil apapun peristiwa yang kita perbuat, lalui, saling memiliki keterkaitan dengan masa depan.

Sebuah kegembiraan harus dibagi! Terutama bagi mereka yang saya ketahiu juga menyukai buku. Saya kirimkan sms yang sama pada mereka. Balasannya macam-macam. Yang telah membaca mengiyakan kalau buku itu bagus (walau tuturannya bukan jenis yang disukainya), yang belum membaca menanyaka penerbit, took yang menjual dan berjanji akan membeli atau minimal meminjamnya.

Dan beberapa hari kemudian saat masuk SMS dari seorang sastrawan dan esais senior yang tinggal di Yogyakarta, yang berisi komentar meninggalnya mantan Presiden Soeharto, kegembiraan itu masih ingin saya bagi. “Saya baru bca Laskar Pelangi, Andrea Hirata, bkin ktawa2, bkn sedh.bhkan bkin nangis saat Lintang sang jenius harus putus skolah. Jd supir truk. Bda bnget nsibx dgn Taiji yg jdi ilmuan dlm Totto-Chan..2 novel yg menggmbarkan prbedaan realitas pndidikn Indonsia-Jepang. Sudah bca bukunya?” Demikianlah isi SMS saya.

Satu bulan sebelumnyaterjadi perdebatan antara kami. Saat itu saya mengatakan bahwa kritik dalam sastra adalah penguat. Beliau membantah pendapat saya itu, menurutnya kritik dalam sastra adalah penyadaran.

Saya terima balasannya, “Anda belom ngerti apa itu seni, apa itu sastra. Semuanya dicampur aduk! Tidak semua yang dinovelkan itu seni Sastra! Kalo gak ngerti gak usah masuk dunia sastra, ikut dunia …..(beliau menyebutkan nama penerbit buku) dkk aja!” (16:17:29)

Kritik untuk Laskar Pelangi

Saya sependapat dengan pernyataan An Nabhani dalam Hakekat Berfikir yang menyatakan bahwa karya sastra berkaitan dengan rasa (taste). Seperti hanya masakan, ia ditentukan oleh selera. Saya bisa berpendapat bahwa sarden, merek apa saja akan terasa lezat bila saat memasaknya ditambahkan satu sendok teh garam dan beberapa potong cabe. Akan tetapi, saya tidak dapat memaksakan selera saya itu kepada seorang teman yang justru memasak sarden dengan menambah satu sendok teh gula dan kecap manis. Karena itulah masakan yang lezat menrutnya.

Jadi, saya tidak marah atau pun kesal (karena diungkapkan dengan cara yang baik) saat seorang teman menyatakan bahwa Laskar Pelangi hanya mampu membuatnya bertahan di Bab 4. Bahwa dia menemukan ada beberapa bagian dalam cerita itu yang tidak bisa diterima logikanya.Bahwa percakapan antara Ikal (panggilan untuk Andrea kecil) dengan teman-temannya anggota Laskar Pelangi, tidak mencerminkan percakapan yang keluar dari mulut kanak-kanak (tetapi lisan Andrea yang jebolan S2). Itu menurutnya sangat berbeda dengan percakapan antara Amir dan Hassan dalam The Kite Runner. Walau begitu. Saya tetap berpendapat justru dari segi bahasa yang digunakannya lah, Andrea mampu menjadikan cerita sehari-hari masa kecil menjadi bermakna dan menarik.

Antara Laskar Pelangi dan The Kite Runner

Novel The Kite Runner yang ditulis Khaled Hossein memang bagus. Dari segi penokohan, di dalam novel ini pembaca akan menemukan tokoh-tokoh utuh. Amir yang ditampilkan dari berbagai sisi; baik dan buruk. Sosok Hassan yang tanpa pamrih dan bernasib memedihkan, Ayah Amir, ayah Hassan dan sosok bocah anak laki-laki Hasan adalah tokoh-tokoh yang mampu ‘dihidupkan’ pengarang.

Dari sisi konflik, novel ini memuat tragedi kemanusian dengan cara yang manis sekaligus pedih. Persahabatan yang dikhianati, ketegangan hubungan ayah-anak, penyesalan, ketakutan yang manusiawi, semuanya tersaji lengkap. Demikian pula bila dilihat dari segi setting cerita, deskripsi pengarang mampu membawa imaji pembaca pada tanah Afganistan dan berbagai konflik di sana. Pembaca seolah menyaksikan bukit kecil yang biasa dikunjungi oleh Amir dan Hassan, layang-layang yang di mainkan Amir, dan menyaksikan Amir yang ketakutan di persembunyian saat Hassan di Sodomi.

Penokohan, konflik, setting, dalam novel itu dijalin dengan alur yang menarik. Sepanjang cerita, secara bertahap, rahasia demi rahasia terbuka, membuat keterkejutan pembaca, saat Hassan diberitahukan bersaudara dengan Amir, sama dengan yang dialami tokoh dalam cerita.

Menamatkan The Kite Runner kemungkinan besar menarik pembaca pada cara pandang yang lebih dewasa. Sayangnya, Taliban yang mewakili representasi dari Islam Fundamentalis, dalam novel ini dilihat dari 1 sisi, kekejamannya. Sehingga opini yang terbangun tentang Afganistan dan Taliban sama dengan yang tergambar dalam buku ini. Dan akhirnya, pembumihangusan AS terhadap Afganistan yang dikuasai Taliban menjadi sebuah pemakluman. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan penerbitan dan penyebaran buku ini didukung oleh banyak pihak (pihak-pihak yang memiliki kepentingan ideologi dan politik tentunya).

Sedangkan pada Laskar Pelangi, antar tokoh, misalnya kesepuluh Laskar Pelangi, hamper tidak ada konflik yang cukup berarti. Tidak ada penghianatan. Tidak ada alur yang mengejutkan. Kesepuluh anggota Laskar Pelangi, kecuali Ikan dan Bondenga (yang diceritakan sekilas) adalah sosok-sosok yang menjalani masa kecil tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain yang kehidupannya terpinggirkan, melarat, di negeri yang kaya sumber daya alam yang melimpah ini.

Yang, menurut saya istimewa dan membuat saya menikmati buku ini adalah bahasa yang digunakan Andrea Hirata. Andrea (setelah saya uji coba dengan teman-teman saya) mampu mengajak pembaca ikut nyengir, tertawa, meneteskan air mata. Bahkan saat saya sengaja menyodorkan buku kedua Laskar Pelangi, yaitu Sang Pemimi, langsung pada Bab 2 yang berjudul Simpai Keramat, sama seperti saya dia juga meneteskan airmata.

Andrea mampu menjadikan cerita pengalaman masa kecinya, keseharian bersama teman-temannya, dengan alur cerita yang biasa-biasa saja, menjadi bermakna, tak kalah menarik dengan novel The Kite Runner yang ditulis Khaled Hosseini. Kalau Hosseini menampilkan karya yang kompleks, dalam dan lumayan berat sehingga menurut saya hanya cocok untuk dibaca anak SMU ke atas; Andrea justru sebaliknya, cerita Laskar Pelangi ringan, mudah dicerna namun membekas, dan cocok untuk segala usia.

Karena dalam pemahaman saya, sebuah karya sastra adalah tulisan yang menggunakan pilihan bahasa tertentu, yang ditujukan agar mampu mempengaruhi perasaan pembaca, maka The Kite Runner dan Laskar Pelang (termasuk Sang Pemimpi dan Edensor) terkategori dua karya sastra. Karya sastra yang terkategori bagus. Pendapat saya itu tidak akan berubah. Tidak peduli seandainya ada sastrawan tingkat internasional sekalipun menyatakan kedua buku itu jelek atau bukan terkategori karya sastra!

PUZZLE 6

Kira-kira beberapa minggu lalu, di kawasan Kayutangi, truk bertulisan THINGKING yang saya ceritakan di bagian awal saya temui terparkir manis. Kata ‘thingking’ itu mengusik ingatan. Bukan hanya pada buku Thinking karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang saya kagumi, tetapi juga pada sosok Lintang salah satu tokoh dalam Laskar Pelangi (yang dibagian akhir diceritakan menjadi supir truk pengangkut pasir). Di benak saya muncul pertanyaan baru, “Mungkinkah Lintang memiliki kaitan dengan truk yang bertulisan THINGKING itu

Senin, 18 Mei 2009

Mungkin akan Menjadi Ingatan

(Tulisan yang mungkin akan menjadi ‘ingatan’ di kemudian hari)

Minggu Pertama Mengajar Di SMPN 4 Aranio

Minggu siang, 10 Mei 2009, pekan lalu setelah memastikan temanku menyanggupi mengeposkan novel untuk kuikutkan ke sayembara penulisan buku pengayaan untuk guru, dengan mengendarai sepeda motor aku berangkat dengan tujuan menuju SMPN 4 Aranio. Rencananya bersama tiga guru lain yang juga ditugaskan mengajar di SMPN 4 Aranio, untuk pertama kalinya aku akan mengunjungi sekolah itu, sekolah yang beralamat di Desa Rantau Bujur. Sesuai kesepakatan hari Kamis sebelumnya, kami akan berkumpul di rumah kepsek yang rumahnya ada di dekat Simpang Empat Banjarbaru.

Aku berangkat dari Banjarmasin pukul 11.45 Wita dengan membawa ransel dan tas berisi perbekalan selama beberapa hari. Sekitar pukul 12.30 Wita aku sampai di Banjarbaru dekat daerah Bandara mampir di rumah sepupuku, Kak Sarah untuk sholat Zuhur.

Sekitar jam 13 Wita melanjutkan ke rumah kepsek. Di sana teman-teman sesama guru sudah menunggu. Bersama kami akan berangkat 2 orang guru lama, yaitu Ibu Fatmi dan Ibu Maya. Ibu Fatmi kemudian membonceng padaku. Ibu Maya diantar oleh suaminya.

Tidak sampai 10 menit berjalan hujan dengan lebat mengguyur. Sempat mampir beberapa kali akhirnya aku dengan jaket seadaanya memilih menerobos hujan. Menurut infomasi dai Bu Fatmi, Pak Sadi pemilik kelotok yang akan kami tumpangi sebentar lagi akan bertolak.

Medan jalan dari rumah kepsek menuju bendungan PLTA Riam Kanan baru pertama kali itu kutempuh.Aku masih belum hapal arah jalan dan letak belokan dan tempat yang rusak. Jadinya aku mengendarai sepeda motor sekenanya. Genangan air hujan yang membentuk lumpur membuat lobang-lobang di atas jalan tidak terlihat. Jalan yang terus menanjak dan berkelok-kelok menjadi tantangan cukup berat.

Setelah mengendarai sepeda motor hampir satu jam, kami tiba di tempat penyeberangan yang ada di samping bendungan PLTA Riam Kanan. Sepeda motor kami titipkan di tempat parkir khusus penitipan selama beberapa hari. Kemudian satu-persatu kami menaiki kelotok Pak Sadi. Ternyata penumpang kelotok itu hanya berdelapan. Pak Sadi sendiri, keempat kami guru baru, dua guru pemandu, dan satu orang pemuda yang kuduga semacam karnet kelotok.

Dari Bu Fatmi juga kudapatkan informasi kalau kelotok yang mengangkut penumpang ke Desa Rantau Bujur hanya ada satu, rutenyapun hanya sekali, yaitu antara pukul 14.00 dan pukul 16.00 Wita. Begitu pula dari Desa Rantau Bujur ke daerah Bendungan PLTA Riam Kanan hanya ada satu kali, yaitu pada pagi hari sekitar pukul 06.00 Wita.

Kira-kira pukul 14.30 Wita kami bertolak ke Rantau Bujur. Pemandangan pada sore hari, setelah hujan di atas waduk Riam Kanan sangat eksotis. Air waduk sangat jernih dan berwarna kehijauan. Lebar waduk, kira-kira 1 Km, membuat waduk seperti sebuah danau. Pohon-pohon rindang tumbuh rimbun di sepanjang pinggir waduk, di belakang pohon-pohon itu, bukit-bukit dari gugusan pegunungan Maratus yang berwarna hijau tua menjadi latar yang sangat indah. Di atas bukit-bukit itu kabut putih tipis tampak melayang-layang.

Dari beberapa cerita yang kudengar, waduk itu dulunya adalah 12 desa yang ditenggelamkan karena pembuatan bendungan. Dalam waduk mencapai hampir 90 M. Dengan kata lain, sepanjang tepi waduk yang kami lihat ditumbuhi pepohonan tersebut sebenarnya adalah puncak-puncak bukit yang tidak tenggelam. Kelotok tidak berani berjalan terlalu laju. Kelotok juga hanya berjalan di tengah waduk karena batang-batang pohon menyembul di sepanjang tepi waduk. Walau telah mati, pohon-pohon itu masih terlihat belum rapuh, sangat mungkin untuk melobangi bagian bawah lambung kelotok.

Satu jam pertama setelah puas menyaksikan pemandangan di sepanjang tepi waduk, aku teringat niatku menulis sebuah artikel tentang sastra islami. Kukeluarkan buku Hakekat Berpikir karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, dan mulai serius membaca. Udara sejuk dan sepoi angin yang bertiup kuharapkan mampu menjernihkan pikiran sehingga isi buku itu benar-benar kupahami. Walau beberapa kali menamatkan buku itu, terkadang aku perlu mengulangi membacanya pada bagian-bagian tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang mengkristal.

Baru kira-kira setengah jam membaca, udara di atas waduk menjadi sangat dingin. Angin bertiup juga lebih kencang. Gerimis kecil yang menyertai laju kelotok sejak dari bendungan PLTA Riam Kanan beubah menjadi hujan lebat. Jendela kelotok pun segera ditutup mengindari air yang merembes masuk.

Tiga orang temanku yang tadinya tampak cerah ceria, sama sepertiku tampak mulai bosan berada di dalam kelotok. Pak Badrun dan Pak Rifani yang duduk di dekat mesin kelotok seperti tak terganggu dengan nyaringnya bunyi mesin yang ada di dekat mereka. Mereka tampak mulai terlelap. Pak Firdaus yang duduk berseberangan denganku sejak sebelumnya sibuk dengan radio di Hp-nya beberapa kali merubah tempat duduk, tampak gelisah. Dua guru pemandu kami masih ramai dengan celotehannya. Mereka berdua dan Pak Sadi terlibat obrolan di dekat kemudi, sesekali gelak tawa mereka bersaing dengan bunyi mesin kelotok. Di pojok paling belakang, pemuda yang kukira karnet kelotok tampak melamun. Sejak setengah jam lalu sinyal operator Hp telah hilang sama sekali. Kelotok melaju agak melambat karena hujan dan angin kencang.

Setengah jam kemudia aku merasa makin bosan, walau hujan masih lebat angin tidak lagi bertiup kencang. Setelah meminta pesetujuan teman-temanku itu, kubuka terpal yang menutupi sisi kiri kelotok. Pemandangan eksotis sepanjang tepi waduk tersaji lengkap dengan jarum-jarum tabir air hujan, titik-titik air yang membentuk ribuan lobang di atas arus waduk. Pemandangan dan suasana yang sejak lama kusenangi.

Kuusir kebosanan dengan mendengarkan lagu Padi yang kurekam dan kujadikan nada dering Hp-ku. Suara mesin dan air hujan yang jatuh menyentuh bagian atas kelotok yang terbuat dari seng, membuat Hp harus kuletakkan dibelik teliga seperti sedang menelpon.

Kira-kira pukul 17.00 WITA, sepetinya kami telah sampai di ujung waduk, kelotok yang kami tumpangi masuk ke sebuah anak sungai. Sepuluh menit kemudian, kelotok merapat ke sebuah dermaga sederhaa tempat beberapa perahu di tambatkan. Kami telah sampai di Desa Rantau Bujur. Tempat yang (selama paling tidak dalam kurun 5 tahun) akan kami akrabi, kami kunjungi, dan kami tinggali.

Setelah membayar ongkos masing-masing Rp 10.000, kami bergantian naik ke tepian sungai. Kami kemudian diajak berjalan kaki. Tanah merah yang baru saja disiram air hujan membentuk lumpur di telapak alas kaki yang kami pakai. Jalan terus menanjak ke atas. Sekolah dan rumah yang menjadi pondokan kami ada di atas bukit perkampungan desa Rantau Bujur.

Untuk sebuah desa, Rantau Bujur memiliki insfrastruktur yang cukup baik. Rumah-rumah terbuat dari papan kayu hampir berbentuk seragam, tampak sederhana dan nyaman. Jalan utama desa cukup lebar, kira-kira 4 M. Yang mengagumkan, walau rumah-rumah mereka sederhana, mesjid yang dibangun di tengah kampung cukup besar dan sangat indah, lantai dan dindingnya terbuat dari semacam batu marmer (mungkin). Di dekat mesjid berdiri madrasah yang beroperasi pada siang hari, setelah selesai menimba ilmu di sekolah umum, anak-anak kampung ini akan bersekolah di sekolah agama Islam ini. Di belakang perkampungan penduduk, berbagai pohon buah-buahan menjulang, tumbuh subur membentuk hutan. Dilihat sekilas saja, tanah di desa ini sangat subur.

Pukul 17.30 Wita, kami tiba di komplek sekolah. Dinding bangunan sekolah tebuat dari papan kayu sedangkan lantainya ubin dari keramik. Untuk sementara kami menempati rumah (atau tepatnya pondok) dinas. Sebuah rumah panggung terbuat dari kayu. Rumah itu dibagi dua, dengan sekat diniding di tengahnya sehingga seolah menjadi dua rumah kembar. Aku, Bu fatmi, dan Bu Maya menempati rumah bagian kiri yang memang biasanya diperuntukkan untuk guru perempuan. Sedangkan ketiga temanku yang lain menempati rumah bagian kanan yang biasanya ditempati kepala sekolah dan isterinya.

Sesaat setelah kami tiba, listrik dinyalakan. Di sini listrik hanya beropeasi pada malam hari. Perjalanan yang cukup melelahkan dari Banjarmasin ke Rantau Bujur membuat malam cepat belalu.

Besoknya pukul 08.00 sekolah baru dimulai. SMPN 4 Aranio adalah sekolah satu atap, artinya memiliki bangunan satu komplek dengan SD dan kepala sekolahnya hanya satu orang saja. Pagi itu murid-murid SD sedang libur karena anak-anak kelas 6 sedang menghadapi UAN di sekolah SD yang berada di dekat Bendungan PLTA Riam Kanan, selama beberapa hari mereka menginap di sana.

Bekas hujan pada hari sebelumnya membuat lapangan di halaman sekolah tanahnya mejadi gembur. Sepatu yang kukenakan tebal dengan tanah kemerahan itu. Dan ternyata siswa-siswa di sekolah tempatku ditugaskan mengajar ini tidak memakai sepatu, semuanya menggunakan sandal jepit. Kelas VII bejumlah 9 orang. Kelas VIII berjumlah sekitar 12 orang. Kelas IX libur karena telah menghadapi UAN, mereka membantu keluarganya yang sekarang sedang panen padi di sawah tadah hujan yang tersebar di lereng dan atas bukit.

Ada perbedaan yang kontras dalam menghadapi siswa-siswa yang tinggal di perkotaan dengan siswa-siswa di pedesaan seperti yang sedang kuhadapi ini. Murid-murid yang pernah kuhadapi diperkotaan, dalam hal ini Banjarmasin, terbiasa hidup dalam persaingan dan ritme yang cepat, sumber dan arus informasi yang tersedia lancar, rasa percaya diri yang cukup dan media belajar yang mendukung. Kendala utama yang dihadapi guru perkotaan adalah mensuasanakan kondisi belajar yang tenang dan kondusif. Ini dikarenakan siswa diperkotaan memiliki kecenderungan untuk sibuk dengan ‘gossip’ mereka masing-masing.

Sedangkan siswa-siswa yang kuhadapi di Desa Rantau Bujur ini adalah siswa-siswa yang tinggal di alam pedesaan yang sunyi. Ritme hidup agak monoton, lambat, dan tenang. Arus informasi (dikarenakan listrik yang ada hanya malam hari dan letaknya yang terisolir) lambat. Di dalam kelas, mereka dengan kepolosan, keluguan, menyiapkan diri menerima informasi-informasi dari guru mereka. Masalah yang dihadapi guru sebagai pengajar adalah membiasakan siswa-siswa ini berfikir cepat. Karena informasi yang mereka terima terbatas, kosa kata yang mereka kuasai juga terbatas.

Padahal kemampuan berfikir siswa sangat ditentukan oleh penguasaan kosa kata yang dipahami siswa tersebut.. Ini dikarenakan bahasa adalah alat yang digunakan dalam berfikir. Keterbatasan mereka itu menuntut guru agar menggambarkan dengan gamblang realitas dari informasi-informasi (bahasa) sebagai maklumat awal untuk proses berfikir yang akan mereka lakukan.

Demikianlah, selain mengajar di sekolah, pergi ke puncak bukit yang lebih tinggi untuk mendapat sinyal Hp, melapor pada kepala desa, dan melakukan kegiatan lainnya, hari Rabu kami kembali ke Banjarmasin. Untuk sementara kami akan bergantian mengajar di sana, tiap orang memiliki kewajiban 3 hari mengajar, sisanya yang tidak kena tugas mengajar dibolehkan kembali ke Martapura atau Banjarmasin.

Kamis, 07 Mei 2009

Puisi Tentang Laki-laki yang Terluka (Cerpen)

Puisi Tentang Laki-laki yang Terluka
Oleh: Rismiyana
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu (1)
Aku sedang terlelap saat telepon genggam di samping komputer meneriakan lagu itu. Kuangkat wajahku dari meja. Sambil memaksa kedua kelopak mataku menyesuaikan diri dengan cahaya komputer, kuangkat panggilan itu.
Assalamualaikum! Hei, lagi sibuk apa?”
Ternyata telepon dari Nisa. Tetangga kamar kostku.
“Waalaikumsalam. Lagi jawab telepon kamu.” Jawabku malas. Aku merasa agak terganggu dengan telponnya.
“Serius uey!”
“Lagi nyari inspirasi! Tapi malah ketiduran di depan komputer. Kamu sendiri lagi apa? Nelpon jam 3 kayak gini?”
“Lagi nyari ladang buat menyemai pahala! Bangunin elu, biar Sholat Tahajud kayak gua he, he… Emang nyari inspirasi buat apa.” Kadang-kadang Nisa ber-elu gua kalau sedang kumat isengnya.
“Aku sedang tidak sholat. Biasa, buat bikin puisi, cerpen, atau esai.”
“Oh. Fitri, kita main tebak-tebakkan yuk! Coba kamu tebak sekarang hari apa?”
“Cari teman lain saja main tebak-tebakannya ya. Aku ngantuk banget!” Segera kututup telepon. Mengajukan tebak-tebakan. Apalagi tentang nama hari pada saat larut malam seperti ini adalah benar-benar pertanyaan yang tidak serius!
Dia masih berusaha menelpon. Tidak kuangkat. Malah telepon genggam kumatikan.
***
Laki-Laki Itu Sangat Terluka
Tak satu pun kata mampu menggambarkannya (2)
Tanpa sadar aku mengernyitkan keningku kemudian tersenyum saat membaca puisi yang disodorkan Nisa. Puisi yang pendek, hanya terdiri atas satu baris, namun mampu mewakili perasaan.
“Gimana?” Tanya Nisa sambil mengamati ekspresi wajahku.
Sesaat aku berpikir mencari kata-kata untuk mengomentari puisi itu.
“Bila puisi didefinisikan sebagai sebuah wadah, tempat menampung luapan perasaan, maka puisi ini adalah sebuah wadah yang baik.”
“Apa sih maksud elu? Gua nggak ngerti. Jelasin pakai bahasa biasa aja deh!” Nisa anak Fakultas Hukum, jadi wajar kalau bahasa yang dipahaminya seputar bahasa hukum! Bahasa yang jelas tanpa kiasan.
Maksudku, puisi ini bagus. Bagus karena definisi puisi yang kupahami adalah sarana pengungkapan perasaan dengan media bahasa yang indah. Emosi atau perasaan yang diungkapkan cukup dalam dan dapat dipahami. Namun, menurutku jenis puisi seperti ini biasa. Umumnya sastrawan yang sedang tersentuh hatinya atau sedang berduka karena putus cinta bisa menghasilkan puisi yang seperti ini. Jadi walau pun bagus, tetapi biasa, tidak istimewa.”
“Bener tidak istimewa? “ Nisa menatap jahil kepadaku.
“Maksudmu?”
“Kalau kamu tahu siapa laki-laki dalam puisi itu, penilaianmu pasti berubah.” Nisa berkata yakin. Dia sekarang berhenti ber-elu gua, tandanya dia mulai serius.
“Coba tebak siapa laki-laki yang terluka itu?” Sambungnya lagi.
Aku mulai merasa penasaran dengan sikap Nisa. Nisa bukanlah penyuka sastra, apalagi puisi. Jadi kalau tiba-tiba pagi minggu ini dia menyodorkan sebuah puisi dan meminta komentarku tentang puisi itu, kemudian bersikukuh puisi itu istimewa, pasti ada sebab yang melatarinya.
Tidak ada petunjuk apapun yang mengarah pada siapa sosok laki-laki dalam puisi itu. Emm, aku ada ide!
Clark Kent! Saat menyaksikan Lana Lang menikah dengan Lex Luthor!” Jawabku yakin. “ Waktu menyaksikan itu kau menangis untuk Clark dan mengatakan skripwritter dan sutradara Smallvile tidak bisa mengarahkan cerita.” Aku menahan tawa.
“Bukan!” Wajah Nisa memerah, malu. “Puisi ini bukan karyaku. Ani yang bikin. Lagi pula laki-laki dalam puisi ini nyata, real!”
Taktikku berhasil. Nisa memakan pancinganku. Kalau emosinya terpengaruh, dia sering kelepasan bicara.
“Emm, Jadi puisi itu karya Ani.” Setahuku anak itu juga bukan penyuka sastra dan untuk anak seperti dia, patah hati dan menderita karena putus cinta belum ada dalam kamusnya. “Coba beri petunjuk agar akalku bisa menelusuri jejak sosok laki-laki itu.”
Di depanku Nisa senyum-senyum.. Tampaknya dia bersiap-siap akan meninggalkan kamarku.
“Aku, kamu, dan Nisa sama-sama mengenal dan mengaguminya. Sudah ya, aku mau nyuci, nanti aku balik lagi. Kalau bisa jawab, aku kasih buku!” Teriaknya dari luar kamar.
***
Sepeninggal Nisa, aku segera mengangkat kursi ke pinggir jendela. Sambil melepas pandangan ke rerumputan setinggi lutut di seberang halaman, mulai kupikirkan siapa sosok laki-laki yang terluka dalam puisi itu.
Aku tertarik mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu. Bukan karena tergiur buku yang dijanjikan Nisa, tetapi aku memang senang menganalisis tulisan yang berkaitan dengan sastra.
Judulnya, Laki-laki Itu Sangat Terluka, maknanya jelas. Ada seorang laki-laki yang hatinya merasa sangat terluka. Juga isinya, Tak satu kata pun mampu menggambarkannya. Saking terlukanya laki-laki itu, tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan, melukiskan rasa kecewanya, pedihnya, sakitnya perasaannya. Dan kami bertiga, aku, Nisa, Ani mengenal dan mengaguminya.
Siapa ya? Memang dari kecil ada beberapa sosok laki-laki yang kukenal dan kuketahui pernah kecewa, terluka perasaannya. Tapi, hanya aku yang mengenalnya. Nisa dan Ani tidak.
Laki-laki itu terluka? Terluka karena apa?
Apakah karena bertepuk sebelah tangan, atau ditolak cintanya? Tapi, bukankah ada begitu banyak wanita lain di dunia ini yang masih pantas untuk dicintai.
Miskin tidak memiliki harta atau jatuh bangkrut? Selama helaan nafasnya masih ada, selama dia yakin rizki Allah luas, dia tak usah terlalu kecewa atau terluka karena pasti akan ada bagian untuknya.
Atau telah dihina, diusik kehormatannya? Dengan mulut, kaki, tangan dan akalnya, laki-laki itu dapat berusaha mempertahankan, mengembalikan kehormatannya. Bahkan sampai tetesan darah penghabisan! Bukankah laki-laki seharusnya begitu?
Atau, mungkinkah luka hatinya itu karena penghianatan? Bisa jadi! Bila kemarahan, sakit hati, dan kekecewaan muncul karena musuh atau orang yang dibenci, perasaan seperti itu justru memunculkan energi. Energi untuk melawan atau mempertahankan diri. Tetapi, bila kemarahan, sakit hati, dan kekecewaan ditorehkan orang yang disayangi dan dipercayai, perasaan seperti itu menghisap energi, bagaikan tusukan pisau belati tepat di ulu hati, menikam diri sendiri.
***
“Gimana?” Nisa tiba-tiba muncul di belakang dan menepuk bahuku. Aku tersedak. Puding dingin rasa jeruk buatanku yang baru saja hendak kutelan hampir keluar dari mulutku.
“Jangan membuatku kaget. Kamu kan tahu aku berpotensi kena serangan jantung.”
“Dari tadi aku memanggilmu, tapi kamunya saja yang asik melamun.” Nisa mengambil tempat duduk di seberangku. Dia lalu mengambil sendok, ikut menyendok puding di depanku.
“Asem banget!” Dia kaget dengan rasa puding buatanku itu.
Aku tertawa menyaksikan ekspresi wajahnya.
“Sudah dapat menebak siapa laki-laki itu?” Dia menanyakan tentang puisi yang dipelihatkannya kemarin.
“Belum.” Jawabku pendek. Dari kemarin hingga tadi saat dia mengagetkanku, aku masih memikirkan siapa sosok laki-laki dalam puisi yang diperlihatkannya itu.
“Tapi biasanya dari beberapa peristiwa atau teori kamu bisa menarik benang merah untuk menghubungkannya, menganalisis, dan menghasilkan sebuah kesimpulan.” Kali ini Nisa berkata dengan bersungguh-sungguh..
“Petunjuk yang kau berikan terlalu umum.” Kilahku. Aku sedang memikirkan cara bagaimana menggali informasi darinya.
Tiba-tiba dia tersenyum. Kutangkap binar usil di matanya.
“Yang jelas sosok laki-laki itu bukan Snape!” Nisa terkekeh.
Dia membalas guyonanku tentang Clark. Dua bulan yang lalu Nisa memergokiku membaca buku terakhir Harry Potter. Bukan hanya jenis bacaanku itu yang membuatnya kaget, tetapi wajahku yang basah karena air mata! Dikiranya aku sedang sedih dan menyembunyikan wajahku di balik buku itu. Dia berusaha menghiburku. Dibujuknya supaya aku bercerita tentang masalah yang membuatku menangis. Akhirnya dengan malu kuceritakan sebab air mataku jatuh.
Namun, setelah kuceritakan tentang nasib Snape, kisah cinta dan akhir hidupnya yang membuat mataku basah, Nisa bukannya ikut bersimpati. Dia terkekeh menertawaiku. Aku yang biasanya membaca novel-novel realis, kok bisa-bisanya membaca Harry Potter dan menagisi Snape yang fiktif, katanya. Waktu itu aku membela diri dengan mengatakan bahwa pendeskripsian dan pengaluran J. K Rowling lah yang kusukai dan kupelajari, bukan pemikiran yang dimuat dalam buku itu.
“Mungkin perkiraanmu salah. Hanya kamu dan Ani yang kagum padanya. Soalnya, setahuku beberapa laki-laki yang kukagumi tidak ada yang menanggung penderitaan seberat itu.” Aku merasa menemukan jalan buntu.
Ada dalam sejarah.” Kata Nisa pendek.
Dalam sejarah. Tokoh yang aku, Nisa, dan Ani kagumi! Siapa?
Sang Uswatun Hasanah kah? Tidak, bukan beliau. Walau di awal dakwah yang dilakukannya berbagai kebencian, permusuhan, dan penindasan melukai hatinya, menjelang masa kehidupan beliau seluruh jazirah Arab telah menerima dakwahnya. Pilar-pilar peradaban telah beliau bangun dengan kokoh, sahabat-sahabat pengikutnya bersedia mengorbankan apa saja untuk membela apa yang beliau bawa.
Umar dan Usman yang terbunuh? Tidak, bukan mereka. Umar menemukan syahid, cita-cita yang telah lama diidamkannya. Sedangkan Usman, beliau tidak hanya syahid, tetapi juga berkesempatan berbuka puasa ditempat-Nya. Akhir yag membahagiakan.
Pemimpin di negeri ini? Walau mereka berakhir tragis, jalan hidup dan pemikiran yang mereka emban bukanlah hal yang sepakat kami kagumi.
“Beri aku petunjuk yang lebih spesifik .” kataku pada Nisa.
Nisa menangkap keseriusan di suaraku. Ekspresi wajahnya kini ikut menampakkan keseriusan.
“1924.” Katanya lirih.
Secepat telingaku mendengar gelombang bunyi suaranya, secepat itu pula bunyi angka-angka itu mengasosiasikannya dengan sosok laki-laki itu. Sosok laki-laki yang perjuangannya, pemikirannya, jalan hidupnya sepakat kami kagumi.
Sosok laki-laki yang dengan segenap pemikiran dan usahanya, berusaha mempertahankan marcusuar peradaban yang pondasi-pondasinya telah dibangun Sang Uswatun Hasanah. Sosok laki-laki yang mengancam Perancis, bersiap akan melaksanakan jihad akbar pada Inggris yang berani mencoba mementaskan teater penghinaan terhadap Sang Uswatun Hasanah. Sosok laki-laki yang tidak tergiur dengan gunungan emas pemberian Zionis, untuk sekedar melepaskan sejengkal tanah Palestina. Laki-laki yang telah dikhianati, laki-laki yang terusir tanpa ada yang membela, laki-laki yang merasa bertanggung jawab membendung kehancuran yang akan dialami umat yang dipimpinnya….
Kami saling menatap. Nisa menangguk. Kegetiran dalam tatapan matanya menyiratkan perasaan yang serupa denganku. Tanpa kukatakan, dia telah paham kalau aku telah mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu.
“Puisi yang bagus dan sangat istimewa.” Kataku lirih. Setelah mengetahui sosok laki-laki dalam puisi itu, kekaguman pada kejelian memilih kata-kata, memadatkan makna ungkapan, dan keuniversalan perasaan yang diwakili puisi itu, membuat sosok Ani tiba-tiba berada sederajat dengan satrawan-sastrawan yang kukenal selama ini.
Ada sesuatu untukmu, tunggu ya.” Nisa masuk ke dalam kamarnya yang ada di seberang kamarku.
Ada kaitannya dengan Khalifah Abdul Hamid II?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum. Beberapa menit kemudian dia membawa plastik hitam dan meletakkannya di atas meja makan, di depanku.
“Untukmu.” Katanya.
Kubuka plastik hitam itu. Sebuah buku hardcover warna biru, setebal 5 cm membuatku tak dapat menyembunyikan senyumku. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, buku yang kuidam-idamkan! Aku memang sangat menginginkannya, tetapi melihat label harganya yang hampir menyentuh seratus ribu, membuatku harus menahan diri.
“Dua bulan lalu, saat kita di toko buku aku melihat kamu menimangnya. Lama sekali kamu tidak beranjak dari tempat itu. Sebenarnya aku ingin menyerahkannya malam kemarin, pas kamu genap 24 tahun. Tapi, saat aku masuk ke kamarmu, kamu sedang terlelap di depan Komputer. Aku tidak ingin mengganggumu. Pukul 3, sambil membangunkanmu untuk sholat Tahajud, aku ingin menyerahkannya lagi. Tapi kamu malah marah-marah dan mematikan Hp-mu.” Dia nampak kesal, tetapi kemudian tersenyum menatapku.
“Terima kasih.” Kataku pelan. Kelopak mataku kurasakan mulai memanas.
1: Lagu Puisi, Jikustik
2: Puisi karya Mariani
Pertengahan April 2009
.