Kamis, 01 Oktober 2009

PengalamanMenjadi Gelandangan


Menjadi Gelandangan.

Menjadi gelandangan memang susah!

Mulai tanggal 26 September 2009, libur sekolah selesai. Jadi, tanggal 27 aku kembali ke Rantau Bujur untuk mengajar. Sebenarnya aku kepengen menempuh jalur darat, tetapi karena aku tidak tahu arah jalan menuju kesana dan tidak ada teman akhirnya aku lewat transfortasi air, naik kelotok.

Dari pembicaraan lewat telepon dengan guru-guru lain, aku mendengar kabar bahwa aliran sungai dari Desa Apuai ke Rantau Bujur tidak bisa dilewati kelotok lagi. Aku berencana membawa motorku ke dalam kapal supaya dapat melanjutkan perjalanan dengan motor. Akan tetapi, kata paman kelotok, sebaiknya perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau jukung saja.

Sebelum kapal bertolak mengarungi Riam Kanan, aku merasa deg-degan menunggu Ibu Fitri dan Ibu Maya yang telah berjanji berangkat bersama-sama ke Rantau Bujur. Soalnya pas aku periksa, dompetku ketinggalan! Uang yang ada di saku jaketku tidak sampai 15 ribu! Satu-satunya solusi yang kupunya untuk ongkos kelotok dan membeli keperluan hidup beberapa hari adalah meminjam uang pada salah satu dari mereka. Untunglah saat kapal akan bertolak mereka berdua datang.

Di sepanjang perjalanan terlihat air waduk Riam Kanan mengalami penyusutan. Mungkin lebih dari 2 M. Itu terlihat dari tebing-tebing tepi waduk yang muncul dari permukaan air. Musim kemarau berdampak pada tanaman yang tumbuh di bukit-bukit sepanjang waduk. Bukit-bukit yang dulu terlihat hijau muda oleh rerumputan di beberapa bagian tampak gosong, terbakar.

Kelotok hanya dapat mengantar sampai Apuai. Sungai terlalu dangkal. Beberapa perahu kecil atau jukung berdatangan menjadi ‘ojek’ untuk perjalanan selanjutnya. Jukungnya kecil banget! Satu jukung hanya dapat mengangkut 2 sampai 3 penumpang.

Menjelang Maghrib, kami sampai di dermaga kecil tempat jukung-jukung ditambatkan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ransel dan barang-barangku ku-‘ojek’-kan pada salah satu muridku yang kebetulan lewat membawa motor.

Sesampainya di dekat sekolah, di halaman rumah kontrakan kami yang dulu, kami hanya tertegun. Rumah kontrakan itu telah menjadi puing-puing abu. Hanya beberapa tiang berbentuk arang yang masih terpancang. Rumah itu terbakar beberapa hari menjelang lebaran kemarin.

Sebenarnya kami belum tahu akan menginap dimana. Di kantor guru, terlalu gelap karena listrik belum dipasang. Bu Desi dan Bu Beben belum datang, rumah mereka terkunci. Akhirnya kami menumpang di ruang tamu keluarga Bu Rahmi.

Di Rantau Bujur, musim kemarau membuat air sulit didapatkan. Sumur-sumur banyak yang kering. Air yang dialirkan dengan mesin air di rumah Bu Rahmi hanya cukup untuk keluarga itu MCK (mandi, cuci, kakus) dan untuk dikonsumsi. Jadi untuk menghemat penggunaan air, aku melanjutkan puasaku.

Siang hari selesai mengajar, aku merasa gerah. Kami bertiga melewati siang hari di kantor. Menjelang Maghrib baru kembali menumpang tidur di rumah Ibu Rahmi. Keadaan kami yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur menumpang mengingatkanku pada acting Will Smith dan anaknya dalam film The Pursuit of Hapyyness, yang nyeritain pegalaman hidup Chris Gardner dan anaknya. Memang sih tidak sesedih kisah mereka. Kalau bapak anak itu terusir dari kontrakan karena tidak dapat membayar uang sewa, kami ‘terusir’ dari rumah dinas kontrakan kami karena kebakaran. Sama-sama tidak memiliki tempat tinggal. Sama-sama jadi gelandangan….

Sementara itu calon rumah yang bakal kami tempati sedang diperbaiki oleh para tukang. Keadaan rumah itu sangat memperhatikan. Rumah itu tidak memiliki jendela. Walau begitu di dalam rumah cukup terang karena banyak celah (papannya jarang-jarang) baik di lantai maupun di dinding rumah. Tidak ada kamar. Bagian dapur tidak memiliki pintu dan dinding. Dan yang menyedihkan, tidak ada sumur dan kloset!

Keesokan harinya, karena pada malam harinya kantor guru di tempati para tukang yang sedang merenovasi gedung sekolah SD, kami merasa sungkan menjadikan kantor tempat beristirahat. Akhirnya kami mengunjungi beberapa rumah penduduk yang kami kenal untuk meminta air sekaligus meminjam kamar mandi mereka.

Setelah dua hari meng-gelandang, akhirnya malam Rabu rumah kontrakan sudah dapat ditempati. Berlima kami menginap disana. Aku, ibu Fitri, Ibu Maya, serta Ibu Nani dan Ibu Fatmi yang baru datang. Air sudah dapat dialirkan dari rumah orang tua Ihya (anak kelas VII), pemilik rumah kontrakan itu. Tapi kamar mandi dan WC tetap belum ada.

Di dekat rumah ada beberapa pohon durian yang sedang berbuah. Sepanjang malam suara gedebung dari buahnya yang jatuh, beberapa kali terdengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar