Senin, 08 Februari 2010

Tiga Percakapan Tentang Cinta

Ini cerpenku yang kutulis tahun 2006. Dimuat di Radar banjarmasin seminggu sebelum aku maju sidang skripsi. Tulisan pertama yang membuka identitas bahwa Rain Fajar adalah nama yang aku gunakan. Sebuah 'pertaruhan', tapi untunglah nilai skripsiku A :)

Tiga Percakapan Tentang Cinta
(Oleh: Rismiyana)

Dianto

Menyayangi seseorang, merasa ia memiliki keserupaan denganmu dalam beberapa hal sudah cukup untuk membuatmu memahami, merasakan yang ia rasakan. Perasaan seperti itu terkadang membuatmu nyaman. Ya! Hanya terkadang saja. Sebab ketidaknyamanan akan lebih sering melandamu. Karena saat sesuatu terjadi padanya, kamu akan ikut merasakan yang ia rasakan, bahkan bisa dua kali lipat dari yang ia rasakan. Ia bahagia, kamu akan lebih merasa bahagia, tapi jika ia merana, kamu akan lebih-lebih lagi.
Aku dan dia tidak begitu akrab. Hanya beberapa kesempatan rutin mempertemukan kami. Interaksi yang biasa, tidak istimewa. Di beberapa kesempatan itu sering kali aku memperhatikannya. Aku terbiasa memperhatikan seseorang yang beberapa kali kujumpai dan mencoba membaca kehidupannya.
Namun, dia berbeda dari yang lainnya. Saat sosoknya kubaca, aku seperti melihat cermin. Entahlah…. Tiba-tiba sosoknya kuyakini telah kubaca lembar demi lembar.
Dia terihat kurus sama sepertiku. Tapi, bukan karena kesamaan itu aku merasa telah membacanya. Sorot matanya, kata-kata pisaunya, pertanyaan-pertanyaannya, dan terkadang langkah gontainya itu yang merebut empatiku sejak 2 tahun lalu.
Bagaimana menerangkannya ya? Oke, kalau ingin tahu apa yang kurasakan saat mendapati sosoknya seperti yang kuceritakan di atas; coba sekarang bayangkan sekarang ada cermin di hadapanmu. Bayangkan saat kau menatap cermin itu kau dapati bayangan dirimu di sana . Tapi, bayangan itu bukan dirimu yang sekarang, melainkan bayangan ketika kau paling merasa tidak nyaman dalam hidupmu.



Ve

Sengaja diperlambatnya laju sepeda motor. Rumahnya yang berada di ujung jalan telah kelihatan. Ia tahu hari ini Raka pasti ke rumah untuk menemuinya.
Dia kembali bertemu dengan Raka, menjadi akrab. Seperti dua tahun lalu. Satu bulan lalu Raka balik lagi ke Banjarmasin , mencari alamat barunya, dan berhasil menemukan dirinya.
“Aku ngak betah di Bandung . Udara di sana terlalu dingin. Lagi pula, lamaran kerjaku diterima di sini.” Sore itu, Raka nampak bahagia saat menemukan alamatnya. Kebetulan saat itu dirinya sedang ada di rumah.
“Tapi, bukankah orang tuamu sudah pindah ke Bandung ?’
“Tante Evi, saudara Mama masih menetap di Banjar Indah. Aku tinggal di rumahnya. Sialan kau Ve! Kenapa kau tak mengabari aku alamat barumu?”
“Alamat rumahmu yang di Bandung hilang.”
“Masih ada Hpku kan ?”
“Kupikir kita tak akan bertemu lagi.’
“Oh, jadi kau berniat melupakan aku, persahabatan kita?’ Raut wajah Raka berubah muram.
“Kalau aku melupakanmu untuk apa barang-barangmu itu masih kusimpan.” Ve mengarahkan matanya pada tumpukan kaset di lemari, majalah-majalah musik di rak buku dan gitar besar di dinding.
Raka terdiam sesaat, lalu mengalihkan topik pembicaraan mereka. Ia bercerita tentang pertemanan mereka dulu, kebingungannya mencari alamat Ve dan rasa senangnya saat berhasil menemukan alamat sahabatnya itu.
Waktu itu Ve hanya terdiam. Hanya ngilu itu, menyeruak.
Aku mencintaimu tanpa rasa iri dan lebih
memilih naif
Karena kau “manusia baik-baik” dan tak boleh mengerti 1


Pelan-pelan Ve memarkir sepeda motor di halaman samping. Terasa ada sesuatu yang memukul dinding sebelah dalam dadanya. Walau sejak tadi ia berharap tak akan menjumpai Raka, namun ia tahu jauh di dalam, entah di bagian mana sudut hatinya teramat sangat rindu pada Raka.
“Ve, dari tadi aku menunggumu. Kemana saja?” Raka muncul dari dalam rumah.
“Toko buku mencari referensi untuk skripsiku.”
“Dari pagi?”
“Tadi mengantar Dianto ke perpus, trus mampir di rumahnya.” Ve tadi sengaja berlama-lama di rumah Dianto untuk menghindari Raka. Ve tahu, hari ini seperti Sabtu-Sabtu sebelumnya Raka akan mengunjunginya
“Dianto? Siapa dia?” Entah mengapa tiba-tiba Ve merasa kalau Raka menatapnya dengan sorot mata aneh.
“Temanku di kampus. Satu jurusan, tapi beda angkatan. Dia kakak kelasku.” Mereka terdiam sesaat.
“Malam ini aku ingin mengajakmu makan. Kemarin aku menerima gaji pertamaku.” Raka mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya! Selamat kalau begitu.” Ve menjabat tangan Raka. Sebenarnya Ve capek, capek dengan ekspresi datar yang ditunjukkannya di hadapan Raka.
Raka mengikutinya masuk ke dalam kamar.
“Ve, kita akan makan dimana? Ke resto atau warteg di pinggir jalan.? Kamu kan penyair yang suka suasana romantis, bersahaja.” Raka tertawa sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.
Ve menatap Raka, menikmati suara tawanya. Sudah lama sekali ia tak mendengarnya. Rasanya sia-sia sudah usahanya untuk melupakan perasaannya pada sosok itu.
Ini tentang diam yang sebenarnya menertawakanku
Ini tentang senyum “gila” yang tiap detik kusuguhkan
untuk ingatan tentangmu
Ini tentang “luka” paling jujur pada setiap ingatku
kau ”manusia baik-baik” 2

Mereka telah berteman lama. Sejak Ve kelas 2 di SMU 27, dan Raka semester 2 di Fisip. Mereka berkenalan sewaktu Raka dan teman-temannya mengadakan reuni di SMU 27. Kemudian menjadi akrab di klub bela diri Walet Putih. Tapi, Ve melihat dan terpukau saat pertama kali melihat Raka satu tahun sebelumnya. Ve tidak akan pernah lupa kejadian sore itu.
Waktu itu Ve sedang menunggu di lobi gedung berlantai tiga itu, menunggu gilirannya menghadap kasir. Kemudian sosok putih, tinggi, atletis, berambut cepak dan tampan lewat di depannya.
Hanya Tuhan yang tahu keterpukauannya pada sosok itu, sorot mata itu. Tapi waktu itu Ve sadar, “Pangeran tampan hanya cocok dan pantas untuk puteri cantik”. Dan Ve tidak mungkin menjadi seorang puteri, apalagi puteri cantik.
Mungkin karena mendengar pesimismenya sore itu, untuk memperlihatkan kemahakuasaan-NyaTuhan mempertemukan mereka. Menjadikan mereka dekat di klub bela diri Walet Putih.
Dan perasaan yang tak seharusnya ada itu, setelah pertemuan intensif mereka mulai tumbuh. Berbentuk! Tidak hanya mendiami ruang kosong hatinya, tapi memenuhinya. Dan Ve merasa takut. Ia tahu itu sebuah kesalahan. Hanya, adakah cinta terlebih dulu permisi, mengetuk dan memberikan kesempatan memilih sebelum memutuskan datang padamu?



DIANTO DAN VE

“Aku ingin berterus terang padamu tentang diriku?” Ve berkata sambil menahan helaan napas.
Dianto menurunkan cangkir kopi di bibirnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan Ve mengajaknya ke mari. Mendengar pengakuannya di taman kota ini.
“Di...” Suara Ve lirih. Ada keraguan di wajahnya. Kedua tangannya mengusap wajahnya berkali-kali.
“Di,.. kamu masih ingat ceritaku tentang Raka...?”
Dianto memandang sosok di depannya. Dia tidak yakin amanah yang dibebankan di pundaknya dapat diselesaikannya.
“Ya, teman kamu yang dulu pernah pindah ke Bandung itu kan ?”
Ve mengangguk. Walau wajahnya menghadap pada Dianto ia berusaha menghindari matanya.
“Aku tahu ini nggak boleh, dosa... tapi aku nggak punya pilihan lain. Kamu tahu, sejak kecil aku di paksa memanggil ibu pada perempuan yang aku tak pernah lahir dari rahimnya. Semua kakak perempuanku terbiasa berlaku kasar padaku karena kecengenganku, kelemahanku. Dan teman-teman di sekolahku dulu selalu mengolok-olokku, aku mereka juluki banci. Padahal terlahir dengan perasan sensitif dan bertingkah lembut seperti perempuan bukan pilihanku.”
“Dari semua yang kutemui, hanya Raka yang lain. Dia tak pernah mengejekku, mengatakan aku banci. Dia baik. Bahkan karena pertemanan kami lah aku mampu berubah seperti sekarang.”
“Kalau tak mendengar ceritamu aku tak akan mengira dulu kau dijuluki banci.” Dianto menyela ucapan Ve. Berusaha merilekskan suasana.
“Tapi . . , ternyata semua perlakuan orang-orang di sekelilingku terlanjur telah membentukku. Walau Raka berhasil membuatku percaya diri sebagai laki-laki, bertingkahlaku seperti laki-laki, aku tetap dendam dan tidak menyukai semua yang berbau perempuan. Dan parahnya lagi aku menaruh perasaan pada Raka, rasa yang harusnya hanya kutujukan pada lawan jenisku.”
“Maksudmu kamu....?” Dianto menatap Ve. Pengakuan Ve barusan menguatkan dugaannya selama ini.
Mereka berpandangan. Ve mengangguk lalu menunduk, menghindari tatapan Dianto.
“Very..., terlahir dengan bentuk pisik dan karakter bawaan seperti perempuan memang bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah garis yang telah ditetapkan-Nya. Sehingga patut kamu ingat, dirimu tidak akan berdosa hanya karena hati kamu lembut dan perasa atau tubuh kamu kemayu seperti perempuan. Dengan catatan, itu memang faktor bawaan bukan hal yang sengaja dibuat-buat.”
“Harus kamu ingat bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan secara sadar dan sengaja, diberikan kesempatan untuk memilih melakukan atau meninggalkan, semua itu kelak akan di hisab, dipertanggungjawabkan pada-Nya.” Dianto menatap sosok di depannya dengan tatapan prihatin.
“Di.., cinta berkaitan dengan hati. Apakah kau bisa memilih pada siapa kau harus jatuh hati?”
“Ve.., Dia telah menciptakan kita dengan selengkap-lengkapnya. Pernah kau membayangkan seandainya kita diciptakan tanpa dilengkapi al-hajat al-‘udhwiyyah 3 yang penampakannya antara lain berupa rasa lapar dan haus. Mungkin banyak manusia yang mati karena mereka keseringan lupa pada jadwal makan dan minum mereka. Rasa lapar dan haus adalah anugerah karena ia semacam alarm yang mengingatkan kapan waktunya kita harus makan, kapan harus minum.”
“Iya, emm benar juga apa yang kau katakan.” Ve hampir tersenyum mendengar penjelasan Dianto. Walau awalnya terdengar konyol, apa yang dikatakannya masuk akal, benar. Tapi ia tak jadi tersenyum saat ingat pokok pembicaraan mereka.
“Tapi Di..., apa fenomena cinta juga bisa diuraikan seperti rasa haus atau lapar.”
Dianto tersenyum, ia mulai bersemangat. Pertanyaan sosok di depannya itu melegakan hatinya.
“Manusia, kita, juga dilengkapi dengan gharizah atau naluri. Naluri ada 3 macam, salah satunya yaitu gharizah an-nau’ 4 yaitu naluri yang menghantarkan pada kelestarian jenis manusia. Penampakannya antara lain rasa cinta atau ketertarikan antara laki-laki dan wanita yang mendorong mereka untuk menikah dan memperoleh keturunan, rasa cinta seorang ibu pada anaknya, dorongan untuk bertanggungjawab seorang laki-laki pada keluarga yang dicintainya. Coba bayangkan bagaimana kalau semua itu gak ada.”
“Tunggu dulu.” Ve memotong ucapan Dianto. Dia terlihat tidak sabaran. “Aku ingin mendengar uraianmu tentang mereka yang memilih menjalani hidup sebagai gay atau lesbi?”
“Ve, aku belajar tentang potensi manusia ini selama dua tahun baru dapat memahaminya benar-benar. Sekarang, kurang 1 jam duduk di sini kau terlihat menyuruhku menjelaskan semuanya.” Dianto tertawa sambil menggaruk kepalanya.
“Salah satu penampakan ghorizah nau adalah dorongan seksual. Dorongan ini meminta pemuasan, tanpa memandang dengan apa ia dipuaskan. Apabila telah dipenuhi manusia akan tenang. Dapat dipuaskan dengan lawan jenis yang telah dinikahi atau belum, sesama jenis, bahkan ada yang memuaskan dorongan ini dengan benda dan hewan.” Dianto menghentikan perkataanya. Di depannya Ve terlihat gugup.
“Ve, maaf kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu?”
“Gak apa-apa kok, teruskan aja.”
“Selain melengkapi manusia dengan al-hajat al-‘udhwiyyah dan gharizah, manusia juga dilengkapi dengan akal. Dengan akal manusia dapat memahami peritah dan larangan Penciptanya, memilih mana yang harus ia kerjakan dan mana yang harus ia tinggalkan.”
“Di..., aku menyayanginya. Ia orang yang paling mengerti diriku, menghargaiku.”
“Ve, cinta memiliki perwujudan yang berbeda-beda. Kau masih bisa menyayangi, mencintai dia, tapi, tentu cinta dalam arti saling siap menerima dan memberi. Bukan cinta yang dilandasi dorongan seksual. Misalnya perasaan cinta sebagai saudara seakidah Karena cinta yang tumbuh di atas pondasi kokoh yang tak tergoyahkan lah yang akan mampu mengikat aku, kamu dan Raka dalam persaudaraan hingga Hari Pembalasan kelak”
Ve diam. Matanya kini memandang ke sebelah kanan, ke aliran sungai Martapura yang kecoklatan. Hampir 15 menit mereka hening.
“Di, apa diharuskan perlu waktu 2 tahun agar aku memahami penjelasanmu.” Walau masih terlihat muram, setidaknya Dianto melihat ada kelegaan dalam tatapan Ve.
“Tentu saja tidak. Temanmu bahkan hanya perlu waktu seminggu.” Dianto tertawa, tapi tiba-tiba ia terdiam.
“Temanku..., siapa?” Ve mengernyitkan keningnya.
“Aduh! Ve, aku harus ke kampus sekarang. Aku ada janji dengan adik binaanku di mesjid kampus.” Tanpa menunggu jawaban Ve, Dianto bergegas ke sepeda motornya. Untunglah dia tak harus berdusta. Ia dan Raka telah membuat janji bertemu hari ini. “Eh, Ve! Jadi mentraktirkukan?” Teriaknya sambil menstarter sepeda motornya. Ve mengangguk.


RAKA

Raka duduk termenung di tangga mesjid. Ia dan Dianto minggu lalu berjanji bertemu kembali di sini. Membicarakan tentang keadaan Ve.
Raka akrab dengan Dianto sejak 2 tahun lalu. Dari Dianto, Raka belajar memahami banyak hal. Apa yang dipahaminya dari Dianto lah yang mendorongnya mengikuti kepindahan orang tuanya ke Bandung. Ia berharap dikarenakan jarak yang memisahkan mereka, perasaan Ve padanya akan terhapus. Namun, setelah perpisahan mereka Raka justru khawatir. Walau Ve bisa jadi dapat melupakan dirinya, tidak menutup kemungkinan Ve akan menaruh perasaan pada laki-laki lain. Dan Raka makin khawatir saat mengetahui Ve pindah rumah.
Untunglah minggu kemarin ia berhasil menemukan Dianto. Dua tahun lalu Raka meminta bantuan supaya Dianto mendekati Ve. Dengan begitu Raka berharap tetap dapat memantau keadaanya.
Sebenarnya Raka telah mengetahi perasaan Ve padanya sejak lama. Hanya saja ia tidak tahu harus melakukan apa. Yang Ia tahu, masa kecil Ve yang buruk lah yang membentuk Ve. Kedekatannya dengan Ve memang berhasil mengubah sosok Ve, tapi kedekatan mereka ternyata juga membuat Ve menyukainya.
“Assalamualaikum!” Suara Dianto
“Waalaikum salam.”
“Ada kabar baik untukmu.”
“Tentang Very?”
“Ya. Aku rasa semuanya akan menjadi baik.” Dianto tersenyum. Ia berharap dengan berita yang dibawanya, sosok kurus di depannya dapat seperti dirinya sekarang, dapat tertawa lepas. Sehingga bila ia berhadapan dengannya, yang ia lihat bukan bayangan dirinya di masa lalu, tapi sosok itu sendiri, yang tentunya..., bahagia.
“Di…, terimakasih.” Raka berjabat tangan hangat.


Tanpa sepengetahuan Raka dan Dianto, jauh di seberang jalan di dekat kantin, satu sosok sedari tadi memperhatikan mereka. Pada awalnya ia terperangah memperhatikan keduanya yang tampak akrab. Tapi, beberapa saat kemudian terlihat dia sedang berpikir. Lama. Akhirnya, sebelum beranjak meninggalkan tempat itu dia tersenyum sambil bergumam, “Tidak semua hal dapat diungkapkan menjadi sebuah keterusterangan. Kadang, sesuatu tetap menjadi rahasia dalam kediaman. Walau pada kenyataannya kerahasiaan itu sama-sama telah diketahui dan dimengerti.”

1, 2 : Di kutip dari sajak Cinta Hari Ini karya Rahmiyati
3: Kebutuhan jasmani (organic needs)
4: Naluri melestarikan jenis

*Nama Rain Fajar di KTP

Didedikasikan untuk:
Bpk. Jarkasi yang telah mengenalkan dan membuka jalan agar saya menulis di Cakrawala
Bpk. Sainul Hermawan yang memotivasi dan menempa saya belajar berani
Dan sobatku S. Firly (Redaktur Rubrik Cerpen Radar)


Catatan: Cerpen Tiga Percakapan Tentang Cinta terinspirasi dari puisi teman saya Kak Rahmi. Saat Aruh Sastra di Kotabaru dia memperlihatkan puisi yang berjudul Cinta Hari Ini. Saya katakana puisi itu bagus, lalu dia bercerita bahwa puisi itu ia tulis saat memikirkan perasaan seorang banci yang jatuh cinta pada seorang laki-laki. Dalam percakapan itu saya berjanji, akan membuat cerpen yang mengungkapkan hal yang serupa Pada saat menulis cerpen ini saya hampir menyelesaikan skripsi saya yang membahas Supernova 1, 2,dan 3 (berjudul “Ideologi Tokoh-Tokoh dalam Serial Supernova Karya Dewi Lestari”), sehingga mau tidak mau saya akui cerpen itu terpengaruh karya Dewi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar