Senin, 08 Februari 2010

Laki-laki itu (cerpen)

Ini cerpenku yang dimuat di Serambi Ummah tahun 2007

Lelaki Itu
(Oleh: Rismiyana)
Sore ini aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Dan saat bayangan lelaki itu melintas di benakku, kuperiksa uang di sakuku. Ada beberapa lembar uang lima ribuan. Segera aku menyengajakan diri mampir di warung kaki lima yang menjual kue terang bulan.
Saat berada beberapa puluh meter mendekati sosoknya, kuperlambat laju sepeda motorku. Tepat di depannya aku berhenti. Meletakkan bungkusan kue terang bulan dan uang ribuan di hadapannya lalu cepat-cepat beranjak meninggalkan tempat itu.
”Terima kasih!” Suara parau dan datar lelaki itu mengagetkanku. Aneh..., aku merasa ada yang tidak wajar
***

Perempatan itu tinggal beberapa puluh meter di depanku. Dan mataku kembali menangkap sosok laki-laki itu.
Cepat-cepat kupacu sepeda motorku. Sungguh, sangat tidak nyaman melihatnya dalam kondisi seperti itu. Sementara dia dengan kondisinya yang seperti itu, aku dengan bebas melintas di hadapannya, melaju di atas sepeda motorku.
Yah, beberapa bulan ini sosok lelaki itu sering melintas di benakku. Apalagi, dalam beberapa hari setiap minggunya aku selalu lewat di depannya.
Sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu aku melihatnya. Tetapi tidak setiap senja seperti sekarang. Waktu itu hanya sesekali saja.
Dulu, pertama kali melihatnya ketika aku masih seorang mahasiswa. Ketika itu pulang kuliah. Saat lampu lalu lintas menyala merah di dekat mesjid terbesar di kota ini. Di bawah matahari yang teriknya membakar kulit, kulihat dia merangkak berusaha memungut uang yang dilemparkan padanya. Menyedihkan.... Dan aku tak sempat merongoh lembaran ribuan dalam tasku saat lampu menyala hijau.
Beberapa bulan kemudian aku kembali menjumpainya saat lampu lalu lintas menyala merah satu kilo meter di dekat rumahku. Saat itu, aku sempat menjatuhkan uang kertas padanya. Tapi, itu membuatku agak menyesal. Uang kertas itu sempat tertiup angin, kulihat dia harus bersusah payah memungut uang itu.
Sekarang, hampir setiap sore di perempatan itu, saat melintasi menuju tempat kerjaku, atau saat menunggu lampu lalu lintas menyala hijau, aku hampir selalu melihatnya. Dan itu membuatku merasa tidak nyaman.
***

Lelaki itu masih di sana. Seperti biasa, duduk terpekur memandang jalan beraspal di depannya yang tergenang oleh air hujan. Hujan yang mulai melebat. Sekilas kutangkap air mukanya yang membeku.
Ah, pasti dingin sekali. Apakah tidak ada payung yang bisa diberikan padanya. Dia tidak bisa duduk di tempat itu dengan datang sendiri! Kakinya lumpuh.... Pasti ada seseorang yang meletakkannya di situ. Apakah orang itu tidak berpikir untuk memberinya payung saat gerimis mulai datang. Orang yang meletakannya di situ pastilah jahat sekali! Orang itu mungkin juga telah mengambil seluruh jerih payah lelaki itu.
Aku pernah membaca buku cerita persis seperti kasus yang kupikirkan tadi. Orang-orang cacat, anak-anak jalanan, dan orang tua jompo sebatang kara dipaksa mencari uang dengan mengemis. Dan hasilnya dikumpulkan sebagai harta kekayaan bagi orang yang mengorganisir dan memaksa mereka untuk mengemis itu.
Pernah terpikir olehku untuk menulis di koran opini tentang orang-orang sepertinya. Aku ingin menyampaikan bahwa pemerintah lah yang paling bertanggung jawab untuk mengurusi mereka. Pihak pemerintah yang menjadi pengatur urusan umat, berkewajiban memperhatikan nasib mereka. Memberikan mereka tempat yang layak, pendidikan yang mampu membuat mereka mandiri, dan lapanagn pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan kadar kesanggupan mereka.
Kadang aku ingin mengajaknya berbicara. Ingin kuceritakan padanya apa yang kudengar dari ustadz yang kudengar ceramahnya beberapa waktu lalu. Bahwa, bila dia sabar dan ridha terhadap qadha yang menimpanya, maka balasannya di akhirat kelak adalah surga! Yah, kesabaran dan keridhaan akan kedua kakinya yang tak bisa digunakan untuk berdiri, berjalan itu, akan menggugurkan dosa-dosanya dan diganti dengan surga. Mungkin, bila dia belum mengetahui cerita itu, dia akan gembira atau setidaknya kesedihan yang dirasakannya akan berkurang setelah kuberitahukan hal itu padanya.
Sayangnya, keinginan itu sampai saat ini belum terlaksana. Berpikir untuk berbuat baik memang mudah, namun itu tidak cukup. Harus ada tindakan nyata! Aku tahu untuk melaksanakannya perlu kesungguhan dan kesediaan untuk berkorban. Dan aku belum mampu membuat diriku sampai pada taraf itu.
Tapi sungguh, setiap kali lewat di jalan itu aku merasa sedih. Apalagi bila sempat kutangkap wajah dingin dan kaku itu. Pastilah penderitaan yang menderanya membuatnya begitu. Lelaki malang....
***


”Lia, kam jadikah sholat Ashar di rumahku?”
Aku mengangguk pada Nina sambil cepat-cepat berkemas. Setelah Dzuhur tadi siang, air ledeng mati. Aku dan dia jadi tidak bisa berwudhu dan sholat. Kulihat jam di tanganku, waktu Ashar masih tersisa 30 menit lagi.
Sambil melaju dengan kecepatan yang cukup kencang kulirik jam tanganku, tapi tiba-tiba saat kembali menatap jalan di depanku satu sosok tiba-tiba lewat menyebrang jalan. Hampir saja tertabrak sepeda motorku.
”Oh my God!” aku sudah siap-siap mengomel pada sosok itu. Tapi..., ya Allah! Aku hampir tidak percaya.
Di depanku, sosok itu juga memandangku dengan mata terkejut, kaget dan cepat-cepat berlalu. Itu pasti dia! Mataku sangat mengenal wajah itu, juga baju kumal yang dikenakannya, baju yang selalu ia pakai.
”Lho, Nin! Itu kan orang yang sering duduk di dekat lampu merah?” Kataku pada Nina yang membonceng padaku.
”Iya! Lia, dari dulu aku sudah merasa dia itu pura-pura saja. Kam pernahkan dulu kutanya, percaya tidak dia itu beneran lumpuh kakinya....”
Aku hanya tertawa mendengar omelan Nina. Menyesal juga, mengapa selama ini memikirkan dan merasa kasihan padanya.
”Dasar! Ternyata dia punya kaki!” Teriakku pada Nina.
Walau kecewa karena merasa tertipu oleh lelaki itu, ada sedikit kelegaan dalam hatiku. Yah..., setidaknya kini aku mengetahui. Menjadi lelaki yang kakinya lumpuh, duduk dipinggir jalan, diguyur hujan dan dibakar terik matahari adalah jalan hidup yang sengaja dipilih oleh lelaki itu. Ia sendiri yang melangkahkan kaki ketempat itu. Dan itu bukanlah takdir yang dipaksakan Allah kepadanya. Banjarmasin April-Mei 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar