Senin, 08 Februari 2010

Ken (cerpen)

Cerpen yang kutulis tahun 2006 dan sudah dimuat di Radar Banjarmasin. Hanya isinya sampai sekarang masih kepikiran, soalnya aku masih belum jelas hukum dalam Islam tentang lukisan yang dibuat oleh tangan. Kalau bentuknya seperti komik, apa haram atau tidak ya?


Ken
Oleh: Rismiyana
“Ta, klo boleh jujur, kamu adalah orang yang paling keras dari sekian banyak orang yang pernah kutemui.” Mbak Titis berkata pelan. Matanya mengerjap beberapa kali. Aku tahu, pasti berat baginya untuk mengatakan penilaiannya barusan.
Aku sendiri hanya mengangkat alisku sesaat. Lalu tersenyum sambil memandang wajahnya.
“Walau begitu aku tetap menyukaimu, karena dari awal ketemu aku udah ngerasa kamu baik.”
Kali ini aku tertawa mendengar penilaiannya itu. Siapa sih yang tidak senang disebutkan sifat-sifat baiknya. Tapi, bagiku penilaian yang pertama tadi jauh lebih berbekas.
Mungkin bagi Mbak Titis yang lembut dan besar di lingkungan Jawa Priyayi, yang baru saja menamatkan Pascasarjana UGM, berhadapan dengan remaja sepertiku adalah hal baru dalam hidupnya.
“Manusia itu seperti tanah, ia memberikan kehidupan berupa tumbuh-tumbuhan sebanding dengan sinar matahari dan air hujan yang ia terima dari langit yang menaunginya.”
Lanjut Mbak Titis lagi berfilosof.

Setelah mendengar perkataan Mbak Titis tadi siang. Mataku jadi sulit dipejamkan. Benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Manusia seperti tanah? Manusia memberikan sebanding dengan apa yang dia terima? Aku ingin menganalisis diriku, apa benar aku seperti tanah? Tapi…, terlalu rumit. Menilai diri sendiri perlu kerendahhatian, keikhlasan. Itu perlu perenungan dan waktu! Jadi, mending aku analisis saja orang-orang di sekitarku. Siapa ya? Orangnya harus unik, berkarakter kuat kuat dan kenal dekat denganku.
Mbak Titis? Bukan dia, ia orang yang sukar ditebak. Anita? Rasanya bukan dia, aku tak terlalu mendalami kejiwaannya. Pak Hadi, guru Matematikaku yang pendiam? Aku tak mengenal kesehariannya di rumah, bisa jadi watak beliau berbeda antara di sekolah dengan di rumah. Tio? Hmm, di mataku apapun tentang dia selalu mengagumkan. Siapa ya,…?
Aha! Ken Zhou. Ya, ia orang yang tepat. Teman SMU ku yang paling eksentrik, perpeksionis, jujur, tukang kritik, dan…, suka menggambar!
Sebenarnya, awalnya aku dan Ken tidak saling mengenal. Hanya waktu jadi siswa baru, aku sudah ingat betul pada sosoknya. Pada masa perpeloncoan oleh kakak kelas, Ken Zhou adalah satu-satunya siswa baru yang berani membantah kakak kelas. Karena keberaniannya itu, ia di hukum di depan kami semua, para siswa baru. Selanjutnya, karena kemahirannya menggambar namanya populer di seantero sekolah.
Fisik Ken tidak dapat dikatakan bungas. Tubuhnya terlalu kerempeng untuk anak laki-laki seusianya dan jerawat hampir menempati setiap mili kulit wajahnya. Aku yang juga memiliki fisik pas-pasan tentu saja bukanlah tipe anak perempuan yang mampu merebut perhatiannya. Bahkan walaupun posisi duduk kami saat ini berdekatan (tempat duduk siswa membentuk hurup U, aku dan dia berada di sudut), aku bukanlah sosok yang keberadannya mampu membuat Ken melepas pandangannya sesaat dari kertas gambar.
Ya! Hanya karena peristiwa siang beberapa waktu lalu keadaan berubah.
Waktu itu seperti biasa ia asik dengan kertas gambarnya. Beberapa teman bergantian melihat hasil coretan tangannya itu. Dan setiap itu pula terdengar decak kagum dari mulut mereka. Aku lalu memutar tempat duduk dan memperhatikan apa yang sedang digambarnya.
“Ini laki-laki atau perempuan?” Tanyaku padanya sambil menunjuk sosok pemakai jubah berambut panjang yang sedang memegang pedang panjang di tangan kanan.
“Ini gambar laki-laki. Lukas Oregon, Ksatria Perang Salib.” Katanya sambil tangannya membuat garis-garis pada gambar itu.
“Garis-garis yang kamu buat terlalu halus, kesannya lembut. Jadi yang tampak bukan Ksatria, tapi seorang Puteri.”
Dia mendongak padaku. Memandangku sesaat lalu bergumam, “Baru kali ini ada yang mengkritik hasil gambarku. Biasanya selalu pujian.”
Sejak kejadian itu, aku kemudian menjadi sosok yang keberadaannya diperhitungkan olehnya. Biasanya setiap berhasil merampungkan satu atau beberapa gambar, pagi-pagi sekali sebelum pelajaran dimulai Ken selalu menunjukkan gambar itu padaku, menyuruhku menilainya. Tidak semua gambar yang dibuatnya kukritiki. Ada beberapa yang tidak kusukai. Fasilitas internet di kamarnya yang disediakan orang tuanya membuat Ken sering melihat adegan-adegan yang tidak sopan dan itu dia tuangkan dalam beberapa gambarnya. Tentu saja aku marah ketika Ken menyodorkan gambar yang tidak sopan itu.
“Aku gak mau lihat! Gambar seperti itu jelek, jelek! Pokoknya gambar yang kayak gitu, jeleeek!” Kataku sambil membuang mukaku. Menurutku, walaupun yang digambar Ken adalah manusia Elf, dengan karakter kartun, tetap saja gambar-gambar yang memperlihatkan aurat seperti itu tak patut untuk digambar.
Walau berasal dari keluarga berada, memiliki keahlian menggambar, pintar bahasa inggris dan Jepang, satu hal yang menjadi kekurangan Ken. Dia canggung dalam bergaul. Reaksi tubuhnya seringkali tampak aneh saat berinteraksi dengan teman-teman dikelas. Dan hampir semua teman-teman di sekolah, khususnya teman sekelas kami, menganggap dan memperlakukan Ken sebagai siswa aneh, tidak normal dan suka mengejeknya
Aku dan Ken biasanya membentuk kelompok di pojok kelas bersama John dan Gie. John selalu terlihat sok dewasa. Biasanya dia berbicara dengan menjaga intonasi suaranya, persis seperti pejabat sedang wawancara di televisi. Tangan kanannya masuk ke saku celana sementara tangan kirinya mengusap-usap dagu. Gie pernah bilang, gaya John itu meniru ibunya yang seorang pendeta.
Berbeda dengan Ken yang kerap mengucapkan, “Hidup ini keras kawan!”, John mengatakan bahwa, “Menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa itu pilihan”. Dia lebih sering berdebat denganku dibanding yang lain, bahkan pernah kami berdua hampir berkelahi. Sedangkan Gie, ia adalah sosok anak laki-laki yang manis, hampir tidak pernah berselisih pendapat denganku. Sayang, lidahnya tidak sampai menyebut ‘r’. Kalau John begitu mengagung-agungkan musik jess, Gie sama denganku. Kami sama-sama suka rock slow dan membaca cerita silat.
Sedangkan Ken, semua yang berbau Jepang, dia suka, sebaliknya apa yang berbau China sangat dibencinya. Makanya seisi kelas tahu, untuk menarik perhatian atau membuat Ken marah, cukup melakukan satu hal, memanggilnya dengan seruan: “China!”. Ken pasti langsung marah dan berteriak, “Jangan panggil unda china!”
Selain mahir menggambar dan pintar bahasa asing, satu lagi yang menjadi karakter khas Ken: pelit. Ya! Ken terkenal dengan ke-pelit-an-nya. Nah, mengapa aku menjadikan Ken sebagai bahan analisi? Karena dalam sebab musebab kepelitannya itu, Ken cocok sekali disamakan dengan kata-kata yang diutarakan Mbak Titis. Ken seperti tanah!
Pernah suatu hari saat jam istirahat. Ken mengeluarkan empat bungkus permen dari dalam sakunya. Permen itu dimakannya satu, sisanya ia genggam di tangan kiri. Tangan kanannya seperti biasa membuat sketsa di kertas gambarnya. Santi teman dudukku, menegurnya dan meminta satu bungkus permen darinya. Setelah hampir lima belas menit memelas tapi tak dipedulikan Ken, Santi merasa kesal, matanya hampir menangis. Tapi, Ken tetap tak memperdulikannya. Aku yang tak tega melihat Santi seperti itu, lalu menyeringai pada Ken. Melihatku seperti itu, tiba-tiba Ken menawarkan permen yang dipegangnya.
“Na, mau?” Tawarnya sambil cengengesan seperti biasa.
Aku mengambil permen itu satu dan menyerahkan pada Santi. Mata Ken sempat melotot saat melihatku memberikan permen yang diberikannya itu pada Santi.
Kepelitan Ken bukan hanya berlaku pada Santi. Pada John yang paling sering menghabiskan waktu bersamanya, Ken juga pelit. Saat masa persiapan menghadapi UAN, kami kelas tiga mendapat jam tambahan belajar sampai sore. Hampir semua siswa membawa bekal dari rumah tak terkecuali Ken. Nah, saat istirahat kedua, di kelas kami seperti biasa memakan bekal kami barengan. Sekali waktu aku lihat Ken membawa dua potong paha ayam goreng dan empat potong sosis. John yang berasal dari keluarga sederhana dan membawa lauk seadanya meminta lauk pada Ken. Ternyata nasibnya sama seperti Santi. Walau telah merayu dan merengek pada Ken, Ken tak mempedulikannya.
Mendengar rengekan John aku merasa terusik dan memutar dudukku pada mereka.
“Na, mau?” Tiba-tiba Ken menyorongkan kotak bekalnyanya padaku. Aku hampir menerima pemberiannya, bukan karena ingin mencicipi lauknya, aku hanya merasa sayang menolak kebaikkannya yang langka. Tapi, akhirnya aku menggeleng.
“Gak ada babinya. Ayam sama sosis sapi, halal.” Dia membaca alasan penolakanku.
“Walau itu gak ada daging babinya, tapi alat masaknya gak mustahil terkontaminasi dengan minyak atau daging babi.” Kata John, kemudian ia meneruskan rayuannya pada Ken. Sampai selesai makan, aku tahu John tetap tak berhasil meluluhkan hati Ken untuk memberi lauk padanya.
Dari dua peristiwa itu rasanya sudah cukup untuk membenarkan apa yang dikatakan Mbak Titis. Bahwa manusia seperti bumi. Ia memberikan sebanding dengan apa yang diterimanya. Sikap keras, tak peduli, cuek, pelit yang ditunjukkan Ken pada teman-teman di sekitarnya adalah sebanding dengan perlakuan yang ia terima. Hampir semua yang berinteraksi dengannya selalu mengejek, merendahkan dan menganggap Ken berbeda dari yang lain. Bahkan John dan Gie, sepertinya bersedia menghabiskan waktu bersama-sama Ken karena mereka banyak mendapat manfaat, fasilitas dan kemudahan darinya. Memang tidak semua teman bersikap buruk padanya, tapi mereka itu adalah mereka yang memang tidak mempedulikannya. Sikap teman-teman seperti itu sebenarnya wajar. Karena tingkah laku Ken memang sering kali menyebalkan dan aneh. Tapia pa selamanya dia harus diperlakukan seperti itu?
Berfikir seperti itu bukan berarti aku merasa aku telah berbuat baik pada dirinya. Setidaknya, aku memperlakukannya dengan jujur. Ketika aku tidak suka dan marah pada kelakuannya yang menurutku tidak baik, maka aku memperlihatkan terus terang padanya. Begitu juga saat hasil gambarnya bagus atau saat dia bersedia menjadi ‘kamus hidup’ saat ulangan Bahasa Ingiris, aku selalu menunjukkan ekspresi menyenanginya. Dan mungkin perasaan Ken yang sensitif merasakan bahwa aku tulus. Mungkin hal itu yang membuat Ken memperlihatkan sikap yang berbeda padaku.
Ya! Ken memang baik padaku. Bahkan saat aku memintanya menggambar kartun dengan karakter diriku, walau didahului dengan kata-kata tajamnya, tokh ia mengerjakannya untukku. Padahal, setahuku ia tak pernah bersedia menggambar teman-temannya, walau sekedar sebatas karakter. Alasannya, ia hanya bersedia menggambar yang pantas untuk digambar.
“Apa yang harus digambar dari dirimu! Yang terlihatkan hanya mata doang! Lagian dirimu bukan sosok yang ideal untuk kugambar..” Katanya hiperbol. Maklum aku memakai kerudung dan seperti yang kupikirkan terdahulu, aku tidak cantik. Tapi entah kenapa saat kuserahkan fotoku akhirnya dia mau mengerjakannya sambil sesekali melihat ke arahku. Dari hasil gambarannya itu, aku tahu seperti apa aku dalam benaknya. Pemurung!
Eh, kok analisisnya berbelok pada diriku. Mmm…, mending sekarang aku tidur. Tiba-tiba saja di benakku muncul ide untuk mengadakan sebuah eksperimen. Untuk menjawab pertanyaan; Apa memang manusia seperti tanah? Dalam minggu ini juga aku akan melakukannya. Mumpung saatnya memang tepat. Tentu saja yang menjadi objek adalah Ken!

Waktu yang ditentukan telah tiba. Hari ini, tanggal 27 Januari adalah ulang tahun Ken. Sebenarnya, kemarin aku sudah ke toko buku membeli kartu ucapan. Tapi malam tadi aku berubah pikiran. Ken sudah terbiasa dengan benda-benda buatan pabrik. Tentu akan lebih berkesan bila kartu yang akan diberikan padanya butan tangan dan agak artistik. Maka aku hanya mengambil amplop dari kartu yang kubeli itu. Isinya kertas HVS biasa. Kata-katanya kukarang sendiri. Ken pernah bilang, puisi-puisi yang kubuat terlalu melankolis dan sentimentil dan itu membuatku trauma. Sejak itu aku merubah style-ku dan kata-kata yang kutulis untuknya juga kusesuaikan dengan gaya baruku itu.
Pagi-pagi sekali, dengan bantuan Santi, John, dan Gie aku mengumpulkan tandatangan teman-teman sekelas di kartu hasil kreasiku itu. Santi yang mewakili seisi kelas menyerahkan pada Ken saat jam istirahat pertama.
Saat istirahat tiba. Aku memutar dudukku. Beberapa teman, khususnya John, Gie, dan Santi tampak senyum-senyum.
“Ken…” Panggil Santi.
“Apa,…!” Katanya.
Sani lalu mengulurkan amplop yang dipegangnya. “Untukmu…, dari teman-teman sekelas.”
Dia mengambil amplop itu dengan sikap malas sambil mengernyitkan keningnya. Lalu membuka dan membaca isinya. Lambat-lambat dia tersenyum, mengusap rambutnya dengan tangan kiri beberapa kali, kemudian…, ia tertawa! Suara tawa yang berbeda dari tawa yang sering kudengar dari mulutnya selama ini. Tawa yang menunjukkan ekspresi wajah berbeda, tawa yang sebenarnya tawa, bukan ungkapan ironi.
“Buhan nyawa tahukah unda ulang tahun hari ini. Unda ja lupa.” Ia masih tertawa.
“Selamat ulang tahun…!!!” Teriak kami berbarengan. Kemudian menjabat tangannya bergantian.
“Ken, kapan kita ditraktir?” Tanya Santi.
“Iya nih, Ken kita sekelas ditraktir bakso Mang Ujang ya?” Gie menimpali.
“Tapi kaya apa yo, hari ini unda kada bawa uang banyak.” Jawab Ken.
Aku mulai memperhatikan sikap Ken. Emm…, sepertinya dia mendekati apa yang dikatakan Mbak Titis, seperti tanah!
“Ah, kalau itu masalahnya mudah. Bilang aja kamu bayarnya besok. Cepat pesan sekarang, nanti keburu habis.” Kataku bersemangat.
“Oke deh!” Ken tergopoh-gopoh keluar kelas menuju kantin. Seisi kelas tertawa, bukan tawa mengejek atau mencemooh dirinya. Tapi tertawa karena senang bakal ditraktir.
Kalau begitu sudah saatnya aku menyimpulkan apa yang dikatakan Mbak Titis: manusia memang seperti tanah, ia akan memberikan sebanding dengan apa yang dia terima.
Apakah aku juga seperti itu? Aku seperti tanah? Ah, entahlah,…

Desember 2006

Catatan: Cerpen Ken sebenarnya terinspirasi dari dua hal. Pertama teman sekelas saya yang memiliki karakter unik, dan yang kedua teguran seorang Mbak yang heran dengan kekerasan sikap saya. Cerpen ini saya selesaikan setelah saya menematkan buku Anak Semua Bangsa Karya Pramodya Ananta Toer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar