Senin, 08 Februari 2010

Taman Budaya, KCI V, dan Honor Tulisan

ini esai yang kutulis akhir 2007 sudah dimuat di RB. kangen teman-teman kuliah dulu. sekarang aku cuma sering sms-an dengan Ratih dan Fitri

Taman Budaya, KCI V, dan Honor Tulisan
Oleh: Rimiyana

Waktu dulu masih bersekolah di SMUN 7 Banjarmasin, beberapa orang teman yang tergabung dalam teater sekolah (kalau tidak salah Teater Perak) pernah menyebut-nyebut Taman Budaya yang berada di Kayu Tangi. Saat itu saya yang sedang gandrung-gandrungnya dengan sastra khususnya puisi, membayangkan Taman Budaya sebagai tempat berbagai karya sastra digiatkan. Di sana sastrawan-sastrawan berkumpul, berpenampilan nyentrik dengan jeans balel, rambut gondrong, dan pembicaraan mereka selalu bermuatan filosofis dan nyastra (seperti itulah sosok sastrawan dalam cerita fiksi remaja yang saya baca waktu itu).

Beberapa tahun kemudian, saya diterima sebagai mahasiswa PBSID FKIP Unlam. Kampus Unlam ternyata baru saya ketahui berseberangan dengan Taman Budaya. Sering kali saat pulang kuliah, menunggu supir angkot memenuhkan penumpang, saya sempatkan merenungi gedung-gedung di lingkungan Taman Budaya. Membayangkan suatu saat saya berada di dalam lingkungan itu, mendengarkan pemicaraan tentang puisi, cerpen, novel dari sastrawan-sastrawan di daerah ini. Hemm.., pasti seru!

Waktu berjalan, impian saya terwujud! Di salah satu gedung di lingkungan Taman Budaya, saya benar-benar berada dalam forum yang membicarakan sastra. saya dan teman-teman mendapat tugas di perkuliahan menghadiri acara penyair-penyair daerah yang membedah antalogi puisi mereka. Tetapi, ingatan tentang kegiatan itu kabur mungkin karena kesan yang tertangkap di acara itu tidak terlalu kuat, hingga mudah menguap.

Beberapa waktu kemudian, saya juga bertatap muka langsung dengan seorang sastrawan, ia penulis Palas, Aliman Syahrani. Walau telah pernah melihat dia di acara kampus dari kejauhan, bedah novel Palas membuat saya berkesempatan lagi memasuki lingkungan Taman Budaya. Sayangnya acara yang berseting mewah, dihidangkan banyak kue-kue dan minuman hangat itu tidak seperti yang saya bayangkan. Terkesan formal, mirip seminar, dan penampilan baru Aliman yang rapi jali jauh dari kesan eksentik sastrawan yang pernah saya bayangkan.

Status saya waktu itu sebagai mahasiswa PBSID ternyata juga memberikan akses yang mudah untuk masuk Taman Budaya mengikuti kegiatan kesastraan di dalamnya. Silih berganti penyair, cerpenis, esais berhasil saya jumpai di situ. Namun, dalam acara-acara itu selalu ada strata yang berbeda. Pihak pembicara yang posisinya menjadi nara sumber, sastrawan dan intelektual daerah yang menjadi peserta, dan kami mahasiswa yang perannya terkesan hanya bertugas ‘belajar’ dan berfungsi mehibaki (membuat acara terkesan ramai karena banyaknya peserta) saja.

Untunglah di perkuliahan, saat itu saya memiliki teman-teman kuliah yang mencintai sastra. Ada Ka Dewi Alfianti tempat bertanya, Ratih Ayuningrum, Syafiqotul Mahmudah yang menjadi teman berbagi. Ada bapak Jarkasi yang selalu mendorong untuk membaca dan bergiat di Cakrawala RB. Juga kedatangn Pak Sainul yang memancing kreatifitas dan mengasah kecerdasan. Menjadikan kampus layaknya suasana Taman Budaya yang pernah saya bayangkan.

Di luar perkuliahan, di emperan (sufah) mesjid, saya, Amali, Fitri Asad, Ratih dan teman-teman lainnya kadang membuka forum tidak resmi sembari menunggu azan atau sekedar beristirahat. Dari muatan ideologi Supernova, jalinan kata-kata Ayu Utami, Esai-esai sosial Seno, kebijakan pemerintah menaikan BBM, Khilafah sebagai solusi permasalahan umat Islam, sampai ide saya supaya pemerintah membuat perumahan dari plastik untuk rakyat miskin menjadi pengisi waktu senggang yang tak terlupakan.

Suasana diskusi di perkuliahan dan di emperan mesjid yang saya ceritakan di atas lah sebenarnya yang saya rindukan. Suasana seperti itu meliputi Taman Budaya tatkala penggiat sastra di hadirkan di sana .



KCI V

Kadang-kadang timbul di benak saya, manusia harus banyak menginginkan sesuatu (tentu perkara yang baik). Karena dalam menjalani hidup, tunggulah, bahkan cukup dengan kesabaran menjalani, waktu akan digelindingkan Allah, menggiring kita menjumpai keinginan-keinginan itu.

Atas usaha Micky Hidayat, B. Soebely, Y.S. Agus Soeseno, Maman S. Tawie, Sandi Firly, Jamal T. S, Riffani, Zulfaisal, dan Harie yang beramai-ramai menghadiri KCI IV di Riau guna menggolkan penyelenggalaan KCI V di Banjarmasin, akhirnya impian saya terwujud. Bahkan lebih keren dari yang saya bayangkan!

Walau acara KCI V yang dilaksanakan di Taman Budaya pada 26-28 Oktober merupakan pembahasan tentang cerpen, tetapi yang hadir bukan hanya cerpenis. Di sana juga ada novelis, penyair, dan esais tingkat daerah dan nasional. Mereka berseliweran di depan mata. Dari penulis kawakan Ahmad Tohari, Maman S Mahayana, Joni Ariadinata, Ahmadun Y herfanda, Raudal, Isbedy, Saut Situmorang, Agus nor, Gus T.F, Lan Fang, Katrin Bandel, dan yang lainnya. Penampilan mereka yang beraneka ragam, dari yang rapi jali sampai yang gimbal abis. Suasana diskusi yang sejajar, pemateri dan peserta yang saling berganti posisi (pemateri jadi peserta dan peserta ada yang jadi pemateri), rapat sebelum siding pleno yang sersan (serius tapi santai), tetapi menguji kesabaran Agus Noor sebagai ketua rapat menjadi ingatan yang terus tergamar jelas dalam ingatan.

Walau begitu, tetap ada yang disayangkan dalam bagian diskusi KCI V. Pandangan mata sering kali berkabut, pernapasan sesak, dan saya terkena flu mendadak. Asap rokok yang dinyalakan beberapa peserta sungguh sangat mengganggu! Nailiyah yang duduk di samping saya beberapa kali menutup hidung menghindari asap itu.

Terlepas Dari asap rokok yang mengganggu pernapasan dan merusak konsentrasi itu, sungguh KCI V membuat saya melek dan mengerti perkembangan kesusastraan di Indonesia khususnya cerpen dan permasalahan yang melingkupi karya dan penggiatnya. Yah, semoga KCI V memberikan dampak positif bagi perkembangan kesusastraan khususnya cerpen di Kal-sel, walau ternyata di balik layar ada sesuatu yang terjadi antar panitia penyelenggara.



Honor Tulisan

Wacana pra Aruh Sastra IV di Amuntai yang diketengahkan Putik Samira tentang tulisan beberapa waktu lalu sudah selayaknya menjadi perhatian bagi penggiat dan pencinta sastra di banua ini. Karena menciptakan sebuah cerpen tidaklah mudah. Dimulai dengan proses pencerapan fakta di sekeliling, pemaknaan atas fakta itu, kemudian dilanjutkan dengan usaha menceritaan dengan memilih kata-kata yang mengandung kesan, kadang perlu waktu sampai bertahun-tahun sebelum menjadi sebuah wujud berupa cerpen.

Namun, yang perlu diingat jangan sampai masalah honor ini menyeret karya sastra pada sesutu yang tampak gagap-gempita tetapi sebenarnya justru menyeret pada ketakbermaknaan. Jangan sampai kesastraan di Kal-Sel mengalami fenomena seperti penyanyi-penyanyi beberapa waktu lalu dalam AFI, KDI, Indonesia Idol yang menggunakan poling SMS dalam pendanaan.

Penghargaan pada cerpenis, sastrawan di banua ini agaknya memang belum menjanjikan. Tapi setidaknya, dalam situasi seperti ini kita jumpai ada orang-orang yang dengan tulus bekerja keras mengusahakan nafas sastra di banua ini tetap berlanjut. Mereka adalah orang-orang yang dalam beberapa even kesastraan saya perhatikan mengerahkan pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak kecil. Karena itu kita patut bersyukur, bernasib baik dengan keberadaan mereka. Mereka-mereka yang sering kali (mungkin karena kerendahan hati) sengaja tidak muncul kepermukaan.



Penggiat dan penyuka sastra

Tinggal di Banjarmasin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar