Jumat, 08 April 2011

Teguran Allah


 Baru saja ditelpon my old sister.... walau jarak cuma 2 tahun, naluri ke-kakak-an-nya kayaknya mulai muncul lagi. Bla, bla, bla.... nasihat dan masukan meluncur dari speaker hp... 
jadi terinspirasi memposting esai yang 2 tahun lalu kutulis...

Teguran Allah

Beberapa tahun lalu, suatu hari saya pernah berada pada titik perasaan yang menyimpulkan bahwa tidak ada teman yang benar-benar mengerti apa yang saya pikirkan, apa yang saya inginkan. Tidak ada seorang pun yang benar-benar mengerti perasaan saya, terutama perasaan yang saya pendam di dalam hati. Tidak ada teman yang selalu ada ketika saya perlukan, menjadi teman bercerita ketika saya dilumpuhkan kekecewaan atau ketika  kegembiraan membakar semangat saya.
                Tapi untunglah, saat mendongak ke atas, ke langit, kesadaran itu muncul. Bukankah  ada Allah! Dia selalu tahu apa yang saya pikirkan. Dia selalu mengerti apa yang saya rasakan. Dia Mahapengasih, memberi apa yang memang terbaik yang saya inginkan. Dia yang Mahamenyayangi , selalu ada pada saat saya kecewa, terluka, atau bahagia. Dia yang Mahaperkasa, yang akan melindungi dari setiap marabahaya.
                Ya!  Allah akan selalu ada. Dengan ke-Mahakuasaan-Nya, Dia selalu melihat dan mendengar apa yang saya lakukan dengan pikiran, lisan, dan semua aktivitas  yang saya lakukan. Dengan tak disangka-sangka, apa yang saya inginkan, baru terlintas di benak dan belum saya utarakan berulangkali  Dia wujudkan. Begitu pula, kadang kesalahan dan kesombongan yang saya lakukan,  langsung dibalas, ditegur oleh-Nya tidak berapa lama setelah saya melakukannya.
                Awal Ramadhan lalu saat membonceng sepupu saya yang akan mengajar di kampus, saya berkata padanya bahwa dalam beraktifitas anggota tubuh sebelah kananlah yang banyak memegang peranan. Saya katakan bahwa mengendalikan sepeda motorpun saya cukup menggunakan sebelah tangan kanan saya saja. Dalam mengingat dan mengenali jalanpun, arah kananlah yang menjadi perhatian mata kanan saya.  Walau sekilas, saya sadar dari pernyataan saya itu tersirat perasaan yang mengabaikan, meremehkan arti penting  anggota tubuh sebelah kiri saya. Pada saat itu saya juga sedang menghadapi hal penting, hal yang akan membawa saya menghadapi ‘tantangan’ masa depan yang saya berusaha meyakinkan diri akan mampu, sabar menghadapinya.
                Kira-kira seminggu kemudian,  Allah langsung membalas ucapan saya yang meremehkan bagian kiri tubuh dan memberi gambaran tingkat kesabaran, kesanggupan  yang saya miliki.  Tanggal 4 September ketika pulang kampong untuk berlebaran di rumah, kakak perempuan saya yang tinggal di Palembang mengantar saya ke rumah orang tua kami yang berada di kabupaten Banyuasin, di tepi sungai Musi. Saat melintasi jalan Trans Sumatera, tangannya tak henti-hentinya memukul pundak saya setiap kali saya berancang-ancang menyalib mobil atau bis di depan kami. Dia mengomeli saya, tetapi saat itu saya memintanya diam dan mengatakan saya telah memperhitungkan kecepatan kami.  Walau, jujur saja pada saat itu saya tegang bukan main. Pengemudi di jalanan antar kota di Kalsel, tidak ada apa-apa bila di bandingkan kenekatan pengemudi yang berseliweran di jalan yang menghubungkan kota-kota di Pulau sumatera itu.
                Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan hamper 2  jam,  perjalanan kami berjalan lancar. Sampai kami berjarak kira-kira 300 M dari rumah, saya berhenti. Sebuah selang yang cukup besar , kira-kira berdiameter  10 cm melintang di jalan, ada yang sedang mengeringkan kolam ikan dan membuang airnya ke sungai Musi. Saya meminta kakak saya turun dari sepeda motor, karena merasa tidak yakin bisa melewati selang itu tanpa terjatuh. Pengalaman jatuh  dari sepeda motor saat menyusuri  pasir pantai Batakan, memberikan saya pelajaran  bahwa benda yang lembut justru tidak stabil dan lebih sulit di lewati.
                Namun,  anehnya kakak saya tidak bersedia  turun dan menyuruh saya tetap melanjutkan perjalanan. Dia mengatakan tidak akan terjadi apa-apa, saya hanya dimintanya menggeser  agak ke kanan supaya tidak melalui jalan becek di depan kami. Karena barang-barang yang kami bawa cukup banyak, saya merasa kesulitan menggeser arah sepeda motor. Saya putuskan mencoba melewati selang besar itu tanpa menggeser arahnya.
                Roda ban depan sepeda motor dapat melewati selang itu dengan baik. Namun, saat roda belakang sepeda motor menggilas selang itu, roda depan sepeda motor tidak bisa saya kendalikan. Kami terbanting ke sebelah kiri.  Kakak saya dapat segera berdiri dan tidak mengalami cedera. Namun, tidak demikian dengan saya. Kaki kanan saya melepuh karena menempel pada kenalpot sedangkan lutut kiri saya nyeri setelah membentur bagian jalan yang keras. Perjanan 300 M berikutnya, dilanjutkan oleh kakak saya. Di belakangnya, saya hanya bisa duduk menahan sakit.
                Walaupun mengalami luka bakar, kaki kanan  dapat saya gunakan untuk berdiri menopang tubuh. Akan tetapi, tidak  dengan kaki kiri. Saat terbanting, lutut kiri saya membentur bagian jalan yang keras, beban sepeda motor yang menimpa kaki kiri juga cukup berat. Kalau tidak retak, ada bagian tulang lutut saya yang bergeser.  Kaki kiri saya sakit dan ngilu sehingga walau bisa menyangga tubuh, tetapi hanya bisa bertahan beberapa menit.
Saat itu saya mendapati kenyataan bahwa ternyata saya tidak bisa berjalan atau berdiri dengan baik tanpa kestabilan kaki kiri. Saya baru menyadari walau dominasi kaki kanan begitu terasa, saya tetap tak bisa berjalan bahkan sekedar berdiri  tanpa kstabilan kaki kiri.
                Dua minggu berikutnya, luka bakar di kaki kanan saya sempurna mengering. Minyak but-but dengan cepat mengeringkan luka sedangkan minyak zaitun yang saya oleskan setelah minyak but-but mengering dengan cepat memulihkan jaringan kulit yang melepuh. Sedangkan kaki kiri walaupun tidak begitu terasa sakit, masih saja terasa nyeri bila saya gunakan sebagai tumpuan. Saya masih terpincang-pincang .
                Ibu dan kakak perempuan saya bergantian membujuk agar saya mau berobat ke tukang urut khusus tulang. Kakak saya bersedia mengantar saya atau menjemput tukang urut itu. Tak lupa mereka menakut-nakuti saya dengan mengatakan bahwa saya akan pincang seumur hidup bila tulang di lutut saya tidak diurut. Sebenarnya, waktu itu saya juga cemas. Saya ngeri membayangkan akankah bisa melewati medan mengajar ke Rantau Bujur dengan kondisi kaki yang seperti itu. Namun, membayangkan rasa sakit akibat tulang-tulang yang digeser membuat saya tetap tidak bersedia di obati oleh tukang urut khusus tulang itu.
                Beberapa hari sebelum Lebaran Idul Fitri 1330 H, saya mengambil keputusan penting. Saya memutuskan untuk mundur dari ‘rencana masa depan’ yang sebelumnya saya yakini akan bisa menghadapinya.  Sambil membujuk hati untuk ikhlas dan berdamai dengan kesedihan, saya berusaha pasrah dengan kondisi kaki kiri yang pincang.
                Satu hari setelah mengambil keputusan itu, saat akan menyibukkan diri dengan dua orang keponakan  di kebun belakang rumah, memetik kacang hijau untuk berbuka puasa terjadilah kejadian itu. Seekor sapi yang sedang diikat direrumputan di belakang rumah menatap  kea rah saya tajam.  Serta merta sapi itu merunduk dan berlari kea rah saya. Saya dan dua keponakan di belakang terkejut  dan lari pontang-panting. Saya meloncat dan melupakan sentakan  rasa sakit di bagian lutut kaki kiri saya.        Setelah kehabisan napas saya berhenti dan menoleh kebelakang. Sapi itu saya lihat kembali merumput, seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara keponakan perempuan saya menangis ketakutan. Tiba-tiba saya baru menyadari sesuatu, ada yang berubah dengan kondisi kaki kiri saya. Saya bisa berjalan tanpa terpincang-pincang lagi. Sentakan di lutut pada saat melompat dan lari dikejar sapi membuat kaki kiri saya normal kembali.
Empat pelajaran saya dapatkan dari peristiwa kecelakaan itu,
1.       Saya telah sombong dengan meremehkan peran anggota tubuh sebelah kiri. Walau bagaimana kuat dan sempurnanya bagian tubuh sebelah kanan, bagian kiri ada penstabil, penyeimbang.
2.       Allah memberi tahu kesanggupan dan tingkat kesabaran, ketabahan yang saya miliki. 
3.       Bila saatnya tiba, entah dengan cara seperti apa, yang telah digariskan-Nya pasti terjadi. Buktinya, walau tapa diurut, melalui sapi ‘gila’ itu kaki saya sembuh!
4.       Kalau memang berjodoh pasti bertemu dan sebaliknya :D.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar