Sabtu, 25 Juli 2009

Mengkonstruksi Kebahagiaan

Mengkonstruksi Kebahagiaan
(Diselesaikan tanggal 6, September 2006)
Siapa di dunia ini yang tidak ingin merasakan kebahagiaan? Jawabnya, tentu kita semua ingin merasakannya. Sayangnya, walau semua orang menginginkan kebahagiaan, pada faktanya tidak semua orang mampu merasakannya.
Mereka yang sedang merasakan kebahagiaan terkadang dengan jelas terlihat pada ekspresi wajah mereka. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada pula yang menyambut kebahagiaan dengan berlinangan air mata. Namun, tidak jarang ada orang-orang tertentu yang cukup memendam kebahagiaan tersebut di dalam hati. Yang jelas, mereka yang dilanda kebahagiaan akan merasa senang, tentram, damai, atau suasana hatinya diliputi penerimaan yang ikhlas atas apa yang menimpa mereka.
Terkadang, kebahagiaan dipengaruhi oleh apa yang ditangkap panca indra. Saat membaca dan mendengar cerita lucu kita biasanya tertawa, atau tatkala menyaksikan aksi kocak aktor ‘ekstravaganza’ di Trans TV kita merasa senang dan terhibur. Boleh dikatakan selama membaca, mendengar, atau menonton tersebut kita merasakan suatu bentuk kebahagiaan yang diekspresikan dengan tertawa.
Kebahagiaan terdang juga dipengaruhi oleh kondisi yang melingkupinya. Hal seperti ini pernah saya saksikan bulan lalu.
Siang itu saat menuju kampus guna mengurus skripsi, di antara terik matahari, debu, dan asap knalpot kendaraan yang melintas di jalan Melayu Darat saya temukan momen kebahagiaan yang ditemukan sebuah keluarga. Saat itu yang pertama tertangkap pandangan adalah seorang anak perempuan sekitar 9 tahun, terlihat lusuh, dan kumal. Ia sedang mengangkat sebuah buku tulis dari bak sampah dan membukanya. Kemudian ia mendekap buku itu di dadanya sambil tertawa pada perempuan paruh baya di depannya. Perempuan itu tersenyum (mungkin juga tertawa) memandang anak perempuan di depannya. Demikian pula laki-laki paroh baya yang ada di samping keduanya. Di dekat mereka bertiga tersandar karung plastik hampir penuh, mungkin hasil memulung hari itu. Saya pastikan, ditemukannya buku tulis bekas yang mungkin masih beberapa lembar belum terisi itu dalah sebuah momen membahagiakan bagi keluarga itu.
Bagaimana dengan kita? Apakah saat menemukan atau diberi buku tulis kosong seperti anak perempuan itu kita akan merasakan hal serupa dengannya? Jawabnya, belum tentu kita akan merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan keluarga itu. Kondisi kita dan keluarga kita yang berbeda dengan mereka menyebabkan sebuah peristiwa yang sama atau serupa memiliki makna yang berbeda.
Kebahagiaan yang dipengaruhi oleh panca indra dan kondisi kehidupan seperti di atas memang mempengaruhi makna kebahagiaan bagi kita. Namun, kebahagiaan seperti di atas adalah kebahagiaan yang bersifat alamiah, sifatnya sementara, terjadi kadang-kadang saja.
Apakah bentuk kebahagiaan seperti itu yang menjadi tujuan dalam hidup kita? Kebahagiaan yang dipengaruhi oleh panca indra dan kondisi seperti seperti itu bersifat hanya sebatas memuaskan naluri saja. Padahal, selain dilengkapi dengan naluri, manusia dilengkapi dengan akal. Akal lah yang menyebabkan manusia berbeda dengan hewan.
Sebenarnya apabila kita cermati, pemahaman yang dibentuk oleh akal sangat berperan dalam memaknai sebuah kebahagiaan. Pemahaman yang dimiliki seseorang akan mengkonstruksi makna kebahagiaan bagi dirinya. Hal inilah yang menyebabkan orang yang memiliki pemahaman berbeda akan memiliki perbedaan pula dalam memaknai kebahagiaan.
Seseorang yang menjadikan paham Liberalisme sebagai pemahaman dalam hidupnya, maka ia akan menjadikan kebebasan sebagai standar kebahagiaan bagi dirinya. Ia akan memperjuangkan segala bentuk kebebasan, apakah itu kebebasan berekspresi, kebebasan hak milik, kebebasan beragama, dan kebebasan lainnya. Ia tidak akan merasa bahagia sebelum dirinya dapat dengan bebas melakukan apa yang diinginkannya itu.
Seseorang yang menjadikan paham kapitalime sebagai pemahaman dalam hidupnya, maka ia tidak akan merasa bahagia sebelum keuntungan materi ia dapatkan. Ia akan memeras dan menindas orang lain, untuk mendapatkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya bagi dirinya. Semakin banyak keuntungan materi yang didapatkannya, semakin besar pula kebahagiaan yang dirasakannya.
Begitu pula bila seseorang menjadikan akidah Islam sebagai landasan pemahamannya, maka ia hanya akan menjadikan ridho Allah SWT. sebagai satu-satunya standar kebahagiaan bagi dirinya. Ia akan senantiasa berusaha untuk mengikatkan diri pada hukum-hukum Allah. Karena, ia tahu keridhoan Allah terletak pada ketaatannya pada perintah-perintah-Nya.. Ia pun tidak akan benar-benar merasa bahagia selama hukum-hukum Allah belum tegak di muka bumi, menjadi rahmatan lil alamin.
Jadi, pada saat sebuah pemahaman telah terinternalisasi pada diri seseorang, maka pemahaman tersebutlah yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap segala sesuatu, tak terkecuali dalam memaknai kebahagiaan. Saat itu, kebahagiaan yang dirasakan bukan lagi sekedar kebahagiaan berupa pemuasan naluri yang bersifat temporal saja, tetapi kebahagiaan tersebut adalah kebahagiaan yang lahir dari sebuah pemahaman. Kebahagiaan seperti itu bersifat kontinyu, tak terwarnai, tak terpengaruh oleh kondisi dan situasi.
Cerita-cerita tentang para Sahabat di zaman Rasulullah Saw. adalah contoh-contoh yang memperlihatkan bagaimana akidah Islam yang telah terinternalisasi pada diri mereka, telah mengubah presfektip pemikiran dan perasaan hati mereka terhadap segala sesuatu. Termasuk dalam memaknai jalan menuju kebahagiaan (yakni meraih ridho Allah) yang mereka pilih dan mereka perjuangkan sampai akhir kehidupan.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menemukan jalan menuju kebahagiaan seperti mereka? Kalau sudah, seberapa jauh kita telah menempuh jalan itu? Dan seberapa besar perjuangan yang telah kita tempuh untuk meraihnya?

Ini artikel favoritnya Amali! Di sebelah dia lagi tertawa, sangat terkesan dengan kata 'mengkonstruksi' katanya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar