Sabtu, 11 Juli 2009

Seperti Kincir Menderu

Seperti Kincir Menderu

Aku merasa sepi

seperti kincir menderu,

tak ada yang benar-benar kuterbangkan

dan sungguh-sungguh kurapatkan

Di titik semua mimpi,

sungguh

tak pernah kutemukan

wajahku di dalamnya

(Pengirim +628524715*** Diterima 20:48:07 07/07/2009)

Memiliki kenalan atau dikenal beberapa penyair membuat saya beberapa kali menerima SMS yang berisi kata-kata khas penyair: bersayap dan indah. Isi SMS itu walaupun pendek, menghuni ingatan dalam waktu yang tidak pendek.

Bapak Micky Hidayat, misalnya, sejak esai saya yang berjudul, “Sajak-sajak Bercerita Micky Hidayat” dimuat di Radar Banjarmasin pertengahan 2006 lalu, pada (beberapa kesempatan) hari raya, beliau berkenan mengirimkan sajak-sajaknya melalui SMS ke Hp saya. Tidak itu saja, beliau juga bermurah hati menghadiahkan satu antalogi puisi karya beliau, “Meditasi Rindu” dan bahkan juga ‘mengabadikan’ satu bagian dari esai saya tersebut pada bagian akhir isi antalogi tersebut, diletakkan sejajar dengan komentar penyair dan kritikus tingkat nasional (J). Selain beliau, Bapak Ali Syamsudin Arsy (yang saya kenal saat beliau menjadi panitia dalam lomba penulisan cerpen yang saya ikuti di DKD Banjarbaru) juga pernah pada Hari Raya mengirim sajak silaturrahim. Sajak tersebut kemudian seperti sajak Bapak Micky, saya copy menjadi koleksi untuk kemudian saya gunakan sebagai balasan dari SMS-SMS handai tolan yang masuk ke-Hp saya pada Hari Raya itu.

Berbeda dengan kedua dedengkot penyair Kal-Sel tersebut, seorang teman yang dulu menjadi kakak tingkat saya di PBSID FKIP Unlam: Kak Rahmiyati, tidak mengirimkan sajak-sajaknya pada moment Hari Raya. Sejak sajaknya yang berjudul “Cinta Hari Ini’ (yang diperlihatkannya pada saya di acara Aruh Sastra V Kotabaru tahun 2006) saya kutip dalam cerpen “Tiga Percakapan Tentang Cinta”, sejak itupula beberapa kali dia mengirim sajak-sajaknya melalui SMS pada saya. Sajak-sajak tersebut bernada lirih, sederhana, dengan kata-katanya yang terjalin khas milik gaya persajakannya..

Dan puisi berjudul “Seperti Kincir Menderu” di atas adalah satu dari sajak-sajak yang pernah dikirim Kak Rahmi. “Puisi tntng seorang prempuan yg pnuh dg kgembiraan, smangt dan hura2 tP dbaLik itU dia org pling ksepian sedunia.kd tau apa yg dcri….” Begitu menurutnya isi dari puisinya tersebut.

Menurut saya, keberhasilan Kak Rahmi dalam sajak “Ku Rasa Sepi” terletak pada kuatnya kesan yang ditimbulkan bait pertama. Di baris pertama sajak dia menulis, /Aku merasa sepi/ makna yang ditimbulkannya jelas bahwa ‘aku’ dalam sajak ini merasa sepi. Kemudian pada baris kedua, /seperti kincir menderu/ di sini awal ironi atau kebalikan dimunculkan dengan menyodorkan pencitraan berupa kincir yang sibuk berputar hingga menimbulkan bunyi menderu (kesiuran angin). Pada baris tiga dan empat ironi benar-benar dimunculkan. Pada baris ketiga /tak ada yang benar-benar kuterbangkan/ mengungkapkan bahwa walaupun kincir itu berputar cepat sehingga menghasilkan bunyi yang menderu, sebenarnya tak ada yang diterbangkan oleh kincir itu. Di sini Rahmi ingin menyampaikan ada sesuatu yang bernilai sia-sia (kesia-siaan kincir tanpa menerbangkan sesuatu jelas bila kita bandingkan dengan baling-baling pada helicopter, misalnya) (bersambung…., sudah adzan Zuhur)


Kalo kak Rahmi, baca esai ini lagi, maaf ya. sebenarnya dari kemarin-kemarin saya sudah beberapa kali berusaha melanjutkan esay ini, tapi seperti biasa permasalahan utamanya ada di mood nulis saya. Saya lagi susah konsentrasi, jadi perasaan dan penalaran saya tumpul. InsyaAllah, kalau moodnya sudah baik esaynya saya lanjutkan lagi menulisnya.


Ini Sambungannya



Dan pada baris berikutnya kesan kesia-siaan tersebut semakin kuat / dan sungguh-sungguh kurapatkan/. Walau bergerak dengan cepat, seolah saling mengejar, baling-baling kincir itu tidak pernah saling merapat, berdekatan.

Kemudian pada bait kedua, Kak Rahmi menyampaikan isi dari sajaknya tersebut. Bahwa /Di titik semua mimpi/ pada saat semua yang menjadi keinginan dan impian, telah mewujud, sebenarnya jati diri itu, ternyata tetap belum ditemukan.

sungguh

tak pernah kutemukan

wajahku di dalamnya

Jadi, sebenarnya masalah yang menjadi tema dari sajak Seperti Kincir Menderu karya Kak Rahmi di atas adalah masalah JATI DIRI, yaitu terasa kuat pada 2 baris akhir / tak pernah kutemukan/ wajahku di dalamnya//

. Tema yang serupa juga pernah diangkat Dee (Dewi Lestari) dalam Supernova 2: Akar. Dalam novelnya itu Dee bercerita tentang Bodhi yang mencari kesejatian. Kesejatian atau kebahagiaan yang hanya akan dapat ditemukannya bila dia terlebih dulu menemukan jati dirinya. Hanya saja buku itu sarat dengan pengaruh ajaran agama Budha.

Dengan sudut pandang Islam, An Nabhani mengupas dengan terperinci bahwa pada manusia yang berfikir, secara fitrah akan ada 3 pertanyaan mendasar pada diri manusia yang berfikir tersebut. Tiga pertanyaan tersebut merupakan simpul besar dalam hidup (uqdatul kubro). Jawaban dari 3 pertanyaan itu akan memberikan gambaran tentang jatidiri, arah perjalanan hidup, dan akhir yang menjadi tujuan.

Tiga pertanyaan tersebut, yaitu:

1) Tentang JATI DIRI. Dari mana manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini berasal?

Jawaban dari pertanyaan pertama ini akan menentukan identitas dirinya, si manusia (asal penciptaan).

2) Tentang MISI HIDUP. Untuk apa manusia., alam semesta, dan kehidupan di dunia ini di ciptakan?

Jawaban dari pertanyaan kedua di atas akan memberi arah, menentukan jalan yang akan ditempuh dalam hidup. ( memilih jalan yang akan dilewati).

1) Tentang TEMPAT KEMBALI. Akan kemana manusia, alam semesta, dan kehidupan setelah ketiadaan?

Jawaban dari pertanyaan ketiga di atas akan memberikan gambaran akan kemana manusia setelah ketiadaan. Apakah menjadi debu, tanah, atau akan ke surga/neraka (akhirat)

Pertanyaan yang sederhana dan mudah. Cukup beberapa halaman buku saja untuk menguraikan jawaban dari 3 pertanyaan di atas. Namun, tiga pertanyaan tersebut akan memiliki keberpengaruhan apabila dalam menjawabnya benar-benar melibatkan aktivitas akal (berpikir dengan metode rasional) dan disepakati hati (ikhlas).

Metode berpikir rasional adalah metode yang sederhana. Cukup dengan bermodalkan otak yang sehat, diberikan maklumat sabikoh (impormasi awal) dan dihadirkan realitas yang terindra, seseorang telah dapat melakukannya. Bahkan untuk seorang suku Badui Arab di zaman Rasulullah SAW, mengimani Islam cukup hanya dengan melihat argument pada kotoran unta (yang menandakan sebelumnya ada unta yang membuang kotoran di situ) untuk meyakini bahwa keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan merupakan hasil penciptaan.

Menjawab uqdatul kubro dan menemukan kesejatian dalam hidup, tidak harus terlebih dulu menjadi seorang sarjana, master, atau bergelar professor. Sungguh, walau menciptakan manusia dengan tingkat intelegensia dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda, yang dinilai Allah hanyalah takwa (keselarasan antara akal dan hati yang melahirkan aktivitas mentaati seluruh syariat-Nya).

bersambung, InsyaAllah... :)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar